32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Hanya Ambil Kornea, Tidak Dicongkel

Sulitnya Mengelola Bank Mata di Indonesia

Bank Mata berdiri sejak 1967. Namun, berbagai problem masih mengiringi instansi itu hingga kini. Mulai persoalan keagamaan, sulitnya mencari pendonor, hingga pandangan miring masyarakat.

Laporan: M HILMI SETIAWAN, Jakarta

Bank Mata mencatat, kebutaan mengancam sekitar 400 ribu orang Indonesia saat ini. Penyebab kebutaan tertinggi adalah kerusakan kornea, disusul dengan katarak dan glaukoma.

Di Jakarta, Bank Mata mencatat masih bisa mendapatkan 12.839 pendonor selama 2010. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90 persen adalah pendonor asing. Sedangkan resipien atau penerima donor selama 2010 berjumlah 529 orang.
Meski jumlah pendonor banyak, artinya bukan persediaan selalu ada setiap dibutuhkan. Problemnya bermacam-macam. Salah satunya, sekitar 30 persen mata yang didonorkan telah rusak dan tidak bisa lagi dicangkokkan
kepada penderita kebutaan. Problem lain, Bank Mata kesulitan mendeteksi pendonor-pendonor yang sudah mendaftar. Sebab, sebagian besar pendonor waktu mendaftar masih berusia relatif muda. “Saat mendaftar, usia pendonor 35 tahun. Setelah umurnya 50 tahunan, tidak ketahuan di mana lagi rimbanya,” jelas Direktur Teknis Bank Mata Dr Tjahjono D Gondhowiardjo PhD SpM (K).

Belum lagi, Bank Mata kesulitan melacak para pendonor di luar negeri. Sebab, mereka umumnya mendaftar secara online dan tidak datang langsung ke Bank Mata.

Tjahjono menuturkan, secara agama, masih terjadi perbedaan pendapat soal donor mata. Ada yang pro dan yang kontra.

Menurut Tjahjono, sulit membongkar dua versi pandangan tersebut. Meskipun, saat ini Bank Mata sudah mendapatkan lampu hijau dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Aturan MUI itu masih bersifat universal. Belum mengikat dan belum bisa meningkatkan angka pendonor mata,” papar dia.

Tjahjono menerangkan, selain disebabkan perbedaan pendapat dalam agama, sulitnya pertumbuhan pendonor mata dipengaruhi persepsi miring masyarakat. Dia mengatakan, masyarakat saat ini takut terhadap proses donor mata.
Tjahjono mengungkapkan, memang zaman dulu proses donor mata dilakukan dengan mencongkel seluruh bola mata pendonor yang sudah meninggal. “Tapi, saat ini cara tersebut sudah tidak berlaku,” urai dia.

Dalam perkembangan dunia medis, proses donor mata cukup dilakukan dengan mengambil bagian kornea. Diameter bagian yang diambil sekitar 1 cm. Kornea itu bisa diambil di rumah duka.

Jadi, keluarga pendonor tidak perlu membawa jenazah ke rumah sakit. “Cukup relawan kami yang menuju rumah duka untuk mengangkat kornea,” ujar lelaki kelahiran 17 Maret 1955 tersebut. Pengangkatan kornea itu hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Setelah kornea diangkat, petugas mengganti kornea pendonor dengan semacam soft lens atau lensa kontak.

Lantas, apakah semua cangkok kornea selalu berhasil” Bank Mata mencatat, sekitar 90 persen upaya tersebut berhasil. Tingginya tingkat keberhasilan itu disebabkan kornea mata adalah bagian tubuh yang tidak dialiri darah. Sisanya, pencangkokan mata gagal karena muncul reaksi penolakan.

Sebagai direktur di lembaga nonprofit yang berdiri sejak 1967 itu, Tjahjono menyatakan, saat ini proses edukasi atau kampanye Bank Mata bertujuan mengubah pandangan masyarakat tersebut. Dia menjelaskan, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa proses donor mata dilakukan dengan mencongkel bola mata secara utuh. “Saya tegaskan lagi, itu semua sudah diganti. Yang didonorkan cuma kornea mata,” imbuh dia.

Menurut Tjahjono, beban bangsa ini cukup berat ketika menghadapi risiko kebutaan. Sebab, penderita kebutaan rentan terpinggirkan, tersingkirkan, serta mengalami kemiskinan dan kecelakaan. “Sederhananya, orang buta adalah kelompok masyarakat yang sangat miskin di antara masyarakat miskin,” tutur Tjahjono.

Di tengah beragam kendala, pihaknya sudah mempersiapkan beberapa opsi untuk terus menambah simpanan kornea di Bank Mata. Ada beberapa rencana yang diajukan kepada pemerintah. Salah satunya, meminta semua rumah sakit mengajukan formulir pendaftaran donor mata bagi setiap pasien yang menjalani rawat inap. “Perkara si pasien itu tidak mau, yang penting sudah ada usaha mencari donor,” lanjut dia.

Alternatif lain, Bank Mata menunggu persetujuan untuk bisa langsung mengambil kornea jenazah-jenazah orang tanpa tempat tinggal tetap (T4) yang masuk rumah sakit. Selama ini, orang-orang T4 yang ditemukan tewas langsung dikubur oleh pihak rumah sakit. “Jika sebagian organ mereka bisa digunakan, tentu bisa bermanfaat,” tambah dia.
Tjahjono mengharapkan peran aktif pemerintah untuk menggenjot angka donor kornea. Dia menuturkan, selama ini Bank Mata terkesan berjalan sendiri dalam mengampanyekan pentingnya donor mata. (jpnn)

Sulitnya Mengelola Bank Mata di Indonesia

Bank Mata berdiri sejak 1967. Namun, berbagai problem masih mengiringi instansi itu hingga kini. Mulai persoalan keagamaan, sulitnya mencari pendonor, hingga pandangan miring masyarakat.

Laporan: M HILMI SETIAWAN, Jakarta

Bank Mata mencatat, kebutaan mengancam sekitar 400 ribu orang Indonesia saat ini. Penyebab kebutaan tertinggi adalah kerusakan kornea, disusul dengan katarak dan glaukoma.

Di Jakarta, Bank Mata mencatat masih bisa mendapatkan 12.839 pendonor selama 2010. Dari jumlah tersebut, lebih dari 90 persen adalah pendonor asing. Sedangkan resipien atau penerima donor selama 2010 berjumlah 529 orang.
Meski jumlah pendonor banyak, artinya bukan persediaan selalu ada setiap dibutuhkan. Problemnya bermacam-macam. Salah satunya, sekitar 30 persen mata yang didonorkan telah rusak dan tidak bisa lagi dicangkokkan
kepada penderita kebutaan. Problem lain, Bank Mata kesulitan mendeteksi pendonor-pendonor yang sudah mendaftar. Sebab, sebagian besar pendonor waktu mendaftar masih berusia relatif muda. “Saat mendaftar, usia pendonor 35 tahun. Setelah umurnya 50 tahunan, tidak ketahuan di mana lagi rimbanya,” jelas Direktur Teknis Bank Mata Dr Tjahjono D Gondhowiardjo PhD SpM (K).

Belum lagi, Bank Mata kesulitan melacak para pendonor di luar negeri. Sebab, mereka umumnya mendaftar secara online dan tidak datang langsung ke Bank Mata.

Tjahjono menuturkan, secara agama, masih terjadi perbedaan pendapat soal donor mata. Ada yang pro dan yang kontra.

Menurut Tjahjono, sulit membongkar dua versi pandangan tersebut. Meskipun, saat ini Bank Mata sudah mendapatkan lampu hijau dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Aturan MUI itu masih bersifat universal. Belum mengikat dan belum bisa meningkatkan angka pendonor mata,” papar dia.

Tjahjono menerangkan, selain disebabkan perbedaan pendapat dalam agama, sulitnya pertumbuhan pendonor mata dipengaruhi persepsi miring masyarakat. Dia mengatakan, masyarakat saat ini takut terhadap proses donor mata.
Tjahjono mengungkapkan, memang zaman dulu proses donor mata dilakukan dengan mencongkel seluruh bola mata pendonor yang sudah meninggal. “Tapi, saat ini cara tersebut sudah tidak berlaku,” urai dia.

Dalam perkembangan dunia medis, proses donor mata cukup dilakukan dengan mengambil bagian kornea. Diameter bagian yang diambil sekitar 1 cm. Kornea itu bisa diambil di rumah duka.

Jadi, keluarga pendonor tidak perlu membawa jenazah ke rumah sakit. “Cukup relawan kami yang menuju rumah duka untuk mengangkat kornea,” ujar lelaki kelahiran 17 Maret 1955 tersebut. Pengangkatan kornea itu hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Setelah kornea diangkat, petugas mengganti kornea pendonor dengan semacam soft lens atau lensa kontak.

Lantas, apakah semua cangkok kornea selalu berhasil” Bank Mata mencatat, sekitar 90 persen upaya tersebut berhasil. Tingginya tingkat keberhasilan itu disebabkan kornea mata adalah bagian tubuh yang tidak dialiri darah. Sisanya, pencangkokan mata gagal karena muncul reaksi penolakan.

Sebagai direktur di lembaga nonprofit yang berdiri sejak 1967 itu, Tjahjono menyatakan, saat ini proses edukasi atau kampanye Bank Mata bertujuan mengubah pandangan masyarakat tersebut. Dia menjelaskan, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa proses donor mata dilakukan dengan mencongkel bola mata secara utuh. “Saya tegaskan lagi, itu semua sudah diganti. Yang didonorkan cuma kornea mata,” imbuh dia.

Menurut Tjahjono, beban bangsa ini cukup berat ketika menghadapi risiko kebutaan. Sebab, penderita kebutaan rentan terpinggirkan, tersingkirkan, serta mengalami kemiskinan dan kecelakaan. “Sederhananya, orang buta adalah kelompok masyarakat yang sangat miskin di antara masyarakat miskin,” tutur Tjahjono.

Di tengah beragam kendala, pihaknya sudah mempersiapkan beberapa opsi untuk terus menambah simpanan kornea di Bank Mata. Ada beberapa rencana yang diajukan kepada pemerintah. Salah satunya, meminta semua rumah sakit mengajukan formulir pendaftaran donor mata bagi setiap pasien yang menjalani rawat inap. “Perkara si pasien itu tidak mau, yang penting sudah ada usaha mencari donor,” lanjut dia.

Alternatif lain, Bank Mata menunggu persetujuan untuk bisa langsung mengambil kornea jenazah-jenazah orang tanpa tempat tinggal tetap (T4) yang masuk rumah sakit. Selama ini, orang-orang T4 yang ditemukan tewas langsung dikubur oleh pihak rumah sakit. “Jika sebagian organ mereka bisa digunakan, tentu bisa bermanfaat,” tambah dia.
Tjahjono mengharapkan peran aktif pemerintah untuk menggenjot angka donor kornea. Dia menuturkan, selama ini Bank Mata terkesan berjalan sendiri dalam mengampanyekan pentingnya donor mata. (jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/