32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Larang Ekspor Nikel, Indonesia Disomasi Jepang

JAKARTA-Kebijakan Pemerintah untuk melarang ekspor tambang mentah pada 2014 memicu pertentangan dari konsumen nikel terbesar kedua di dunia, Jepang. Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah ini pun bakal dibawa Jepang ke meja WTO (World Trade Organization) untuk diupayakan adanya pencabutan kebijakan.

Direktur Jenderal Biro Industri Manufaktur Kementerian Perdagangan Jepang Takayuki Ueda mengatakan, penghitungan unilateral yang dilakukan oleh Indonesia tidaklah sesuai. “Kami akan bernegosiasi untuk mencari solusinya. Perundingan dengan WTO terhadap pelarangan ekspor tambang pada 2014 mungkin menghasilkan objektivitas,” ungkapnya pada interview di Tokyo, seperti yang dikutip dari Bloomberg.

Jepang mengatakan bahwa pada 3 Mei 2012 Indonesia mengerem ekspor atas 14 mineral termasuk nikel, tembaga, emas, dan bijih besi. Tak hanya pengetatan ekspor, Jepang juga telah mengetahui bahwa ekspor barang mentah tambang dikenai bea keluar (BK) rata-rata 20 persen. Namun demikian, Ueda mengakui bahwa kebijakan ini keluar lantaran Indonesia akan meningkatkan industri hilirisasi tambang lokal. “Namun kebijakan ini potensial untuk menaikkan cost (biaya) untuk industri smelter di Jepang. Yang mana merupakan kontributor terbesar ketiga dalam ekonomi Jepang,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang, Negeri Sakura tersebut mengimpor 3,65 juta ton bijih nikel pada 2011. Sementara Indonesia menyuplai sebesar 1,95 juta ton, atau sebesar 53 persennya. Jepang juga mengimpor bijih nikel dari New Caledonia (27 persen), dan Filipina (19 persen).
Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan membenarkan somasi Jepang terhadap Indonesia, mengenai kebijakan pelarangan ekspor tambang mentah pada 2014. “ Kalau mereka mempermasalahkan satu atau dua, kami siap untuk duduk membahas gimana ini sebaiknya,” ungkap Gita di kantor Kementerian Perdagangan kemarin (13/6).

Sedangkan Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan bahwa pihaknya juga telah siap menghadapi Jepang di perundingan WTO. “Saya siap berdialog dengan investor luar negeri. Kami akan persiapkan diri dengan lawyer-lawyer dan tim kita yang terbaik karena untuk kepentingan negara,” paparnya.
Dia menerangkan, kebijakan pengetatan ekspor mineral yang diterapkan pada 2014 bakal tetap berjalan. Pihaknya menekankan bahkan intinya bukan pelarangan ekspor, namun membatasi ekspor sepanjang kepentingan dalam negeri terpenuhi. “Yang jelas hilirisasi, negara lain juga melakukan itu,” paparnya.

Terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, kebijakan pengetatan ekspor tambang mineral tidak melanggar ketentuan WTO. Larangan ekspor memang dilarang oleh regulator perdagangan internasional itu. Namun hambatan seperti pengenaan bea keluar tidak dilarang. “Memang WTO itu kita tidak boleh melarang ekspor, tapi mengenakan hambatan boleh. Bea keluar itu salah satu cara supaya kita tidak melarang ekspor,” kata Bambang.

Mengenai UU Mineral dan Batubara yang mewajibkan bahan tambang dan mineral diolah lebih dulu di dalam negeri mulai 2014, Bambang tidak bersedia mengomentari. “Itu kan UU. Kalau  memang itu merugikan menurut saya ya harus diperbaiki. Ini kan sama kita melarang ekspor kayu glondongan, itu sempat jadi masalah,” kata Bambang. (gal/sof/jpnn)

JAKARTA-Kebijakan Pemerintah untuk melarang ekspor tambang mentah pada 2014 memicu pertentangan dari konsumen nikel terbesar kedua di dunia, Jepang. Kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah ini pun bakal dibawa Jepang ke meja WTO (World Trade Organization) untuk diupayakan adanya pencabutan kebijakan.

Direktur Jenderal Biro Industri Manufaktur Kementerian Perdagangan Jepang Takayuki Ueda mengatakan, penghitungan unilateral yang dilakukan oleh Indonesia tidaklah sesuai. “Kami akan bernegosiasi untuk mencari solusinya. Perundingan dengan WTO terhadap pelarangan ekspor tambang pada 2014 mungkin menghasilkan objektivitas,” ungkapnya pada interview di Tokyo, seperti yang dikutip dari Bloomberg.

Jepang mengatakan bahwa pada 3 Mei 2012 Indonesia mengerem ekspor atas 14 mineral termasuk nikel, tembaga, emas, dan bijih besi. Tak hanya pengetatan ekspor, Jepang juga telah mengetahui bahwa ekspor barang mentah tambang dikenai bea keluar (BK) rata-rata 20 persen. Namun demikian, Ueda mengakui bahwa kebijakan ini keluar lantaran Indonesia akan meningkatkan industri hilirisasi tambang lokal. “Namun kebijakan ini potensial untuk menaikkan cost (biaya) untuk industri smelter di Jepang. Yang mana merupakan kontributor terbesar ketiga dalam ekonomi Jepang,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang, Negeri Sakura tersebut mengimpor 3,65 juta ton bijih nikel pada 2011. Sementara Indonesia menyuplai sebesar 1,95 juta ton, atau sebesar 53 persennya. Jepang juga mengimpor bijih nikel dari New Caledonia (27 persen), dan Filipina (19 persen).
Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan membenarkan somasi Jepang terhadap Indonesia, mengenai kebijakan pelarangan ekspor tambang mentah pada 2014. “ Kalau mereka mempermasalahkan satu atau dua, kami siap untuk duduk membahas gimana ini sebaiknya,” ungkap Gita di kantor Kementerian Perdagangan kemarin (13/6).

Sedangkan Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan bahwa pihaknya juga telah siap menghadapi Jepang di perundingan WTO. “Saya siap berdialog dengan investor luar negeri. Kami akan persiapkan diri dengan lawyer-lawyer dan tim kita yang terbaik karena untuk kepentingan negara,” paparnya.
Dia menerangkan, kebijakan pengetatan ekspor mineral yang diterapkan pada 2014 bakal tetap berjalan. Pihaknya menekankan bahkan intinya bukan pelarangan ekspor, namun membatasi ekspor sepanjang kepentingan dalam negeri terpenuhi. “Yang jelas hilirisasi, negara lain juga melakukan itu,” paparnya.

Terpisah, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, kebijakan pengetatan ekspor tambang mineral tidak melanggar ketentuan WTO. Larangan ekspor memang dilarang oleh regulator perdagangan internasional itu. Namun hambatan seperti pengenaan bea keluar tidak dilarang. “Memang WTO itu kita tidak boleh melarang ekspor, tapi mengenakan hambatan boleh. Bea keluar itu salah satu cara supaya kita tidak melarang ekspor,” kata Bambang.

Mengenai UU Mineral dan Batubara yang mewajibkan bahan tambang dan mineral diolah lebih dulu di dalam negeri mulai 2014, Bambang tidak bersedia mengomentari. “Itu kan UU. Kalau  memang itu merugikan menurut saya ya harus diperbaiki. Ini kan sama kita melarang ekspor kayu glondongan, itu sempat jadi masalah,” kata Bambang. (gal/sof/jpnn)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/