25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Calon Kapolri Kunjungi KPK

SUMUTPOS.CO- Presiden Joko Widodo tengah mencari calon alternatif jika nantinya batal melantik Komjen Budi Gunawan (BG) jadi Kapolri. Irwasum Mabes Polri Komjen Dwi Priyatno belakangan ini disebut sebagai orang yang paling berpeluang menjadi sang pengganti.

Namun Jokowi ternyata menampik telah kantongi nama “super sub” bagi Budi Gunawan. Ia mengaku belum membahas secara dalam mengenai hal ini. “(Sekarang) Belum sampai ke nama-nama,” kata Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Sabtu (14/2).

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bahkan belum tahu Dwi Priyatno disebut-sebut sebagai calon kuat. Ia kembali tegaskan bahwa belum ada pembahasan lebih lanjut dengan Kompolnas atau pihak manapun mengenai calon pengganti.

“Belum tahu, belum, belum,” ucapnya.

Dwi Priyatno adalah mantan Kapolda Metro Jaya ketika Jokowi masih jadi orang nomor satu di ibu kota. Ia juga dikabarkan dekat dengan petinggi PDI Perjuangan, partai pengusung utama Jokowi.

Sementara itu kabar terbaru menyebutkan jika pada Jumat malam lalu sekira pukul 21.00 WIB Komjen Dwi Priyatno tiba-tiba mendatangi KPK. Irwasum Mabes Polri itu mengaku tengah koordinasi. Namun dia tak banyak menjelaskan koordinasi dalam kaitan apa. “Koordinasi saja, dek,” jawabnya dari dalam mobil Toyota Camry B 82 SUS. Mantan Kapolda Metro Jaya itu bertemu pimpinan KPK sekitar 2 jam.

Saat ditanya apakah pertemuan itu juga membahas laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), Dwi tak menampik. Alumnus Akpol 1982 itu mengaku telah menyerahkan LHKPN pada 16 Desember 2014. “Sudah-sudah saya serahkan, 16 Desember lalu,” katanya.

Nama Dwi Priyatno memang paling santer disebut sebagai pengganti Budi Gunawan. Kompolnas juga memasukan nama Dwi dalam kandidat TB1 (istilah Kapolri). Dalam data LHKPN KPK, nama Dwi terakhir kali melaporkan kekayaannya pada 2002.

Saat itu dia masih menjabat Wakapolwiltabes Surabaya. Ketika itu harta Dwi masih Rp 860.200.000. Kemungkinan laporan yang disebut 16 Desember 2014 itu masih belum diverifikasi oleh KPK sehingga belum masuk lembaran negara.

Jika Dwi sudah melaporkan harta kekayaannya, lantas begaimana dengan para petinggi Polri yang dinilai memiliki peluang sebagai Kapolri. Dari data yang diperoleh Jawa Pos dari situs KPK, bahkan ada calon yang belum pernah sekalipun menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN. Calon itu tak lain, Kabareskrim Komjen Budi Waseso. Sementara calon yang tercatat paling rajin melaporkan update harta kekayaannya, ialah Badrodin Haiti.

Wakapolri sekaligus pelaksana tugas Kapolri itu tercatat telah enam kali melaporkan hartanya. Calon lain yang tergolong rajin melapor ialah Kepala BNN Komjen Anang Iskandar, dia telah tiga kali menyampaikan LHKPN. Calon lainnya rata-rata dua kali melaporkan LHKPN-nya (selengkapnya lihat grafis).

Mengenai laporan harta kekayaan calon kapolri, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan pelaporan LHKP merupakan kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, dia berharap presiden dalam menentukan calon kapolri tetap memperhatikan hal tersebut. “Melibatkan KPK atau tidak, harta kekayaan calon pejabat harus ditelusuri secara sahih,” ujarnya.

Ada dua undang-undang yang mengatur pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Yakni UU No 28 / 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta UU No 30 / 2002 tentang KPK. Dalam aturan tersebut, anggota polisi yang menyandang status penyelenggara negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis (eselon satu dan pejabat lain) wajib melaporkan harta kekayaan.

Merujuk pada aturan itu, harusnya Budi Waseso telah melaporkan harta kekayaannya saat dia masih menyandang pangkat perwira menengah (AKBP dan Kombes). Apalagi Budi Waseso juga pernah menjabat sebagai Kapolda Gorontalo.

Jika mengacu pada aturan yang ada, harusnya Polri telah menjatukan sanksi administratif untuk Budi Waseso. Sebab dalam pasal 20 UU 28 / 1999, disebutkan penyelenggara yang lalai dan tidak memenuhi kewajiban LHKPN harus diberi sanksi administratif oleh instansinya.

Terkait pelaporan LHKPN, calon kapolri lainnya, Dwi Priyatno mengaku dirinya sebenarnya sudah mengupdate laporan, tepatnya 16 Desember 2014. Namun laporan itu belum masuk sebagai dokumen negara karena belum diverifikasi. “Update terbaru sudah saya serahkan,” ujarnya saat mendatangi KPK, Jumat malam.

Sementara itu Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso mengakui bila selama ini belum pernah melaporkan LHKPN. Hal itu dikarenakan, dirinya kesulitan dan tidak ingin ada kesalahan dalam membuat LHKPN. “Barang-barang saya agak susah dihitung nilainya,” paparnya.

Dia menjelaskan bahwa dirinya memiliki hobi berburu, karena itu juga sebagai pemburu memiliki koleksi senjata berburu. Nah, koleksi senjata berburu ini sulit dinilai harganya. “Kalau untuk senjata koleksi tentu berbeda, saya hargai segini. Eh, ternyata lebih mahal. Karena itu saya inginnya komunikasi dengan pabriknya untuk memastikan harganya berapa,” ujarnya.

Koleksi lainnya, lanjut dia adalah koleksi mobil antik. Koleksi semacam itu tentu memiliki penafsiran yang berbeda terkait harganya. “Saya juga tidak mau ada kesalahanlah,” tuturnya.

Setelah semua dihitung, dia memastikan akan secepatnya untuk menyerahkan LHKPN. “Ada juga harta tidak bergerak seperti tanah dan rumah, walau sekarang saya tinggal di rumah mertua di Cibubur,” jelasnya. (gun/idr/dil/jpnn)

SUMUTPOS.CO- Presiden Joko Widodo tengah mencari calon alternatif jika nantinya batal melantik Komjen Budi Gunawan (BG) jadi Kapolri. Irwasum Mabes Polri Komjen Dwi Priyatno belakangan ini disebut sebagai orang yang paling berpeluang menjadi sang pengganti.

Namun Jokowi ternyata menampik telah kantongi nama “super sub” bagi Budi Gunawan. Ia mengaku belum membahas secara dalam mengenai hal ini. “(Sekarang) Belum sampai ke nama-nama,” kata Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Sabtu (14/2).

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini bahkan belum tahu Dwi Priyatno disebut-sebut sebagai calon kuat. Ia kembali tegaskan bahwa belum ada pembahasan lebih lanjut dengan Kompolnas atau pihak manapun mengenai calon pengganti.

“Belum tahu, belum, belum,” ucapnya.

Dwi Priyatno adalah mantan Kapolda Metro Jaya ketika Jokowi masih jadi orang nomor satu di ibu kota. Ia juga dikabarkan dekat dengan petinggi PDI Perjuangan, partai pengusung utama Jokowi.

Sementara itu kabar terbaru menyebutkan jika pada Jumat malam lalu sekira pukul 21.00 WIB Komjen Dwi Priyatno tiba-tiba mendatangi KPK. Irwasum Mabes Polri itu mengaku tengah koordinasi. Namun dia tak banyak menjelaskan koordinasi dalam kaitan apa. “Koordinasi saja, dek,” jawabnya dari dalam mobil Toyota Camry B 82 SUS. Mantan Kapolda Metro Jaya itu bertemu pimpinan KPK sekitar 2 jam.

Saat ditanya apakah pertemuan itu juga membahas laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), Dwi tak menampik. Alumnus Akpol 1982 itu mengaku telah menyerahkan LHKPN pada 16 Desember 2014. “Sudah-sudah saya serahkan, 16 Desember lalu,” katanya.

Nama Dwi Priyatno memang paling santer disebut sebagai pengganti Budi Gunawan. Kompolnas juga memasukan nama Dwi dalam kandidat TB1 (istilah Kapolri). Dalam data LHKPN KPK, nama Dwi terakhir kali melaporkan kekayaannya pada 2002.

Saat itu dia masih menjabat Wakapolwiltabes Surabaya. Ketika itu harta Dwi masih Rp 860.200.000. Kemungkinan laporan yang disebut 16 Desember 2014 itu masih belum diverifikasi oleh KPK sehingga belum masuk lembaran negara.

Jika Dwi sudah melaporkan harta kekayaannya, lantas begaimana dengan para petinggi Polri yang dinilai memiliki peluang sebagai Kapolri. Dari data yang diperoleh Jawa Pos dari situs KPK, bahkan ada calon yang belum pernah sekalipun menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN. Calon itu tak lain, Kabareskrim Komjen Budi Waseso. Sementara calon yang tercatat paling rajin melaporkan update harta kekayaannya, ialah Badrodin Haiti.

Wakapolri sekaligus pelaksana tugas Kapolri itu tercatat telah enam kali melaporkan hartanya. Calon lain yang tergolong rajin melapor ialah Kepala BNN Komjen Anang Iskandar, dia telah tiga kali menyampaikan LHKPN. Calon lainnya rata-rata dua kali melaporkan LHKPN-nya (selengkapnya lihat grafis).

Mengenai laporan harta kekayaan calon kapolri, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan pelaporan LHKP merupakan kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, dia berharap presiden dalam menentukan calon kapolri tetap memperhatikan hal tersebut. “Melibatkan KPK atau tidak, harta kekayaan calon pejabat harus ditelusuri secara sahih,” ujarnya.

Ada dua undang-undang yang mengatur pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara. Yakni UU No 28 / 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta UU No 30 / 2002 tentang KPK. Dalam aturan tersebut, anggota polisi yang menyandang status penyelenggara negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis (eselon satu dan pejabat lain) wajib melaporkan harta kekayaan.

Merujuk pada aturan itu, harusnya Budi Waseso telah melaporkan harta kekayaannya saat dia masih menyandang pangkat perwira menengah (AKBP dan Kombes). Apalagi Budi Waseso juga pernah menjabat sebagai Kapolda Gorontalo.

Jika mengacu pada aturan yang ada, harusnya Polri telah menjatukan sanksi administratif untuk Budi Waseso. Sebab dalam pasal 20 UU 28 / 1999, disebutkan penyelenggara yang lalai dan tidak memenuhi kewajiban LHKPN harus diberi sanksi administratif oleh instansinya.

Terkait pelaporan LHKPN, calon kapolri lainnya, Dwi Priyatno mengaku dirinya sebenarnya sudah mengupdate laporan, tepatnya 16 Desember 2014. Namun laporan itu belum masuk sebagai dokumen negara karena belum diverifikasi. “Update terbaru sudah saya serahkan,” ujarnya saat mendatangi KPK, Jumat malam.

Sementara itu Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso mengakui bila selama ini belum pernah melaporkan LHKPN. Hal itu dikarenakan, dirinya kesulitan dan tidak ingin ada kesalahan dalam membuat LHKPN. “Barang-barang saya agak susah dihitung nilainya,” paparnya.

Dia menjelaskan bahwa dirinya memiliki hobi berburu, karena itu juga sebagai pemburu memiliki koleksi senjata berburu. Nah, koleksi senjata berburu ini sulit dinilai harganya. “Kalau untuk senjata koleksi tentu berbeda, saya hargai segini. Eh, ternyata lebih mahal. Karena itu saya inginnya komunikasi dengan pabriknya untuk memastikan harganya berapa,” ujarnya.

Koleksi lainnya, lanjut dia adalah koleksi mobil antik. Koleksi semacam itu tentu memiliki penafsiran yang berbeda terkait harganya. “Saya juga tidak mau ada kesalahanlah,” tuturnya.

Setelah semua dihitung, dia memastikan akan secepatnya untuk menyerahkan LHKPN. “Ada juga harta tidak bergerak seperti tanah dan rumah, walau sekarang saya tinggal di rumah mertua di Cibubur,” jelasnya. (gun/idr/dil/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/