32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Awasi Pengusaha Penyumbang Balon

JAKARTA- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta masyarakat dan LSM mengawasi sumbangan dana dari para pengusaha kepada bakal calon (balon) kepala daerah di tanah air. Menurut ICW, ada dua jenis pengusaha yang perlu diwaspadai lantaran memiliki kepentingan besar dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, khususnya pemilihan gubernur-wakil gubernur.

“Yang pertama adalah pengusaha spesialis APBN/APBD. Yang kedua, pengusaha yang bergantung pada konsensi dan proteksi (dari pemerintah),” kata Deputi Koordinator ICW Ade Irawan dalam diskusi ‘’Pemetaan Kritis dan Solusi atas Praktik Korupsi Pemilu’’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Jumat (7/9).
Menurut ICW, kedua tipe pengusaha tersebut tidak akan segan-segan mengalirkan dana kepada pasangan kandidat karena kelangsungan bisnis mereka sangat tergantung pada siapa yang akan terpilih dan kebijakan yang akan dikeluarkan gubernur-wakil gubernur ke depan.

Kepentingan ekonomi-bisnis pengusaha kerap menjadi alasan penyaluran dana politik pada kandidat tertentu yang diyakini akan membalas jasa dengan membagikan proyek yang didanai anggaran negara atau dengan memberikan perlindungan pada bisnis pengusaha tersebut.

“Dalam kasus Bupati Buol, misalnya, bagaimana pemodal bisa sandera kepala daerah agar saat berkuasa bisa tunduk kepada pengusaha itu. Jakarta kami indikasikan ada cara penyaluran dana kampanye seperti itu,” ujar Ade.

Dana-dana tersebut kadang tidak bisa ditelusuri karena penyalurannya telah disiasati melalui rekening perseorangan. Salah satu rujukannya adalah masih terdapat sumbangan tanpa kejelasan identitas pengirimnya. Jenisnya bervariasi, yakni tanpa identitas dan tanpa alamat, tanpa menyertakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), badan hukum tanpa menyertakan NPWP atau tanpa menyertakan akte.

“Yang diperlukan adalah sikap tegas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Provinsi) untuk memberikan sanksi kepada pasangan calon yang mendapat dana dengan identitasnya tidak jelas,” kata Abdullah Dahlan, peneliti ICW lainnya.

ICW menyadari ada beberapa alasan yang bisa dijadikan alat oleh pasangan calon untuk menghindari sanksi. Salah satunya, bisa saja pendukung pasangan calon lain sengaja mengirimkan uang dalam jumlah tertentu kepada pasangan lainnya dengan tujuan agar pasangan yang menerima sumbangan mendapat sanksi.

“Untuk menghindari intrik seperti itu, KPU bisa saja menetapkan sumbangan yang tidak jelas pengirimnya tidak digunakan untuk kampanye dan diserahkan ke kas daerah,” kata Abdullah.

Sementara itu, Pengamat politik Sabar Sitanggang mengingatkan masyarakat Sumut untuk memilih figur calon gubernur (cagub) yang paham aturan-aturan hukum. Hal ini penting lantaran hanya figur yang paham hukum yang bisa menggunakan kewenangan diskresi sebagai seorang gubernur secara tepat. Dia mengatakan jika seorang gubernur tidak paham batas-batas menggunakan kewenangan diskresi, maka dia akan selalu takut salah mengambil kebijakan.
“Sedikit-sedikit takut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya pembangunan tidak jalan. Uang yang ada, yang tersisa dalam bentuk SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran), akhirnya malah dikembalikan lagi ke negara. Sementara, jalan-jalan di Sumut banyak yang rusak. Ada uang malah tak digunakan,” ujar Sabar di Jakarta, kemarin (11/9).

Doktor Sosiologi jebolan Universitas Indonesia (UI) itu menilai, tren yang terjadi selama ini, banyak sekali kepala daerah yang tidak berani membelanjakan uang APBD untuk proses pembangunan. Ini lantaran mereka takut salah, takut dijerat KPK. Padahal, lanjutnya, seorang kepala daerah dituntut berani membuat terobosan menggunakan anggaran untuk rakyat.

“Seorang kepala daerah karena punya diskresi, mestinya tidak boleh takut dengan KPK. Jika takut, pembangunan terhenti,” ujar akademisi kelahiran Sumut itu. (sam/jpnn)

JAKARTA- Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta masyarakat dan LSM mengawasi sumbangan dana dari para pengusaha kepada bakal calon (balon) kepala daerah di tanah air. Menurut ICW, ada dua jenis pengusaha yang perlu diwaspadai lantaran memiliki kepentingan besar dalam kontestasi pemilihan kepala daerah, khususnya pemilihan gubernur-wakil gubernur.

“Yang pertama adalah pengusaha spesialis APBN/APBD. Yang kedua, pengusaha yang bergantung pada konsensi dan proteksi (dari pemerintah),” kata Deputi Koordinator ICW Ade Irawan dalam diskusi ‘’Pemetaan Kritis dan Solusi atas Praktik Korupsi Pemilu’’ di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Jumat (7/9).
Menurut ICW, kedua tipe pengusaha tersebut tidak akan segan-segan mengalirkan dana kepada pasangan kandidat karena kelangsungan bisnis mereka sangat tergantung pada siapa yang akan terpilih dan kebijakan yang akan dikeluarkan gubernur-wakil gubernur ke depan.

Kepentingan ekonomi-bisnis pengusaha kerap menjadi alasan penyaluran dana politik pada kandidat tertentu yang diyakini akan membalas jasa dengan membagikan proyek yang didanai anggaran negara atau dengan memberikan perlindungan pada bisnis pengusaha tersebut.

“Dalam kasus Bupati Buol, misalnya, bagaimana pemodal bisa sandera kepala daerah agar saat berkuasa bisa tunduk kepada pengusaha itu. Jakarta kami indikasikan ada cara penyaluran dana kampanye seperti itu,” ujar Ade.

Dana-dana tersebut kadang tidak bisa ditelusuri karena penyalurannya telah disiasati melalui rekening perseorangan. Salah satu rujukannya adalah masih terdapat sumbangan tanpa kejelasan identitas pengirimnya. Jenisnya bervariasi, yakni tanpa identitas dan tanpa alamat, tanpa menyertakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), badan hukum tanpa menyertakan NPWP atau tanpa menyertakan akte.

“Yang diperlukan adalah sikap tegas Komisi Pemilihan Umum Daerah (Provinsi) untuk memberikan sanksi kepada pasangan calon yang mendapat dana dengan identitasnya tidak jelas,” kata Abdullah Dahlan, peneliti ICW lainnya.

ICW menyadari ada beberapa alasan yang bisa dijadikan alat oleh pasangan calon untuk menghindari sanksi. Salah satunya, bisa saja pendukung pasangan calon lain sengaja mengirimkan uang dalam jumlah tertentu kepada pasangan lainnya dengan tujuan agar pasangan yang menerima sumbangan mendapat sanksi.

“Untuk menghindari intrik seperti itu, KPU bisa saja menetapkan sumbangan yang tidak jelas pengirimnya tidak digunakan untuk kampanye dan diserahkan ke kas daerah,” kata Abdullah.

Sementara itu, Pengamat politik Sabar Sitanggang mengingatkan masyarakat Sumut untuk memilih figur calon gubernur (cagub) yang paham aturan-aturan hukum. Hal ini penting lantaran hanya figur yang paham hukum yang bisa menggunakan kewenangan diskresi sebagai seorang gubernur secara tepat. Dia mengatakan jika seorang gubernur tidak paham batas-batas menggunakan kewenangan diskresi, maka dia akan selalu takut salah mengambil kebijakan.
“Sedikit-sedikit takut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya pembangunan tidak jalan. Uang yang ada, yang tersisa dalam bentuk SILPA (Sisa Lebih Penggunaan Anggaran), akhirnya malah dikembalikan lagi ke negara. Sementara, jalan-jalan di Sumut banyak yang rusak. Ada uang malah tak digunakan,” ujar Sabar di Jakarta, kemarin (11/9).

Doktor Sosiologi jebolan Universitas Indonesia (UI) itu menilai, tren yang terjadi selama ini, banyak sekali kepala daerah yang tidak berani membelanjakan uang APBD untuk proses pembangunan. Ini lantaran mereka takut salah, takut dijerat KPK. Padahal, lanjutnya, seorang kepala daerah dituntut berani membuat terobosan menggunakan anggaran untuk rakyat.

“Seorang kepala daerah karena punya diskresi, mestinya tidak boleh takut dengan KPK. Jika takut, pembangunan terhenti,” ujar akademisi kelahiran Sumut itu. (sam/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/