JAKARTA- Sinyalemen kemunculan donatur dari kalangan pengusaha ‘hitam’ diingatkan berbagai pihak menjelang pesta demokrasi memilih Sumut-1 pada Maret tahun depan. Para pengusaha ‘hitam’ ditengarai terus bergerilya mencermati nama-nama yang berpeluang besar ikut bertarung di bursa pencalonan.
“Pilkada yang menghabiskan biaya sangat besar menjadi pintu masuk. Dari sini tumbuh persekongkolan pejabat daerah dengan para pengusaha hitam,’’ demikian Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Andhi Nirwanto, kepada Sumut Pos, di Jakarta, kemarin.
Andhi mengatakan, dalam dua tahun terakhir, pejabat petahana (incumbent) yang mencalonkan kembali seringkali jor-joran mencari uang proyek. “Dana itu termasuk yang ditawarkan oleh pengusaha hitam yang mensponsori suksesi kepemimpinannya. Dalam politik itu kan tak ada istilah ‘makan siang yang gratis’. No Free Lunch,” ungkapnya.
Menariknya, selain berusaha mendekati incumbent, atau sebaliknya, pa ra pengusaha hitam ini juga dipastikan mencoba mendekati para calon lain yang dikalkulasi punya peluang yang besar. Metode ini lazim dilakukan untuk mengamankan posisi mereka di setiap periode kepala daerah.
“Itulah akarnya. Pemilihan kepala daerah yang salah kaprah menyuburkan politik uang yang melibatkan hampir seluruh elemen di birokrasi,’’ tukasnya. Andhi mengaku tak heran kalau Jampidsus Kejagung hingga tahun ini sudah menangani sedikitnya tujuh gubernur yang berperkara korupsi. ‘’Wakil gubernur ada satu orang, dan wali kota/wakil wali kota mencapai 12 orang,’’ dia menambahkan.
Paling mengejutkan adalah catatan tahun 2004-2012 dimana Kejagung menangani perkara dugaan korupsi terhadap 30 bupati dan delapan orang wakil bupati.
‘’Banyaknya oknum kepala daerah yang menjalani pemeriksaan dalam perkara korupsi mencerminkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan belum dilaksanakan secara baik,’’ katanya.
Dihubungi terpisah, Sekjen DPP PPP Romahurmuzy mengungkapkan jumlah kasus korupsi kepala daerah itu diakibatkan pola kampanye dan pembinaan konstituen yang kian pragmatis menjelang pelaksanaan Pilkada. Apalagi diketahui, untu maju di Pilkada sekelas Pilgub, menurut politisi muda yang akrab disapa Romi ini, mencapai Rp50 miliar.
Pengakuan senada dikemukakan Benny Pasaribu, pasangan calon yang kalah di Pilgubsu 2008 silam. Benny yang saat itu berpasangan dengan mantan Pangdam I/BB Tritamtomo mengaku sedikitnya menghabiskan Rp17 miliar selama masa-masa pencalonan. Becermin dari kebutuhan anggaran yang melimpah itu, Benny mengatakan, tidak heran banyak pengusaha hitam yang memanfaatkan kondisi tersebut.
‘’Betul seperti jargon tak ada ‘makan siang’ gratis. Bantuan sponsor itu terbuka datang dari siapa saja,” tukasnya.
Sementara, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmy Badoh mengingatkan, lemahnya pengaturan keuangan kampanye, terutama batasan jumlah sumbangan, pelaporan, dan audit dana kampanye para kandidat serta tim sukses menjadi penyebab besarnya praktik uang dalam Pilkada.
Hal ini ditunjukan, misalnya, dalam batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon dan sumbangan dalam bentuk natura (bukan tunai).
‘’UU No 32 tahun 2004 dan PP No 6 tahun 2005 yang mengatur tentang Pilkada tak membuat batasan jelas soal itu. Tak adanya pengaturan batasan jumlah sumbangan yang diberikan oleh pasangan calon menyebabkan pasangan calon dapat menyumbang dalam jumlah tak terbatas untuk kepentingan kampanye,’’ katanya.
Realitas ini, menurut Badoh, tentu sangat tidak adil bagi kandidat-kandidat yang lemah kemampuan finansialnya. Sebab itu, lanjutnya lagi, pengumuman laporan kekayaan kandidat menjadi penting. Jika jumlah yang disumbangkan ternyata jauh melebihi jumlah kekayaan, patut diduga, para kandidat menerima sumbangan dari individu atau badan hukum dengan identitas yang disembunyikan. ‘’Bisa jadi sumbangan ini berasal dari pundi-pundi yang dilarang aturan,’’ katanya.
Badoh berpendapat, celah aturan ini juga menihilkan aturan yang lain, seperti batasan sumbangan dalam bentuk uang yang diatur maksimum Rp50 juta dari individu dan Rp350 juta untuk badan hukum yang termaut di Pasal 65 ayat 3 dalam PP No 6/2005.
‘’Siapa saja bisa menyumbang langsung dalam pembiayaan kampanye lewat para pasangan calon, menyebabkan kantong para pasangan calon layaknya tempat cuci uang,’’ tukasnya.
Untuk menambal kekurangan ini, Badoh menegaskan, peran Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) menjadi signifikan. KPUD yang memiliki fungsi regulasi dapat menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk menambal atau memperjelas pengaturan dalam pasal-pasal UU atau PP.
Dikatakan lagi, langkah itu pernah dilakukan KPU Pusat pada Pemilu 2004 dengan menerbitkan SK Nomor 676 tahun 2004 tentang Pedoman Pelaporan dan Audit Dana Kampanye Partai Politik dan Peserta Pemilu Perorangan.
‘’Aturan ini sangat efektif dalam mendorong partai dan kandidat pada Pemilu 2004 untuk membuat laporan dana kampanye dan dalam rangka audit dana kampanye,’’ pungkasnya. (gir/sam)