26 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Tripoli Masih Kirim Rp2 Miliar Bulan Lalu

Masjid Muammar Qaddafy di Bogor ketika Libya Dilanda Perang

Di Sentul, Bogor, Jawa Barat, sejak dua tahun lalu berdiri megah Masjid Muammar Qaddafy. Diberi nama presiden Libya itu karena dialah yang menanggung biaya pembangunan masjid itu hingga Rp50 miliar.

DIAN WAHYUDI, Jakarta

PADA 2005, tiba-tiba datang sebuah undangan kepada Ustad Arifin Ilham. Undangan tersebut dari The World Islamic Call Society (WICS). Ini adalah sebuah organisasi dakwah Islam internasional yang berpusat di Tripoli, Libya, bentukan Presiden Libya Muammar Kadhafi.

Dalam undangannya, organisasi yang beranggota lebih dari 250 organisasi Islam dari seluruh dunia tersebut mengharapkan Arifin yang juga pemimpin Majelis Az-Zikra datang ke Libya.

Saat itu tidak disampaikan secara spesifik tujuan undangan tersebut.  Arifin juga tidak tahu mengapa dia yang diundang bukan tokoh Indonesia lainnya. Meski demikian, bersama empat sejawatnya, Arifin memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut.

“Di pikiran kami saat memutuskan datang, ya setidaknya silaturahmi sajalah,” ujar Sekretaris Majelis Az-Zikra Setyo Budi Santoso ketika ditemui Jawa Pos di kompleks Masjid Muammar Qaddafy (MQ), Kamis lalu (7/4). Setyo Budi termasuk satu di antara lima orang rombongan yang berangkat ke Libya saat itu.

Di Libya, rombongan tidak bertemu langsung dengan Kadhafi. Mereka hanya ditemui Syekh Mahmoud Reech, salah seorang petinggi WICS yang sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia. “Tapi, di situ iseng-iseng saya sampaikan pembangunan masjid yang sebenarnya sudah lama kami rencanakan,” lanjut Budi.

Tak disangka, tanpa proses berbelit-belit, pihak WICS langsung memberikan lampu hijau. Sebelum rombongan kembali ke tanah air, meski baru secara lisan, pihak Libya sudah menyampaikan komitmen untuk siap membantu. Menunggu hampir sekitar dua tahun, bantuan dana pembangunan masjid itu akhirnya benar-benar turun pada 2007. Total bantuan sekitar Rp50 miliar.

Tak sampai dua tahun, proyek pembangunan masjid tiga lantai dengan total luas bangunan 12.600 meter persegi itu selesai. Dimulai sejak pemancangan tiang pertama pada 22 Juli 2007, masjid tersebut diresmikan pada 16 Februari 2009. “Semua dana dari sana (Libya, Red). Tidak sepeser pun dari pemerintah kita,” tegas Setyo Budi.

Namun, lanjut dia, meski seluruh dana dari Libya, pihak WICS maupun pemerintah Libya tidak pernah campur tangan terhadap urusan masjid. Termasuk, soal desain atau nama masjid sekalipun.

Terkait dengan keputusan Yayasan Majelis Az-Zikra memberi nama Muammar Qaddafy, itu hanyalah persoalan penghargaan dan penghormatan terhadap kepedulian pemimpin Libya tersebut. Terutama, terhadap perkembangan dakwah Islam hingga ke Indonesia. “Seandainya yang ngasih bantuan saya, terus kami kasih nama Masjid Budi kan juga nggak apa-apa kan” selorohnya.

Pihak pemberi dana, lanjut dia, hanya berpesan bahwa masjid yang mereka danai itu tidak boleh digunakan untuk kegiatan ekstremisme dan radikalisme. Termasuk, kegiatan-kegiatan yang melenceng dari Islam, misalnya Ahmadiyah. “Dari awal proses sampai sekarang tidak ada campur tangan dari mereka. Ini memang untuk rakyat Indonesia, masyarakat muslim Indonesia,” papar Budi kembali.

Karena hal itulah, pihak pengurus Majelis Az-Zikra berketetapan hati untuk mempertahankan nama masjid, meski saat ini terjadi gonjang-ganjing politik dan militer di Libya. “Insya Allah tidak akan ada ganti nama atau apa. Ini persoalan amanah, tidak ada hubungannya dengan yang sekarang terjadi di sana,” tegasnya.

Ketika berkunjung ke Libya, Budi menyatakan kekagumannya. “Kekayaan minyak di Libya benar-benar dikuasai negara dan dipakai untuk menggratiskan sekolah warganya dari TK sampai S-3. Juga untuk menggratiskan biaya kesehatan dan yang lain. Bagaimana dengan kita? Kurang kaya apa kita?” sindirnya.

Para petinggi Majelis Az-Zikra memang pantas kagum kepada sosok pemimpin Libya yang sering dianggap diktator oleh banyak pihak tersebut. Sebab, komitmen Kadhafi lewat lembaganya untuk melakukan dakwah di sejumlah negara tetap tak terganggu meski dalam negeri mereka dalam situasi sulit saat ini.

Sekitar akhir Maret lalu, WICS ternyata masih mengirimkan dana operasional tahunan untuk Masjid MQ, Sentul, Indonesia. Besarnya tak tanggung-tanggung, hampir Rp 2 miliar. “Bayangkan, negara masih perang, tapi tetap menjaga komitmen mengirim bantuan,” katanya, dengan nada bergetar.

Masjid MQ berada di dalam kompleks perumahan Bukit Az-Zikra, tak jauh dari tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor. Bangunan megah itu tampak semakin gagah karena dibangun di puncak bukit salah satu kawasan di Sentul Selatan. Masjid itu menjadi simbol utama kompleks perumahan yang juga dikonsep menjadi permukiman muslim tersebut.

Bukan hanya diperuntukkan masyarakat muslim, di perumahan yang sedang dalam proses pengembangan itu juga disiapkan aturan kewajiban salat berjamaah bagi warganya. “Ya, tentu tidak harus lima waktu. Mereka yang punya aktivitas kerja di luar setidaknya bisa saat Isya dan Subuh,” jelas Setyo Budi.

Terkait dengan adanya permukiman khusus muslim, Budi menyatakan, hal itu sebenarnya dilakukan untuk menghormati warga nonmuslim. Sebab, setiap bulan Masjid MQ menggelar kegiatan zikir akbar yang diikuti ribuan jamaah dari berbagai daerah. “Atas pertimbangan itu, permukiman di sini disebut pemukiman muslim. Ini agar mereka (nonmuslim) tidak terganggu, karena banyaknya jamaah dari berbagai dari daerah yang datang,” katanya memberikan alasan.

Ke depan, masjid yang memiliki menara sekitar 57 meter di sisi kiri belakang bangunan utama masjid itu akan dikembangkan menjadi Qaddafi Islamic Center (QIC). Menurut rencana, selain mendirikan pondok pesantren, Majelis Az-Zikra berencana mendirikan universitas.

Universitas tersebut didesain seperti cabang atau perwakilan universitas di Libya untuk Asia Tenggara. Seperti diketahui, setiap tahun Libya mengundang sejumlah mahasiswa muslim dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk belajar di negaranya. Biayanya gratis. “Nah, daripada jauh-jauh, rencana didirikan juga (universitas) di sini,” jelas Budi.

Dananya tentu juga dari Libya. “Tapi, Allah masih berkehendak lain. Perang membuat rencana ini sementara tertunda. Tapi, semua akan kami lanjutkan begitu semua selesai,” ujarnya mengakhiri wawancara. (c2/kum/jpnn)

Masjid Muammar Qaddafy di Bogor ketika Libya Dilanda Perang

Di Sentul, Bogor, Jawa Barat, sejak dua tahun lalu berdiri megah Masjid Muammar Qaddafy. Diberi nama presiden Libya itu karena dialah yang menanggung biaya pembangunan masjid itu hingga Rp50 miliar.

DIAN WAHYUDI, Jakarta

PADA 2005, tiba-tiba datang sebuah undangan kepada Ustad Arifin Ilham. Undangan tersebut dari The World Islamic Call Society (WICS). Ini adalah sebuah organisasi dakwah Islam internasional yang berpusat di Tripoli, Libya, bentukan Presiden Libya Muammar Kadhafi.

Dalam undangannya, organisasi yang beranggota lebih dari 250 organisasi Islam dari seluruh dunia tersebut mengharapkan Arifin yang juga pemimpin Majelis Az-Zikra datang ke Libya.

Saat itu tidak disampaikan secara spesifik tujuan undangan tersebut.  Arifin juga tidak tahu mengapa dia yang diundang bukan tokoh Indonesia lainnya. Meski demikian, bersama empat sejawatnya, Arifin memutuskan untuk memenuhi undangan tersebut.

“Di pikiran kami saat memutuskan datang, ya setidaknya silaturahmi sajalah,” ujar Sekretaris Majelis Az-Zikra Setyo Budi Santoso ketika ditemui Jawa Pos di kompleks Masjid Muammar Qaddafy (MQ), Kamis lalu (7/4). Setyo Budi termasuk satu di antara lima orang rombongan yang berangkat ke Libya saat itu.

Di Libya, rombongan tidak bertemu langsung dengan Kadhafi. Mereka hanya ditemui Syekh Mahmoud Reech, salah seorang petinggi WICS yang sempat beberapa kali berkunjung ke Indonesia. “Tapi, di situ iseng-iseng saya sampaikan pembangunan masjid yang sebenarnya sudah lama kami rencanakan,” lanjut Budi.

Tak disangka, tanpa proses berbelit-belit, pihak WICS langsung memberikan lampu hijau. Sebelum rombongan kembali ke tanah air, meski baru secara lisan, pihak Libya sudah menyampaikan komitmen untuk siap membantu. Menunggu hampir sekitar dua tahun, bantuan dana pembangunan masjid itu akhirnya benar-benar turun pada 2007. Total bantuan sekitar Rp50 miliar.

Tak sampai dua tahun, proyek pembangunan masjid tiga lantai dengan total luas bangunan 12.600 meter persegi itu selesai. Dimulai sejak pemancangan tiang pertama pada 22 Juli 2007, masjid tersebut diresmikan pada 16 Februari 2009. “Semua dana dari sana (Libya, Red). Tidak sepeser pun dari pemerintah kita,” tegas Setyo Budi.

Namun, lanjut dia, meski seluruh dana dari Libya, pihak WICS maupun pemerintah Libya tidak pernah campur tangan terhadap urusan masjid. Termasuk, soal desain atau nama masjid sekalipun.

Terkait dengan keputusan Yayasan Majelis Az-Zikra memberi nama Muammar Qaddafy, itu hanyalah persoalan penghargaan dan penghormatan terhadap kepedulian pemimpin Libya tersebut. Terutama, terhadap perkembangan dakwah Islam hingga ke Indonesia. “Seandainya yang ngasih bantuan saya, terus kami kasih nama Masjid Budi kan juga nggak apa-apa kan” selorohnya.

Pihak pemberi dana, lanjut dia, hanya berpesan bahwa masjid yang mereka danai itu tidak boleh digunakan untuk kegiatan ekstremisme dan radikalisme. Termasuk, kegiatan-kegiatan yang melenceng dari Islam, misalnya Ahmadiyah. “Dari awal proses sampai sekarang tidak ada campur tangan dari mereka. Ini memang untuk rakyat Indonesia, masyarakat muslim Indonesia,” papar Budi kembali.

Karena hal itulah, pihak pengurus Majelis Az-Zikra berketetapan hati untuk mempertahankan nama masjid, meski saat ini terjadi gonjang-ganjing politik dan militer di Libya. “Insya Allah tidak akan ada ganti nama atau apa. Ini persoalan amanah, tidak ada hubungannya dengan yang sekarang terjadi di sana,” tegasnya.

Ketika berkunjung ke Libya, Budi menyatakan kekagumannya. “Kekayaan minyak di Libya benar-benar dikuasai negara dan dipakai untuk menggratiskan sekolah warganya dari TK sampai S-3. Juga untuk menggratiskan biaya kesehatan dan yang lain. Bagaimana dengan kita? Kurang kaya apa kita?” sindirnya.

Para petinggi Majelis Az-Zikra memang pantas kagum kepada sosok pemimpin Libya yang sering dianggap diktator oleh banyak pihak tersebut. Sebab, komitmen Kadhafi lewat lembaganya untuk melakukan dakwah di sejumlah negara tetap tak terganggu meski dalam negeri mereka dalam situasi sulit saat ini.

Sekitar akhir Maret lalu, WICS ternyata masih mengirimkan dana operasional tahunan untuk Masjid MQ, Sentul, Indonesia. Besarnya tak tanggung-tanggung, hampir Rp 2 miliar. “Bayangkan, negara masih perang, tapi tetap menjaga komitmen mengirim bantuan,” katanya, dengan nada bergetar.

Masjid MQ berada di dalam kompleks perumahan Bukit Az-Zikra, tak jauh dari tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor. Bangunan megah itu tampak semakin gagah karena dibangun di puncak bukit salah satu kawasan di Sentul Selatan. Masjid itu menjadi simbol utama kompleks perumahan yang juga dikonsep menjadi permukiman muslim tersebut.

Bukan hanya diperuntukkan masyarakat muslim, di perumahan yang sedang dalam proses pengembangan itu juga disiapkan aturan kewajiban salat berjamaah bagi warganya. “Ya, tentu tidak harus lima waktu. Mereka yang punya aktivitas kerja di luar setidaknya bisa saat Isya dan Subuh,” jelas Setyo Budi.

Terkait dengan adanya permukiman khusus muslim, Budi menyatakan, hal itu sebenarnya dilakukan untuk menghormati warga nonmuslim. Sebab, setiap bulan Masjid MQ menggelar kegiatan zikir akbar yang diikuti ribuan jamaah dari berbagai daerah. “Atas pertimbangan itu, permukiman di sini disebut pemukiman muslim. Ini agar mereka (nonmuslim) tidak terganggu, karena banyaknya jamaah dari berbagai dari daerah yang datang,” katanya memberikan alasan.

Ke depan, masjid yang memiliki menara sekitar 57 meter di sisi kiri belakang bangunan utama masjid itu akan dikembangkan menjadi Qaddafi Islamic Center (QIC). Menurut rencana, selain mendirikan pondok pesantren, Majelis Az-Zikra berencana mendirikan universitas.

Universitas tersebut didesain seperti cabang atau perwakilan universitas di Libya untuk Asia Tenggara. Seperti diketahui, setiap tahun Libya mengundang sejumlah mahasiswa muslim dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk belajar di negaranya. Biayanya gratis. “Nah, daripada jauh-jauh, rencana didirikan juga (universitas) di sini,” jelas Budi.

Dananya tentu juga dari Libya. “Tapi, Allah masih berkehendak lain. Perang membuat rencana ini sementara tertunda. Tapi, semua akan kami lanjutkan begitu semua selesai,” ujarnya mengakhiri wawancara. (c2/kum/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/