Site icon SumutPos

Sama-sama Penakut

RUU-Pilkada-ilustrasi
RUU-Pilkada-ilustrasi

SUMUTPOS.CO- Perseteruan antara Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Partai Gerindra melalui media massa terus berlanjut. Para politikus partai itu tak henti-hentinya mencela Ahok yang keluar dari Gerindra karena menolak mendukung pilkada melalui DPRD.Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon mengatakan pihaknya sendiri tidak butuh seorang kutu loncat seperti Ahok. Ia pun menghubungkan bahwa penyelenggaraan pilkada langsung mengakibat munculnya orang-orang seperti Ahok yang menjadikan partai sebagai kendaraan bukan sebagai wadah perjuangan.

“Yang lahir politisi kutu loncat. Kalau saya baca kutu loncat itu serangga kecil yang masuknya hama. Ini juga hama bagi demokrasi. Kalau kutu busuk itu kutu loncat yang harus diberantas,” ujar Fadli Zon dalam diskusi Jakarta Pusat, Sabtu (13/9).

Menurut Fadli, politikus kutu loncat semacam itu tidak akan patuh pada ideologi partai. Ia menganggap seorang kutu loncat hanya ingin kekuasaan semata.

“Kalau seperti itu, partai bukan lagi memperjuangkan ideologi tapi malah jadi sewaan. Bukan wadah perjuangan untuk mensejahterakan rakyat. Kami sama sekali tidak merasa kehilangan dia,” tegas Fadli.

Selanjutnya Fadli Zon menyatakan seharusnya PDI Perjuangan mendukung rancangan undang-undang (RUU) Pilkada tentang pilkada tak langsung. Pasalnya, kata dia, pilkada tak langsung akan menghemat biaya negara.

“Katanya kan presidennya (Jokowi) mau berhemat, harusnya dukung dong penghematan melalui pilkada tak langsung,” ujar Fadli.

Lebih lanjut Fadli menjelaskan, pilkada langsung berakibat pada biaya penyelenggaraan yang mahal. Hal itu dianggapnya sebagai demokrasi yang mahaln
Selain itu, ujarnya, pilkada langsung banyak dibajak oleh kaum pemodal calon kepala daerah. Akibatnya, hanya orang-orang berduit yang bisa memenangkan pilkada.

“Ketika demokrasi dibajak kaum pemodal maka hanya orang-orang yang punya uang atau orang yang didukung mafia yang bisa maju. Minimal kan mereka bisa Rp15 miliar-Rp20 miliar untuk menyiapkan kampanye dan lain-lain. Jadi ini adalah salah satu alasannya tolak pilkada langsung,” tegas Fadli.

Mantan Sekretaris Tim Kampanye Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di pemilu presiden itu lantas menantang Jokowi dan PDI Perjuangan untuk membuktikan bahwa pilkada langsung bisa menghemat biaya. Pasalnya, ia merasa dana negara terlalu banyak mengeluarkan dana untuk pilkada langsung. Belum ditambah banyaknya kerusuhan di daerah akibat pilkada yang dianggap gagal atau menyimpang.

Di tempat terpisah, pengamat politik dari Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad menilai penolakan PDIP terhadap pemilihan kepala daerah di DPRD dinilai sebagai bentuk sikap ketakutan. “Yang paling utama kekhawatiran PDIP, karena yang menang pasti Koalisi Merah Putih,” ujarnya.

Herdi mengungkapkan, Koalisi Merah Putih hampir menguasai seluruh parlemen di seluruh tingkatan. Sementara, koalisi PDIP hanya berkuasa di tiga DPRD. Oleh karena itulah, ungkapnya, PDIP takut dikalahkan. “Jadi kalau ada pemilihan gubernur, mereka pasti kalah,” imbuh Herdi.

Meski demikian Herdi juga menegaskan bahwa belum ada jaminan Koalisi Merah Putih pasti menang di pilkada di DPRD. Sebab, imbuhnya, ada proses lobi dan diskusi politik dalam proses pilkada melalui PRD.

Menanggapi hal itu, Anggota Panja RUU Pilkada dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahadi Zakaria menepis tudingan bahwa partainya menolak usulan tentang pemilihan kepala daerah melalui DPRD karena takut kalah. Ia justru menyebut Koalisi Merah Putih ketakutan dengan pilkada langsung karena rakyat bisa memilih orang-orang berpotensi.

“Koalisi Merah Putih yang takut karena kalau pilkada langsung. Bisa saja masyarakat milih orang lain dibanding dari partai Koalisi Merah Putih,” ujar Rahadi.

Menurutnya, PDIP menolak RUU Pilkada karena menganggap demokrasi identik dengan rakyat. Dalam demokrasi, ujarnya, rakyat harus diberi kedudukan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan tidak didelegasikan seperti yang dipraktikkan era Orde Baru. “Rakyat sudah diberikan hak yang sangat melekat, kemudian apakah itu harus didelegasikan lagi?” katanya.

Rahadi menambahkan, pihak-pihak yang menghendaki pemilihan kepala daerah tidak langsung semestinya mencermati arti kata demokrasi. Bahkan, lanjutnya, praktik demokrasi di Indonesia sudah dikenal sejak lama.

“Demokrasi kita telah berlangsung sejak lama di desa, pemilihan kepala desa dilakukan secara langsung. Kenapa tidak dikembangkan demokrasi seperti itu dari rakyat oleh rakyat? Jadi jangan salah menafsirkan demokrasi dalam konteks kekinian,” tandasnya. (gil/flo/jpnn)

Exit mobile version