JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Nasib Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi ditentukan hari ini, Senin (13/2). Hakim akan memberikan vonisnya atas kasus pembunuhan terhadap Brigadir Yosua untuk terdakwa Sambo dan Putri. Ferdy Sambo dituntut penjara seumur hidup dan Putri didakwa hukuman penjara 20 tahun, namun diyakini hukuman bisa lebih berat dari dakwaan.
MENTERI Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, vonis tersebut merupakan kewenangan majelis hakim. Meski memang, Ferdy Sambo dituntut hukuman pidana seumur hidup oleh jaksa penuntut umum (JPU). “Ya kita tunggu saja,” kata Mahfud di kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (12/2).
Namun, Mahfud mengharapkan vonis terhadap Sambo memenuhi rasa keadilan. Ia juga berharap, vonis tersebut menjadi berita baik bagi pencari keadilan dan yang menolak kesewenangan jabatan.
“Mudah-mudahan beritanya baik buat kita semua bagi pencari keadilan, dengan apa bagi mereka yang menolak kesewenang-wenangan, penyalahgunaan jabatan dan sebagainya. Mudah-mudahan vonis besok (hari ini) itu menjadi berita bagus,” tegas Mahfud.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul FIckar Hadjar menuturkan, dalam kasus biasa hakim kebanyakan menjatuhkan hukuman separuh lebih dari tuntutan. Tapi, dengan tuntutan untuk Sambo yang seumur hidup tentunya tidak bisa dibagi dua. “Maka saya yakin setidaknya hakim akan sesuai dakwaan JPU,” jelasnya.
Sedangkan untuk Putri, tentu memiliki potensi untuk dihukum separo lebih. Namun begitu, bisa jadi hakim menjatuhkan vonis hukuman yang lebih berat. “Karena banyak yang memberatkan dalam kasus ini,” terangnya.
Yang paling memberatkan, salah satunya Sambo dan istrinya itu merupakan atasan korban yang seharusnya bisa melakukan pembinaan dan mendidik. Tetapi yang terjadi justru menghabisi Brigadir Yosua. “Lalu, Sambo juga tidak mengakui ikut menembak,” ujarnya.
Serta tidak mengakui memerintahkan menembak. Terdakwa memang boleh membantah dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), namun hakim akan menilai apakah bantahan tersebut logis. “Hakim memperhatikan ini, karena setiap dakwaan JPU didukung alat bukti, baik keterangan saksi, surat, keterangan asli bahkan keterangan terdakwa sendiri,” urainya.
Hakim akan melihat mana dakwaan yang tidak bisa dibantah oleh terdakwa. Karena bisa jadi bantahan itu hanyalah berisi alasan dari suatu perbuatan yang dilakukan terdakwa. “Alasan atau konteks itu untuk mempertimbangkan meninggikan atau merendahkan jumlah hukuman,” jelasnya.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel menyatakan, salah satu penjelasan tentang dasar psikologis bagi hakim saat membuat putusan adalah strategic model (SM). Hakim menjadikan putusannya sebagai instrumen untuk mencapai target-target di luar dari perkara itu sendiri.
Menurut dia, ada tiga target yang bisa dicapai ketika hakim memakai SM saat memutus perkara Sambo. Yakni hakim ingin menjadi hakim agung. “Termasuk Hakim Wahyu, Hakim Morgan, dan Hakim Alimin,” ujar Reza Indragiri Amriel yang peneliti ASA Indonesia Institute.
Agar bisa mencapai posisi itu, lanjut dia, mereka harus punya portofolio yang impresif berupa putusan emas. Nah, kalau majelis hakim nanti sanggup menjatuhkan hukuman maksimal terhadap Sambo, naskah putusan mereka itu akan menjadi aset untuk bersaing ke kursi hakim agung. “Kedua, dunia sudah sangat yakin bahwa Sambo adalah biang kerok peristiwa ini. Banyak yang juga menempatkan Putri pada posisi itu. Khalayak bahkan lugas ingin Sambo dihukum mati,” papar Reza.
“Bayangkan jika nanti majelis hakim menghukum ringan Sambo. Lalu dilakukan survei untuk mengukur sikap publik. Bisa dipastikan Mahkamah Agung akan sangat negatif di mata masyarakat,” tambah dia.
Karena itu, menurut dia, putusan hakim harus memuat hukuman berat bahkan terberat bagi Sambo. Sebab, di situ nanti putusan dihasilkan sebagai instrumen untuk mengamankan reputasi Mahkamah Agung. “Putusan tersebut sekaligus laksana penawar atas ditangkapnya hakim agung oleh KPK belum lama ini,” ujar Reza.
Sedangkan hal yang ketiga, dia menjelaskan, Sambo itu kabarnya punya kekayaan luar biasa. Di tengah atmosfer penegakan hukum di Indonesia yang dinilai sedang morat-marit seperti sekarang, terpidana yang punya kekuatan finansial akan bisa membeli hukum dan melakukan berbagai aksi pidana dari dalam penjara. “Alhasil, di samping idealnya hartanya dirampas, terdakwa juga harus dicegah agar tidak merusak hukum lebih jauh lagi dari balik jeruji besi,” papar Reza.
Pada titik itu, lewat putusannya, menurut Reza, majelis hakim dapat berkontribusi bagi Indonesia agar lebih aman. Sedangkan bagi dunia penegakan hukum agar lebih bermartabat dan bagi terdakwa agar tidak melakukan pidana kembali. “Hukuman mati merupakan opsi yang tepat untuk maksud-maksud tersebut,” ucap Reza.
Nah, kalau majelis hakim perkara Sambo juga berpikir sampai ke sana, dia menambahkan, strategic model seperti itu sangat mungkin akan berujung pada penjatuhan hukuman mati bagi Sambo. Putri pun boleh jadi begitu. “Supaya bisa sampai ke pemikiran seperti itu, majelis hakim harus dijamin keamanannya. Dengan bekerja secara tenang, cakrawala pemikiran mereka akan terentang luas,” kata Reza.
Terkait gerakan bawah tanah yang mengintervensi proses berpikir hakim, Reza menjelaskan, bisa jadi apa yang disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD sebagai peringatan. Sebab ada indikasi gerakan bawah tanah itu sudah memengaruhi jaksa dalam penuntutan. Gerakan bawah tanah adalah gangguan terhadap proses keadilan dengan cara mengusik lembaga penegak hukum. “Saya jadi risau dan bertanya adakah kemungkinan gerakan bawah tanah untuk merusak proses keadilan itu dilakukan sendiri oleh lembaga penegakan hukum?” tanya Reza.
Menurut dia, idealnya keadilan di ruang sidang sebangun dengan keadilan di luar sidang. “Kalau kepercayaan publik terhadap otoritas penegakan hukum usdah ambrol, konsekuensinya publik akan enggan bekerja sama dengan otoritas penegakan hukum. Ini akan memunculkan vigilante (main hakim sendiri). Konsekuensi lainnya, masyarakat tidak mau lagi menunjukkan ketaatan,” papar Reza.
Tim kuasa hukum Putri, Febri Diansyah menyatakan, kliennya tak menjalani persiapan khusus menjelang pembacaan sidang vonis. Namun, ia berharap hakim bisa memvonis kliennya berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di dalam proses persidangan.
“Tidak ada persiapan khusus menjelang agenda pembacaan vonis. Harapan kami sederhana, majelis hakim memutus berdasarkan hukum, memutus secara adil, benar-benar didasarkan pada bukti dan fakta sidang yang didasarkan pada asumsi atau informasi tidak benar yang beredar selama proses hukum ini berjalan,” kata Febri kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Minggu (12/2).
Advokat dari Visi Integritas itu menegaskan, dirinya mendukung pelaku kejahatan dihukum seadil-adilnya. Namun sebaliknya, jika bukan pelaku tidak diberikan hukuman hanya karena adanya tekanan publik. “Saya mendukung pelaku dihukum seadil-adilnya, dan sebaliknya yang bukan pelaku jangan sampai dihukum hanya karena amarah, tekanan ataupun keriuhan di luar persidangan,” tegas Febri.
Mantan juru bicara KPK itu mengklaim, kliennya merupakan korban kekerasan seksual. Hal ini didasarkan pada alat bukti yang terungkap dalam proses persidangan. “Perlu juga kita pahami, Bu Putri itu korban kekerasan seksual. Kesimpulan kami ini didasarkan pada empat jenis alat bukti yang muncul di persidangan dan berkesesuaian satu dengan lainnya,” papar Febri.
Dia menyebutkan, peristiwa kekerasan seksual yang diduga terjadi di Magelang berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan tidak mengada-ada. Hal itu juga sudah diuji dari keterangan ahli yang dihadirkan ke dalam persidangan. “Keterangan Bu Putri tentang peristiwa kekerasan seksual di Magelang sudah diverifikasi oleh tim pemeriksa psikolog forensik dan hasilnya disampaikan di persidangan. Kesimpulan ahli saat itu, keterangan Bu Putri layak dipercaya dan memenuhi tujuh indikator keterangan yang kredibel,” ucapnya.
Orangtua Yosua Siapkan Hati
Orang tua Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J bertolak ke Jakarta, Minggu (12/2), untuk menghadiri sidang vonis terdakwa kasus pembunuhan berencana yang akan digelar pada hari ini. Ayah Brigadir Yosua, Samuel Hutabarat, mengatakan bahwa dirinya dan keluarga sudah mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima keputusan hakim terhadap lima orang terdakwa, yakni Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Richard Eliezer, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal. “Mempersiapkan mental kita, apapun yang diputuskan majelis hakim terhadap terdakwa,” katanya.
Samuel menegaskan, keluarga besarnya siap menerima keputusan hakim. Namun, ia meminta kepada majelis hakim untuk bersikap bijaksana dalam memberikan hukuman kepada para pelaku yang terlibat pembunuhan anaknya.
Ia juga berharap agar hukuman yang dijatuhkan sesuai yang diharapkan keluarga selama ini, yakni hukuman maksimal.
Rencananya orang tua Brigadir Yosua berada di Jakarta hingga sidang vonis terhadap terdakwa Richard Eliezer. Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yakni Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dijadwalkan menjalani sidang vonis pada Senin (13/2).
Sementara Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf akan menjalani sidang pembacaan vonis pada Selasa (14/2). Sedangkan sidang pembacaan vonis untuk Richard Eliezer atau Bharada E digelar pada Rabu, 15 Februari 2023. (idr/ygi/jpg)