JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kementerian Agama (Kemenag) tengah mengkaji kemungkinan memperpendek masa tinggal jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Dengan cara itu, biaya haji bisa dipangkas.
Ihwal masa tinggal yang dikurangi tersebut menjadi salah satu materi yang dibahas dalam sidang komisi Rakernas Evaluasi Penyelenggaraan Ibadah Haji 1444 Hijriah/2023 M di Bandung beberapa hari lalu. Kemenag mengusulkan lama tinggal jamaah haji di Saudi hanya 35 hari dari sebelumnya sekitar 42 hari.
Direktur Pelayanan Haji Luar Negeri Kemenag Subhan Cholid menjelaskan, kajian memperpendek masa tinggal jamaah haji Indonesia di Saudi sejatinya sudah dilakukan sejak lama, Namun, kajian itu terganjal aturan penerbangan di Saudi. Aturan tersebut tertuang dalam ta’limatul hajj.
Dalam aturan tersebut, bagi negara yang mengirimkan jamaahnya lebih dari 30 ribu orang, masa operasional penerbangannya, baik saat kedatangan maupun kepulangan, masing-masing minimal 30 hari. “Ini tertuang dalam pasal 16,” katanya dalam keterangan resmi, kemarin (9/9).
Dalam ta’limatul hajj, juga diatur masa operasional kedatangan dan kepulangan secara terperinci. Operasional kedatangan jamaah haji di Arab Saudi berlangsung dari 1 Zulkaidah sampai 4 Zulhijah. Sementara itu, operasional kepulangannya dimulai 15 Zulhijah.
Menurut Subhan, jika dihitung dari 1 Zulkaidah, operasional kedatangan berlangsung selama 34 hari. Nah, untuk memperpendek masa tinggal, jamaah Indonesia diberangkatkan mulai 4 Zulkaidah sampai 4 Zulhijah. Lalu, operasional pemulangan baru dimulai 15 Zulhijah. Artinya, jamaah kloter pertama yang berangkat pada 4 Zulkaidah baru bisa pulang pada 15 Zulhijah. “Sehingga masa tinggal minimal adalah 41 hari,” jelasnya.
Kemenag, kata dia, pernah menanyakan aturan dalam ta’limatul hajj ke pihak Arab Saudi. Jawabannya adalah karena keterbatasan slot penerbangan. Dengan infrastruktur bandara yang ada saat ini, Saudi mengaku belum bisa memberikan tambahan slot penerbangan. Ketika penyelenggaraan haji, Indonesia mendapatkan rata-rata 17 sampai 18 slot penerbangan per hari.
Karena itu, pemerintah terus melakukan pendekatan dengan Saudi dan mendorong adanya kemungkinan memperluas bandara. Dengan begitu, slot yang disediakan bisa ditambah. Termasuk untuk Indonesia.
Selain perluasan, Subhan berharap Saudi membuka bandara baru. Dia mengaku telah mendengar opsi pembukaan bandara di Thaif untuk operasional haji. Jarak bandara itu relatif dekat dengan Makkah. “Jika bandara baru dibuka, slot penerbangan yang tersedia semakin banyak,” katanya.
Apabila Indonesia bisa mendapat lebih dari 25 slot per hari, dampaknya akan signifikan, terutama dalam upaya mengurangi masa tinggal. “Ini perlu lobi intensif dan terus-menerus. Mungkin tidak dalam waktu dekat, tapi saya yakin ke depan bisa diwujudkan,” imbuh dia.
Selain masa tinggal, rakernas turut membahas mengenai syarat istitaah. Dalam sambutannya saat penutupan rakernas, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah syarat istitaah sebelum pelunasan biaya haji.
Menurut dia, dalam rakernas, hal tersebut dibahas secara detail. Hingga muncul sejumlah fakta, utamanya berkenaan dengan kondisi jamaah pada operasional haji tahun ini. Misalnya, angka kematian yang relatif tinggi, bahkan paling tinggi dalam 10 tahun terakhir penyelenggaraan haji.
Tahun ini jumlah jamaah yang wafat mencapai 773 orang. Jauh di atas angka kematian haji pada 2017 yang jumlahnya mencapai 658 jamaah. Bahkan, pada 2019, meski kuota haji lebih banyak, yakni 231 ribu, jamaah yang wafat 473 orang. “Jumlah jamaah yang dirawat di klinik kesehatan haji Indonesia, baik di Makkah maupun Madinah, juga meningkat,” katanya.
Fakta lainnya, banyak jamaah yang mengalami demensia dan tidak mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Padahal, haji adalah ibadah fisik.
Rekomendasi tersebut akan dibawa lebih lanjut dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief menambahkan, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 15 Tahun 2016 tentang Istitaah Kesehatan Jamaah Haji. Regulasi itu akan menjadi dasar dalam penerapan syarat istitaah. Nanti jamaah menjalani pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu sebelum melakukan pelunasan. “Pemeriksaan itu mencakup penilaian kesehatan mental dan kemampuan kognitif, ditambah penilaian kemampuan melakukan ADL (activity daily living) secara mandiri,” jelasnya.
Pemeriksaan kesehatan juga akan mempertimbangkan data riwayat kesehatan jamaah yang bersumber dari rekam medis dengan mengoptimalkan penggunaan aplikasi Satu Sehat.
Rakernas juga merekomendasikan penyempurnaan redaksi penetapan istitaah kesehatan jamaah haji. Jamaah yang tidak istitaah akan dibagi dalam dua kategori, yaitu tidak istitaah sementara dan tidak istitaah tetap/permanen. Tidak istitaah sementara, misalnya, mereka yang setelah proses pemeriksaan diketahui sedang hamil pada usia kehamilan yang tidak mengizinkannya untuk beribadah haji. Karena itu, keberangkatannya akan ditunda pada musim haji berikutnya. “Sementara, jamaah dengan sakit kronis, misal kanker stadium tertentu, ditetapkan tidak istitaah permanen,” ungkapnya. (mia/c6/fal/jpg)