JAKARTA- Draf Rancangan Undang-undang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) telah resmi diserahkan ke parlemen. Terdapat beberapa isu krusial yang muncul dalam draft versi pemerintah ini. Inikah bentuk neo-sentralisasi pemerintah?
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan terdapat beberapa poin penting yang berbeda dengan aturan pemilu kepala daerah sebelumnya. Dia menyebutkan kepala daerah tingkat provinsi atau gubernur tak lagi dipilih melalui pemilu kepala daerah secara langsung.
“Mekanisme pemilihan yang paling kompatibel untuk diterapkan dalam pemilihan gubernur adalah dengan mekanisme perwakilan yang dalam hal ini dipilih melalui suara terbanyak oleh DPRD provinsi (representative democracy),” ujar Gamawan saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Rabu lalu.
Gamawan menjelaskan gubernur dalam sistem pemerintahan tidak semata-mata menjadi kepala daerah, namun juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. “Kondisi ini sejalan dengan format provinsi yang lebih menjalankan fungsi koordinatif dalam koridor dekonsentrasi,” tambah bekas Gubernur Sumatera Barat ini.
Selain persoalan tersebut, Gamawan juga menyebutkan pemilihan bupati dan wakil bupati dalam draft RUU Pilkada tak lagi satu paket. Dia menyebutkan, dalam praktiknya hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harmonis.
Gamawan menyebutkan data Kementerian Dalam Negeri mengungkapkan hanya 24 pasangan kepala daerah yang maju kembali dalam pilkada periode kedua. “Dari 2010-Januari 2012, sebanyak 324 pilkada, kisarannya hanya 7,41 persen. Kondisi tersebut merefleksikan relasi yang rapuh antara kepala daerah dan wakil kepala daerah,” papar Gamawan.
Selain fakta politik di lapangan, Gamawan menambahkan, dalam konstitusi juga tidak diatur keberadaan wakil kepala daerah. “Konstitusi tidak mengenal istilah wakil kepala daerah dimana pasal 18 ayat 4 UUD NRI tahun 1945 hanya mengamanatkan untuk dilakukannya pemilihan terhadap kepala daerah yakni gubernur, bupati, dan walikota,” jelas Gamawan.
Persoalan lainnya yang mengemuka, sengketa pemilukada sesuai draft RUU Pilkada versi pemerintah itu tidak lagi ditangani Mahkamah Konstitusi (MK). Karena dalam UU No 8 Tahun 2011 MK hanya menangani sengketa pemilu di tingkat nasional. “Menjadi relevan apabila penyelesaian sengketa pilkada ditangani dalam sistem peradilan di bawah otoritas Mahkamah Agung,” terang Gamawan.
Sementara anggota Komisi II DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Abdul Malik Haramain mengatakan pihaknya tidak setuju dengan beberapa isu krusial yang ada dalam draft RUU Pilkada. “Gubernur harus tetap dipilih langsung oleh rakyat,” cetus Malik.
Malik memberi alasan, legitimasi politik gubernur harus sama kuatnya dengan bupati/walikota. Meski lebih banyak menjalankan fungsi-fungsi koordinasi dengan pemerintah pusat, imbuh Malik, Gubernur tetap harus diberi otoritas untuk membina dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah. “Kalau dipilih DPRD, maka kekuatan politik gubernur dalam membina dan mengawasi bupati/walikota akan berkurang,” terang Malik.
Terkait argumentasi efisiensi dengan peniadaan pemilukada di level provinsi, Malik menepisnya. Menurut dia, efisiensi dapat dilakukan jika ditempuh dengan pelaksanaan pemilukada secara serentak dan satu putaran. “Caranya menaikkan persentase pengusung 20-25 persen dan satu putaran. Cara lain mengubah model kampanye yang cenderung manghambur-hamburkan dana. Cara ketiga ke depan harus pemilukada serentak,” papar Malik.
Adapun terkait dengan waki kepala daerah direkrut dari kalangan birokrasi jelas akan memberi dampak secara hukum. “Semisal jika Kepala Daerahnya berhalangan tetap maka wakil tidak bisa menggantikan,” terang Malik.
Ketika disinggung apakah draft RUU Pilkada ini mendesain sentralisasi gaya baru oleh pemerintah, Malik menepisnya. “Tidak. Cuma ada gelaja birokratisasi jabatan politik. Semisal wakil kepala daerah diangkat dan harus karier,” tandas Malik. (net/jpnn)