30 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Prof Yunita T Winarto dan Ketelatenan Mendampingi Petani Perubahan Iklim

Perlu Tahu soal El Nina dan El Nino agar Tak Gagal Panen

SUMUTPOS.CO – Sejak 2008 di berbagai daerah, Prof Yunita T Winarto mendampingi para petani yang ingin belajar manfaat penerapan agrometeorologi. Mereka meneliti curah hujan dan dampaknya bagi tanaman serta lahan, melindungi lahan dan tanaman dari hama, serta memilih komoditas dan varietas yang tepat.

TELAH meneliti sejak 1990, Yunita T Winarto tahu bahwa masih banyak petani yang hanya mengandalkan pancaindra untuk menentukan waktu tanam. Termasuk tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam tanah yang dikelola.

Tapi, seiring berjalannya waktu, itu tidak akan cukup. “Apalagi perubahan iklim akan terus terjadi. Kalau petani tidak siap, akhirnya akan banyak yang gagal panen,” tutur guru besar di Universitas Indonesia itu kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) pada pertengahan Maret lalu.

Penelitian oleh profesor bernama lengkap Maria Atonia Yunita Triwardani Winarto tersebut awalnya dilakukan untuk memenuhi tugasnya meraih gelar doktor S-3 di Australia National University, Canberra. Saat itu, dia melakukan penelitian mengenai sekolah lapangan pengendalian hama terpadu. “Selesai S-3, saya juga masih terus lanjut penelitian. Jadi, karena itu, saya paham betul dengan kehidupan petani,” kata profesor kelahiran Malang, Jawa Timur, pada 1950 tersebut.

Pada 2008, dia ditempatkan di Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Akademi Profesor Indonesia bidang ilmu sosial dan humaniora. Akademi Profesor Indonesia itu dibentuk oleh dua akademi: Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Pada saat itu, pemerintah menyelenggarakan sekolah lapangan iklim di Gunungkidul, Jogjakarta. Tapi, hanya semusim dan setelah itu tidak berlanjut. Yunita lalu menceritakan kondisi yang dihadapi masyarakat Gunungkidul tersebut kepada Food and Agriculture Organization (FAO/Organisasi PBB yang menangani pangan dan pertanian). Penuturannya ternyata direspons Kees Stigter (kini almarhum), seorang profesor di bidang agrometeorologi.

Agrometeorologi merupakan gabungan antara ilmu agronomi dan meteorologi. Penerapan ilmu tersebut berguna bagi petani untuk belajar menghadapi konsekuensi perubahan iklim. “Jadi, beliau menawarkan petani belajar itu setelah berhenti dari sekolah lapangan iklim yang tidak lagi dilanjutkan,” jelasnya.

Stigter tertarik karena sebelumnya pernah mengunjungi sekolah lapangan iklim yang ada di Indramayu, Jawa Barat. Ternyata, tawarannya disambut hangat oleh para petani Gunungkidul.

Stigter lalu membuat desain pembelajaran agrometeorologi untuk petani. Sedangkan Yunita sebagai mitra bertugas mendampingi mereka yang mau belajar. “Jadi, para petani ini akhirnya belajar menjadi peneliti yang mengukur curah hujan, mengamati dampaknya pada tanaman dan lahan, serta lain-lainnya,” terangnya.

Program itu akhirnya disebut sebagai Warung Ilmiah Lapangan yang didukung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Semua kegiatan tersebut dicatat masing-masing sebagai data. Kemudian, hasilnya dianalisis setiap bulan. Jika mereka paham mengaitkan data curah hujan dengan kondisi agroekosistem lahannya, tentu akan mengetahui dampak-dampaknya. Termasuk pula bagaimana mencari solusinya. “Yang menekuni ini akhirnya ada yang memahami, misalnya La Nina, dia akan tahu harus tanam kapan supaya tidak kebanjiran waktu semai, tanam, dan juga panen,” jelasnya.

Dalam kegiatan tersebut, para petani juga mempelajari bagaimana melindungi lahan dan tanaman dari serangan hama serta bagaimana memilih komoditas dan varietas yang tepat sesuai kondisi iklim. Misalnya, sudah saatnya musim hujan, namun ada El Nino yang menyebabkan musim hujan mundur dan terjadilah kekeringan. “Yang tidak tahu kondisi itu pasti akan tetap menanam padi, tapi yang tahu akan menggantinya dengan menanam jagung seperti yang terjadi di Sumedang. Mereka yang memaksa tanam padi di musim itu pun akhirnya gagal dan yang tanam jagung selamat,” ujarnya.

Dia setidaknya telah mengajarkan program tersebut, antara lain, ke Gunungkidul (2008), Indramayu (2009), Lombok Timur (2015), dan Sumedang (2018). Di Gunungkidul dan Lombok Timur dia akui tidak berhasil. “Saya dulu mengajak di Indramayu itu 50 orang awalnya, tapi yang terus lanjut sekitar 20–25 orang. Yang sudah paham akan manfaatnya akhirnya juga terus lanjut sampai sekarang,” bebernya.

Mereka yang telah paham terkadang juga diajak untuk mengajarkan kepada petani di daerah lain. Bahkan, mereka telah membentuk organisasi yang berbadan hukum. Di antaranya, perkumpulan petani tanggap perubahan iklim dari Indramayu dan Sumedang. Di sana setidaknya ada 50 petani pemandu.

Yunita menambahkan, untuk menyebarluaskan ilmu tersebut, pihaknya sudah mencoba membawa ke komunitas-komunitas petani yang lain. Termasuk mengajak dinas terkait serta mengenalkan kepada pemerintah.

Namun, diakuinya memang tidak semuanya merespons positif. Selain itu, pemerintah juga sudah memiliki program sendiri: sekolah lapangan iklim yang diinisiasi BMKG. “Kalau di sekolah lapangan iklim itu, petani diajak mengamati di satu lahan yang disebut lahan pengamatan. Tapi, kalau metode saya itu, petani menjadi peneliti di lahannya sendiri sehingga paham apa yang terjadi di lahannya,” katanya. (c6/ttg/jpg)

SUMUTPOS.CO – Sejak 2008 di berbagai daerah, Prof Yunita T Winarto mendampingi para petani yang ingin belajar manfaat penerapan agrometeorologi. Mereka meneliti curah hujan dan dampaknya bagi tanaman serta lahan, melindungi lahan dan tanaman dari hama, serta memilih komoditas dan varietas yang tepat.

TELAH meneliti sejak 1990, Yunita T Winarto tahu bahwa masih banyak petani yang hanya mengandalkan pancaindra untuk menentukan waktu tanam. Termasuk tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam tanah yang dikelola.

Tapi, seiring berjalannya waktu, itu tidak akan cukup. “Apalagi perubahan iklim akan terus terjadi. Kalau petani tidak siap, akhirnya akan banyak yang gagal panen,” tutur guru besar di Universitas Indonesia itu kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) pada pertengahan Maret lalu.

Penelitian oleh profesor bernama lengkap Maria Atonia Yunita Triwardani Winarto tersebut awalnya dilakukan untuk memenuhi tugasnya meraih gelar doktor S-3 di Australia National University, Canberra. Saat itu, dia melakukan penelitian mengenai sekolah lapangan pengendalian hama terpadu. “Selesai S-3, saya juga masih terus lanjut penelitian. Jadi, karena itu, saya paham betul dengan kehidupan petani,” kata profesor kelahiran Malang, Jawa Timur, pada 1950 tersebut.

Pada 2008, dia ditempatkan di Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Akademi Profesor Indonesia bidang ilmu sosial dan humaniora. Akademi Profesor Indonesia itu dibentuk oleh dua akademi: Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Pada saat itu, pemerintah menyelenggarakan sekolah lapangan iklim di Gunungkidul, Jogjakarta. Tapi, hanya semusim dan setelah itu tidak berlanjut. Yunita lalu menceritakan kondisi yang dihadapi masyarakat Gunungkidul tersebut kepada Food and Agriculture Organization (FAO/Organisasi PBB yang menangani pangan dan pertanian). Penuturannya ternyata direspons Kees Stigter (kini almarhum), seorang profesor di bidang agrometeorologi.

Agrometeorologi merupakan gabungan antara ilmu agronomi dan meteorologi. Penerapan ilmu tersebut berguna bagi petani untuk belajar menghadapi konsekuensi perubahan iklim. “Jadi, beliau menawarkan petani belajar itu setelah berhenti dari sekolah lapangan iklim yang tidak lagi dilanjutkan,” jelasnya.

Stigter tertarik karena sebelumnya pernah mengunjungi sekolah lapangan iklim yang ada di Indramayu, Jawa Barat. Ternyata, tawarannya disambut hangat oleh para petani Gunungkidul.

Stigter lalu membuat desain pembelajaran agrometeorologi untuk petani. Sedangkan Yunita sebagai mitra bertugas mendampingi mereka yang mau belajar. “Jadi, para petani ini akhirnya belajar menjadi peneliti yang mengukur curah hujan, mengamati dampaknya pada tanaman dan lahan, serta lain-lainnya,” terangnya.

Program itu akhirnya disebut sebagai Warung Ilmiah Lapangan yang didukung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Semua kegiatan tersebut dicatat masing-masing sebagai data. Kemudian, hasilnya dianalisis setiap bulan. Jika mereka paham mengaitkan data curah hujan dengan kondisi agroekosistem lahannya, tentu akan mengetahui dampak-dampaknya. Termasuk pula bagaimana mencari solusinya. “Yang menekuni ini akhirnya ada yang memahami, misalnya La Nina, dia akan tahu harus tanam kapan supaya tidak kebanjiran waktu semai, tanam, dan juga panen,” jelasnya.

Dalam kegiatan tersebut, para petani juga mempelajari bagaimana melindungi lahan dan tanaman dari serangan hama serta bagaimana memilih komoditas dan varietas yang tepat sesuai kondisi iklim. Misalnya, sudah saatnya musim hujan, namun ada El Nino yang menyebabkan musim hujan mundur dan terjadilah kekeringan. “Yang tidak tahu kondisi itu pasti akan tetap menanam padi, tapi yang tahu akan menggantinya dengan menanam jagung seperti yang terjadi di Sumedang. Mereka yang memaksa tanam padi di musim itu pun akhirnya gagal dan yang tanam jagung selamat,” ujarnya.

Dia setidaknya telah mengajarkan program tersebut, antara lain, ke Gunungkidul (2008), Indramayu (2009), Lombok Timur (2015), dan Sumedang (2018). Di Gunungkidul dan Lombok Timur dia akui tidak berhasil. “Saya dulu mengajak di Indramayu itu 50 orang awalnya, tapi yang terus lanjut sekitar 20–25 orang. Yang sudah paham akan manfaatnya akhirnya juga terus lanjut sampai sekarang,” bebernya.

Mereka yang telah paham terkadang juga diajak untuk mengajarkan kepada petani di daerah lain. Bahkan, mereka telah membentuk organisasi yang berbadan hukum. Di antaranya, perkumpulan petani tanggap perubahan iklim dari Indramayu dan Sumedang. Di sana setidaknya ada 50 petani pemandu.

Yunita menambahkan, untuk menyebarluaskan ilmu tersebut, pihaknya sudah mencoba membawa ke komunitas-komunitas petani yang lain. Termasuk mengajak dinas terkait serta mengenalkan kepada pemerintah.

Namun, diakuinya memang tidak semuanya merespons positif. Selain itu, pemerintah juga sudah memiliki program sendiri: sekolah lapangan iklim yang diinisiasi BMKG. “Kalau di sekolah lapangan iklim itu, petani diajak mengamati di satu lahan yang disebut lahan pengamatan. Tapi, kalau metode saya itu, petani menjadi peneliti di lahannya sendiri sehingga paham apa yang terjadi di lahannya,” katanya. (c6/ttg/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/