MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan audit forensik atas anggaran Pemilu 2019 yang dikelola KPU RI. Anggaran Pemilu 2019 sebesar Rp25 triliun dianggap BPN tidak mencerminkan kualitas Pemilu kali ini, bahkan disebut sebagai yang terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia.
Menyikapi desakan ini, Ketua KPK Agus Raharjo mengaku tidak dapat melakukan audit forensik terhadap anggaran Pemilu serentak 2019 yang dikelola KPU RI. Menurut Agus, KPK hanya bisa melakukan audit forensik ketika sudah ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penggunaan uang rakyat untuk pesta demokrasi tersebut.
“Tidak bisa juga tanpa hujan dan angin, melakukan audit forensik terhadap KPU. Mesti ada laporan karena yang melakukan audit awal itu dari BPK. BPK nemukan sesuatu nggak? Kalau tidak menemukan sesuatu dan menerima laporan masyarakat, tidak bisa KPK masuk (audit forensik),” kata Agus Raharjo saat temu pers usai Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi Terintegerasi dengan pemerintah daerah di Sumatera Utara, di Aula Raja Inal Siregar Kantor Gubsu, Selasa (14/5).
Disebut Agus, jika dari temuan BPK terdapat penyimpangan dan ditunjang bukti material kuat, ditambah adanya informasi masyarakat berdasarkan bukti material seperti temuan BPK, banyak penyimpangan dan lain sebagainya, baru KPK dapat turun melakukan audit forensik. “Jadi kalau nggak ada laporan, nggak ada temuan BPK, nggak ada pasalnya kita bisa masuk untuk melakukan audit forensik,” katanya.
Agus juga mengungkapkan, terkait penyelenggara Pemilu, KPK hanya bisa menindak penyelenggara negara. Yaitu gubernur, wakil gubernur, wali kota, wakil wali kota, bupati dan wakil bupati, serta anggota DPRD. “Di luar itu sudah nggak bisa lagi, termasuk kepala dinas tidak bisa kecuali tidak terkait dengan penyelenggara negara. Oleh karena itu ketika kita ada lakukan penangkapan kepala dinas, karena tidak berhubungan dengan bupati dan DPRD-nya akhirnya kita serahkan ke polisi,” katanya.
Tak hanya kecurangan di Pilpres 2019, KPK juga mengaku, sejauh ini belum punya data sekaitan laporan dan pengaduan dugaan kecurangan menyangkut Pemilihan Legislatif. Menurut Agus, pemilu banyak sekali pelaku yang bukan penyelenggara negara. Kemudian pemilu sudah ada kewenangan yang diberikan kepada lembaga terkait, seperti Bawaslu, kepolisian jika ada unsur pidana. “Kami tidak punya data atas kasus-kasus yang menyangkut politik uang (di Pileg 2019). OTT yang pernah kita lakukan kemarin bukan ingin menyasar pada politik uang melainkan indikasi suap,” pungkasnya.
Seperti diketahui, KPK didorong BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk melakukan audit forensik atas anggaran Pemilu 2019 yang dikelola KPU RI. Hal ini sekaitan fakta-fakta kecurangan yang dilakukan paslon capres 01 secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Anggaran Pemilu 2019 sebesar Rp25 triliun dianggap BPN tidak mencerminkan kualitas pemilu kali ini, bahkan disebut sebagai yang terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia. Tak hanya itu, pada hari itu BPN Prabowo-Sandi juga telah memaparkan fakta-fakta kecurangan Pilpres 2019 di hadapan publik.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli pun menyampaikan kekecewaannya terhadap penyelenggaraan Pemilu 2019. Rizal menilai, KPU selaku ‘wasit’ penyelenggaraan pemilu bersikap tidak profesional. “Saya ingin katakan, saya perhatikan wasitnya sudah enggak adil, bagaimana bisa menghasilkan hasil pemilu yang jujur dan adil,” kata Rizal.
Dia juga menyinggung banyaknya kesalahan data Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) ke dalam web KPU. Padahal, menurut Rizal, sistem yang dibangun KPU itu menelan anggaran yang cukup mahal. “Sederhananya, sistem komputer itu di KPU ada yang namanya front end bagian depan. Kalau salah angka, salah masukkin data, otomatis ditolak, nah, berbagai kecurangan ini bisa terjadi di back end di belakangnya, bisa diatur kapan dulu masuknya, Jawa Tengah dulu masuknya, bisa diatur ini dikurangi, ini ditambahkan,” jelas Rizal.
“Bayangin, anggaran Rp25 triliun sistem komputernya betul-betul amatiran dan KPU betul-betul jemawa sekali,” sambungnya lagi.
Ketidakprofesionalan KPU, kata Rizal, juga terjadi ketika KPU mengkoreksi data-data yang salah input tersebut. Karenanya, Rizal menyarankan KPU segera diaudit secara forensik. “Kejahatan, kecurangan ini banyak sekali dilaporkan, tapi KPU tidak melakukan tindakan-tindakan yang profesional melakukan koreksi,” kata Rizal.
“Nah oleh karena itu kami minta agar sistem KPU dilakukan audit forensik. Sehingga bisa diketahui siapa yang melakukan instruksi, siapa yang mengatur meski begini hasilnya, supaya rakyat kita betul merasa nyaman, pemilu ini jujur dan adil,” ujarnya lagi.
Rizal mengingatkan siapapun yang melakukan kecurangan dalam pemilu dapat dijerat dengan hukuman penjara dan denda. “Barang siapa yang melakukan perbuatan satu suara pemilih saja menjadi tidak sah dan tidak bisa digunakan karena berbagai alasan bisa dikenakan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp48 juta,” tutup Rizal. (prn/bbs)