Andi Alfian Mallarangeng untuk pertama kalinya hadir dalam persidangan dengan status terdakwa. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu mendengarkan dakwaan jaksa atas perkara korupsi megaproyek Hambalang. Dalam dakwaan itu peran dan uang yang diterima Andi terungkap.
Dakwaan untuk Andi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang disusun jaksa untuk anak buah Andi, Deddy Kusdinar (Mantan Kabiro Perencanaan Kemenpora). Dalam dakwaan Deddy Kusdinar, peran Andi sebenarnya juga telah dipaparkan dengan gamblang. Hanya saja dalam dakwaan ini sejak awal Jaksa membeberkan penerimaan uang untuk Andi.
Seperti misalnya dalam dakwaan halaman 14. Disitu dituliskan M Fakhrudin memberikan fee seperti yang diminta adik Andi, Choel Mallarangeng. “Dalam pertemuan di restauran Jepang di Hotel Grand Hyatt, Choel Mallarangeng menyampaikan pada Wafid.
Muharam dan Deddy Kusdinar bahwa kakaknya sudah menjabat sebagai Menpora setahun tapi belum mendapatkan apa-apa,” terang Jaksa Supardi.
Supardi menjelaskan dalam kesempatan lain, staf khusus Andi Mallarangeng, Fakhruddin memintakan bagian fee 18 persen dari proyek Hambalang. “Permintaan itu disampaikan pada Wafid dan akan dimintakan dari PT Adhi Karya,” jelasnya.
Lantaran belum mendapatkan fee dari PT Adhi Karya, Wafid kemudian berinisiatif menggunakan uang yang diterima dari Mindo Rosalina Manulang (Grup Permai). Grup Permai yang tak lain perusahaan M. Nazaruddin memang sempat mengijon proyek Hambalang sebelum akhirnya diminta Anas Urbaningrum mundur. Akhirnya proyek dimenangkan dan dikerjakan PT Adhi Karya.
“Wafid menggunakan uang dari Mindo sebesar USD 550 ribu atau senilai Rp5 miliar,” papar Jaksa Irene Putrie. Mantan Sesmenpora yang menjadi terpidana kasus korupsi Wisma Atlet itu kemudian meminta Deddy Kusdinar dan M Fakhruddin mengantarkan uang tersebut ke rumah Choel di Yusuf Adiwinata, Menteng.
Kejadian itu diungkapkan oleh jaksa berlangsung menjelang lebaran, sekitar September 2010. Dalam persidangan Deddy memang mengakui hal tersebut. Namun Deddy mengaku dirinya awalnya tidak mengira yang dikirim ke rumah Choel itu uang. Deddy berkilah kiriman itu disangka dokumen.
Penerimaan yang dialamatkan untuk Andi lainnya diungkapkan dalam dakwaan halaman 43. Lagi-lagi penerimaan uang yang ditujukan untuk Andi dilewatkan Choel. Kali ini yang memberikan uang ialah PT Global Daya Manunggal, subkontraktor Adhi Karya. Dalam dakwaan perusahaan itu disebut merupakan bawaan Choel.
“PT Global Daya Manunggal memberikan uang pada terdakwa (Andi) melalui Choel Mallarangeng secara bertahap,” ucap Jaksa. Penyerahan uang itu antara lain Rp2 miliar (diserahkan langsung ke Choel), Rp1,5 miliar (diserahkan lewat Wafid Muharam), dan Rp500 juta (diserahkan lewat Fakhruddin).
Sayangnya jaksa tidak memaparkan detail pemberian itu. Tempat dan waktu kejadian tidak dituliskan dalam dakwaan. Inilah yang kemudian menjadi celah dan dipermasalahkan pihak Andi. Usai mendengarkan dakwaan, Andi dan kuasa hukumnya memberikan keterangan pada media.
Kubu Andi menilai dakwaan hanya berupa asumsi dan spekulasi dari kejadian yang saling dihubungkan. “Sebagai contoh ada fee 18 persen yang dimintakan dan diantarkan oleh Fakhruddin. Dalam dakwaan tidak dijelaskan dengan detail, semisal siapa yang menyaksikan. Jadinya hanya terkesan asumsi saja,” ujar pengacara Andi, Luhut Pangaribuan. Persoalan penerimaan uang dari PT GDM lewat Choel juga dipertanyakan.
Andi mengatakan keberatan atas dakwaan itu yang akan disusunnya bersama tim kuasa hukum. Andi mengaku selama ini memang menantikan persidangannya untuk membuktikan siapa yang salah dan harus bertanggungjawab.
“Saya tidak melakukan pelanggaran hukum seperti dalam dakwaan itu, baik menyalahgunakan kewenangan umaupun menguntungkan diri sendiri, perorangan ataupun korporasi,” katanya.
Saat diminta komentar terkait pernyataan Anas yang meminta tersangka Hambalang lainnya juga dijerat dengan pencucian uang seperti dirinya, Andi meminta semua pihak mengurus masalahnya masing-masing. “Saya rasa kita harus mengurus masalah sendiri,” ujarnya lantas sambil tertawa.
Rumah Anas Belum Dipasang Plang Sita
Masih terkait Hambalang. Untuk penyitaan terhadap aset Anas Urbaningrum, KPK mengatakan belum memasang plang sita di seluruh aset yang diamankan. Terutama, untuk tanah dan bangunan di Jalan Selat Makassar, Duren Sawit Jakarta Timur. Meski dipermasalakan kubu Anas, dia menyebut itu bukan persoalan besar.
“Yang penting ada berita acara penyitaannya ada. Soal plang, tinggal pasang,” kata Johan. Sedangkan untuk aset milik mertuanya, Attabik Ali dan anaknya, dia menyebut sudah ada plang sita. Selama disita, Johan mengatakan aset tersebut masih boleh digunakan untuk kegiatan sehari-hari.
Yang tidak boleh dilakukan hingga turunnya vonis hakim adalah transaksi pindah tangan. Mulai dari jual beli aset, hingga sewa menyewa. Jadi, bisa dipastikan kalau LSM besutan Anas, Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) juga masih boleh bermarkas di rumah Jalan Selat Makassar.
Menanggapi penyitaan itu, kuasa hukum Anas, Firman Wijaya saat menjenguk kliennya di Rutan KPK menegaskan kalau penyitaan gegabah. Menurutnya, TPPU adalah delik lanjutan jadi harus dibuktikan terlebih dahulu sangkaan KPK kalau Anas telah menerima gratifikasi proyek Hambalang.
“Tidak mungkin hasil kejahatan itu (pencucian uang) sebelum terjadinya tindak kejahatan. itu logika hukumnya. Kasus mas Anas ini menarik, TPPUnya sudah ada, sebelum perbuatan pidananya,” terangnya.
Saat disinggung bahwa penerapan TPPU terbukti bisa sebelum vonis pidana asal, Firman Wijaya ngotot. Menurutnya, penerapan TPPU sebelum vonis merupakan kekacauan logika penegakan hukum. Dia mengaku tidak habis pikir karena ada aset yang didapat sebelum proyek Hambalang terjadi juga ikut disita.
Seperti rumah di Duren Sawit dan Jogjakarta yang disebutnya sudah dimiliki pada awal 2000an. Anas juga tahu kalau itu tidak berkaitan, tapi Firman Wijaya menyebut kliennya tidak terlalu menanggapi penyitaan itu. “Tentu dia punya kewajiban moral untuk menjelaskan pada keluarganya. Tapi di satu sisi, keluarga dan mas Anas sadar kok kasus apa yang dihadapi ini,” tuturnya. (gun/dim/jpnn/tom)