Kehidupan Para Petani di Puncak Pasca Larangan Menanam Khat oleh BNN
Badan Narkotika Nasional (BNN) melarang siapa saja menanam tumbuhan khat. Hal itu menyusul ditetapkannya artis Raffi Ahmad sebagai tersangka karena diduga mengonsumsi obat-obatan yang mengandung zat katinon.
BAYU PUTRA, Bogor
Zat berbahaya itu dihasilkan oleh tanaman khat yang banyak ditanam petani di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
SEMINGGU terakhir merupakan pekan yang kelabu bagi keluarga Rohmat.
Warga Kampung Alun-Alun, Desa Cibeureum, kawasan Puncak, Bogor, itu sedang gundah yang amat sangat. Dia bingung bagaimana membuat periuknya tetap mengepul setelah mata pencaharian satu-satunya sebagai petani khat tiba-tiba hilang. Rohmat tidak tahu harus berbuat apa untuk memberi makan keluarganya.
Kamis pekan lalu (7/2), Kampung Alun-Alun tiba-tiba menjadi pusat perhatian aparat kepolisian Bogor. Bahkan, Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Tubagus Anis Angkawijaya dan Bupati Bogor Rachmat Yasin sampai datang ke kampung di pegunungan itu. Mereka secara khusus menyaksikan pemusnahan tumbuhan khat yang ditanam di ladang-ladang desa serta di pekarangan rumah warga.
Tanaman tersebut merupakan bahan dasar narkotika golongan I, yakni cathinone atau yang dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika disebut katinona. Bila dikonsumsi, zat itu punya efek yang nyaris sama dengan ekstasi atau MDMA. Karena itu, katinon masuk daftar narkotika golongan I di urutan ke-35.
Orang yang tetap menanam dan membudidayakan tanaman itu, kata Deputi Penindakan BNN Benny Joshua Mamoto, akan dipidana. “Jadi, terhitung sejak dimusnahkan, tanaman ini dilarang untuk ditanam, dibudidayakan, ataupun diperjualbelikan,” ujar Benny kala itu.Rohmat dan para petani di desa tersebut yang ikut menyaksikan pemusnahan lahan-lahan khat tak bisa berbuat banyak.
ereka tidak kuasa untuk mencegah. Apalagi menghalang-halangi petugas membabati dan membakarnya hingga menjadi asap hitam membubung.
Tanaman khat, sepengetahun Lathifah, bisa tumbuh hingga setinggi 5 meter jika dibiarkan saja. Karena nyaris setiap hari dipetik pucuknya, tanaman itu sengaja “dibonsai” setinggi 1,5 meter. Setiap bulan, dia mengupah dua orang untuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman tersebut. Besarnya Rp500 ribu.
Dengan penghasilan yang cukup besar, pengeluaran tersebut tidak begitu terasa. “Rencananya, sebelum ada tayangan di TV itu, ladang ini mau kami perluas,” ucapnya.
Lathifah menggambarkan betapa para turis Timur Tengah begitu menyukai daun khat. Jika sedang musim turis, antrean mobil mengular di sekitar rumahnya. Mereka rela mengantre untuk mendapatkan daun khat yang kualitasnya paling baik. “Seperti antre sembako murah,” ucapnya seraya tersenyum.
Para turis tidak segan untuk makan di tempat. Mereka makan seperti mengunyah sirih. Cara mengonsumsi daun khat hanya dengan mengunyahnya. Daun itu tak bisa dibikin sayur.
Berkat tanaman tersebut, keluarga Lathifah bisa mendapat penghasilan Rp4 juta-Rp7 juta per bulan. Nilai itu tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan penghasilan sebelum ada tanaman tersebut. Sebelumnya, Lathifah menanami lahan itu dengan berbagai jenis sayuran.
Sementara itu, sang suami bekerja sebagai penjaga tanah milik warga asal Nanggroe Aceh Darussalam. Kehidupan perekonomian keluarga tersebut meningkat cukup signifikan. Lathifah bisa menabung lebih banyak.
Kini, setelah khat dilarang untuk ditanam, dia hanya bisa pasrah. Lathifah juga mengaku tidak menyesali keputusannya melapor ke polisi. Padahal, jika tidak melapor, bisa saja tanaman itu tidak ketahuan dalam waktu dekat. “Saya mikir jangka panjang saja daripada nanti berurusan dengan hukum,” lanjut ibu tiga anak dan nenek dua cucu itu.
Yang jelas, selama tujuh tahun terakhir, Lathifah sekeluarga sudah merasakan manisnya menjadi petani khat. Kini mereka siap untuk kembali seperti dulu, menjadi petani biasa dengan penghasilan pas-pasan. “Yang penting halal dan tidak berurusan dengan hukum,” tegas dia. (*)