31 C
Medan
Sunday, June 30, 2024

Biaya Mahal Bikin Masyarakat Enggan Tes Saat Begejala, Jokowi Minta Harga PCR Rp450 Ribu

SUMUTPOS.CO – Biaya tes polymerase chain reaction (PCR) yang mahal di Indonesia, menjadi sorotan. Pasalnya, akibat mahalnya biaya tes PCR, banyak masyarakat yang enggan melakukan tes saat bergejala. Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta harga tes PCR diturunkan.

Presiden Joko Widodo.

PRESIDEN Jokowi mengatakan, penurunan harga tes PCR bisa memperbanyak tes pemeriksaan Covid-19. “Salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR. saya sudah berbicara dengan Menkes mengenai hal ini. Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp450 ribu sampai Rp550 ribu,” kata Jokowi dalam keterangannya, Minggu (15/8).

Tak hanya menurunkan harga tes PCR, Jokowi juga meminta Menkes untuk mengatur agar hasil tes PCR bisa keluar dalam waktu 1 hari. “Saya juga minta agar tes PCR, bisa diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1×24 jam, kita butuh kecepatan,” tegas Jokowi. Menurut Presiden, tes PCR menjadi sangat penting dalam upaya untuk meningkatkan testing. Testing sendiri merupakan bagian dari penanganan pandemi Covid-19. 

Tingginya harga tes PCR semakin menjadi perbincangan, setelah diketahui bahwa India menetapkan kebijakan yang membuat harga tes PCR jauh lebih murah. Sebagai perbandingan, rata-rata tes PCR di Indonesia menghabiskan biaya Rp900 ribu hingga Rp1 juta.

Bahkan, harganya bisa lebih tinggi jika menginginkan hasil yang lebih cepat. Sementara itu, tes di India lebih murah, yakni 500 rupee atau berkisar Rp100 ribu.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan, pada September 2020 ketika akan pulang ke Jakarta dari New Delhi, sebelum terbang dirinya menjalani tes PCR. “Petugasnya datang ke rumah saya dan biayanya 2.400 rupee atau sekitar Rp480.000. Waktu itu tarif tes PCR di negara kita masih lebih dari Rp1 juta,” tuturnya.

Kemudian, pada November 2020, Pemerintah Kota New Delhi menetapkan harga baru yang jauh lebih murah, yakni hanya 1.200 rupee atau Rp240.000. Yoga menuturkan, harga itu turun separo dari yang pernah dia bayar pada September 2020. Di laboratorium maupun RS swasta, biayanya malah jauh lebih murah, yakni Rp160 ribu atau 800 rupee.

Kebijakan terbaru, Pemerintah Kota New Delhi pada awal Agustus 2021 membuat harga PCR kembali turun menjadi 500 rupee atau sekitar Rp100 ribu. “Kalau pemeriksaannya dilakukan di rumah klien, tarifnya adalah 700 rupee atau Rp140 ribu. Sementara itu, tarif pemeriksaan rapid test antigen adalah 300 rupee atau Rp60 ribu,” jelas Yoga.

Pemerintah Kota New Delhi juga meminta laboratorium swasta di kota itu bisa menyelesaikan pemeriksaan dan memberitahukan hasilnya ke klien dalam 1 x 24 jam. Termasuk melaporkannnya ke portal pemerintah yang dikelola Indian Council of Medical Research (ICMR). Dengan begitu, data segera dikompilasi di tingkat nasional sehingga mencegah keterlambatan pelaporan.

Meski demikian, kata Yoga, harus diteliti lebih lanjut mengapa pemerintah India sanggup menurunkan harga tes sebesar itu. Salah satu rekannya di India menyebutkan, kemungkinan adanya subsidi dari pemerintah setempat. Ada juga informasi bahwa ada fasilitas keringanan pajak. Meski, dia belum bisa memastikan kebenaran informasi tersebut. “Yang jelas, kalau harga tes lebih murah, jumlah tes di negara kita juga bisa lebih banyak sehingga lebih mudah mengendalikan penularan di masyarakat,” katanya.

Mestinya Gratis

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyebutkan, untuk memasifkan testing dan tracing, seharusnya pemerintah bisa menggratiskan tes PCR. Itu terutama dalam konteks kepentingan penelusuran kontak. “Yang bayar itu hanya untuk yang naik pesawat, yang keluar negeri, atau ke daerah untuk penerbangan atau perjalanan laut,” jelas Dicky.

Untuk kepentingan menemukan dan melacak kasus ketika terdeteksi ada klaster tertentu, menurut dia, tes PCR seharusnya digratiskan. ’’Jadi, ada masyarakat yang merasa khawatir karena kontak dengan pasien positif, dia bisa berinisiatif tes sendiri,” jelasnya. Dengan begitu, tracing bisa lebih masif. Sesuai standar WHO, rasio tracing yang ideal adalah 1:30.

Yang umum diketahui selama ini, pemerintah menggratiskan tes dalam rangka tracing. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu begitu. ’’Saya punya banyak laporannya. Masyarakat yang merasa ada gejala itu ya tes sendiri, bayar sendiri. Indonesia masih yang pasif (soal testing, Red), belum termasuk yang gratis,” jelasnya.

Kadin Ingin Impor PCR

Pengusaha mencari cara agar tes PCR di Indonesia bisa terjangkau harganya. Salah satunya adalah dengan melakukan penjajakan impor PCR dengan beberapa negara produsen di dunia.

Hal ini dilakukan Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (Inaca). Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan, Denon Prawiratmadja pencarian PCR murah ke luar negeri dilatarbelakangi masih mahalnya tes PCR di Indonesia. Menurut Denon hal ini juga dikeluhkan masyarakat.

“Kami berusaha mencari perangkat tes PCR yang harganya murah dengan kualitas baik dan nantinya dapat membantu meringankan beban masyarakat yang ingin terbang,” ujar Denon dalam keterangannya, Minggu (15/8).

Tes PCR sendiri bukan cuma digunakan sebagai alat testing virus Corona saja. Tes ini juga menjadi salah satu syarat bagi masyarakat untuk naik pesawat terbang. Yang jadi masalah saat ini, banyak masyarakat keberatan untuk naik pesawat. Apalagi bila tes PCR harganya lebih mahal daripada tiket pesawat. “Kami mendapatkan banyak keluhan dari masyarakat yang intinya menyatakan bahwa harga tes PCR di sini masih mahal, bahkan bisa lebih mahal dari harga tiket pesawat,” ungkap Denon yang juga Ketua Umum Inaca.

Denon menyatakan, ada beberapa negara produsen yang sedang didekati untuk impor PCR tersebut. Seperti misalnya India, Jepang dan beberapa negara lain. “Kami harus bergerak cepat karena banyak juga negara lain yang mencari PCR di pasar dunia. Kami berharap tidak lama lagi akan mendapatkannya,” ujar Denon.

Nantinya perangkat tes PCR yang diimpor ini akan didistribusikan ke bandara-bandara dan tempat-tempat lain. Dengan demikian, proses testing PCR pada masyarakat yang ingin terbang naik pesawat bisa berlangsung lebih cepat, praktis dan tentu saja biayanya lebih murah.

Berantas Mafia

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto meminta pemerintah untuk menyelidiki secara serius penyebab mahalnya harga tes PCR di dalam negeri. Harga tes PCR di Indonesia diketahui sepuluh kali lebih mahal dibanding India.

Ia pun menilai ketimpangan harga yang terpaut besar ini harus dicermati, jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi korban eksploitasi mafia bisnis kesehatan, yang mencari untung besar di tengah krisis. “WHO menyarankan kita mencontoh cara India menangani Covid-19. India sudah terbukti mampu menurunkan kasus positif hariannya secara drastis salah satunya dengan memperbanyak tes,” kata dia dalam keterangannya, Minggu (15/8).

“Mereka mampu melaksanakan tes secara masif, karena biayanya yang sangat murah yaitu hanya Rp 56 ribu per pasien. Sedangkan biaya tes di Indonesia bisa sepuluh kali lipat,” sambung dia.

Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini meminta pemerintah untuk menjelaskan kenapa harga PCR di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di India. Padahal bahan dan prosedur pemeriksaannya hampir sama. “Karena itu saya minta pemerintah memeriksa semua alur pengadaan perangkat PCR dan proses distribusi ke klinik penyelenggara pelaksana tes PCR. Bila terbukti ada pihak yang coba mencari keuntungan berlebih bisa segera diambil tindakan hukum,” desaknya.

Terkait dengan ketergantungan impor terhadap reagen dan bahan kimia penunjang tes PCR lainnya, industri petrokimia dalam negeri perlu terus dimaksimalkan. Salah satunya kilang minyak Tuban dengan industri petrokimia-nya yang masih terhambat.

Pemerintah juga harus perkuat ekosistem dan infrastruktur riset dasar bidang industri dan enzim molekular (industrial and molecular enzyme) serta bidang kimia sintetik (chemical synthesis). Sehingga mampu memproduksi sendiri reagen dan bahan kimia lainnya, agar Indonesia tidak tergantung pada impor bahan yang sangat penting bagi kesehatan masyarakat.

“Untuk jangka pendek pemerintah perlu mengatur ketentuan impor reagen dan bahan lain pendukung PCR ini sedemikian rupa, sehingga dapat menekan harga tes PCR. Misalnya menugaskan BUMN membeli reagen dalam jumlah besar dan komitmen jangka panjang agar harga dapat ditekan,” papar Mulyanto. (jpc/dtf)

SUMUTPOS.CO – Biaya tes polymerase chain reaction (PCR) yang mahal di Indonesia, menjadi sorotan. Pasalnya, akibat mahalnya biaya tes PCR, banyak masyarakat yang enggan melakukan tes saat bergejala. Untuk itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta harga tes PCR diturunkan.

Presiden Joko Widodo.

PRESIDEN Jokowi mengatakan, penurunan harga tes PCR bisa memperbanyak tes pemeriksaan Covid-19. “Salah satu cara untuk memperbanyak testing adalah dengan menurunkan harga tes PCR. saya sudah berbicara dengan Menkes mengenai hal ini. Saya minta agar biaya tes PCR berada di kisaran Rp450 ribu sampai Rp550 ribu,” kata Jokowi dalam keterangannya, Minggu (15/8).

Tak hanya menurunkan harga tes PCR, Jokowi juga meminta Menkes untuk mengatur agar hasil tes PCR bisa keluar dalam waktu 1 hari. “Saya juga minta agar tes PCR, bisa diketahui hasilnya dalam waktu maksimal 1×24 jam, kita butuh kecepatan,” tegas Jokowi. Menurut Presiden, tes PCR menjadi sangat penting dalam upaya untuk meningkatkan testing. Testing sendiri merupakan bagian dari penanganan pandemi Covid-19. 

Tingginya harga tes PCR semakin menjadi perbincangan, setelah diketahui bahwa India menetapkan kebijakan yang membuat harga tes PCR jauh lebih murah. Sebagai perbandingan, rata-rata tes PCR di Indonesia menghabiskan biaya Rp900 ribu hingga Rp1 juta.

Bahkan, harganya bisa lebih tinggi jika menginginkan hasil yang lebih cepat. Sementara itu, tes di India lebih murah, yakni 500 rupee atau berkisar Rp100 ribu.

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama menuturkan, pada September 2020 ketika akan pulang ke Jakarta dari New Delhi, sebelum terbang dirinya menjalani tes PCR. “Petugasnya datang ke rumah saya dan biayanya 2.400 rupee atau sekitar Rp480.000. Waktu itu tarif tes PCR di negara kita masih lebih dari Rp1 juta,” tuturnya.

Kemudian, pada November 2020, Pemerintah Kota New Delhi menetapkan harga baru yang jauh lebih murah, yakni hanya 1.200 rupee atau Rp240.000. Yoga menuturkan, harga itu turun separo dari yang pernah dia bayar pada September 2020. Di laboratorium maupun RS swasta, biayanya malah jauh lebih murah, yakni Rp160 ribu atau 800 rupee.

Kebijakan terbaru, Pemerintah Kota New Delhi pada awal Agustus 2021 membuat harga PCR kembali turun menjadi 500 rupee atau sekitar Rp100 ribu. “Kalau pemeriksaannya dilakukan di rumah klien, tarifnya adalah 700 rupee atau Rp140 ribu. Sementara itu, tarif pemeriksaan rapid test antigen adalah 300 rupee atau Rp60 ribu,” jelas Yoga.

Pemerintah Kota New Delhi juga meminta laboratorium swasta di kota itu bisa menyelesaikan pemeriksaan dan memberitahukan hasilnya ke klien dalam 1 x 24 jam. Termasuk melaporkannnya ke portal pemerintah yang dikelola Indian Council of Medical Research (ICMR). Dengan begitu, data segera dikompilasi di tingkat nasional sehingga mencegah keterlambatan pelaporan.

Meski demikian, kata Yoga, harus diteliti lebih lanjut mengapa pemerintah India sanggup menurunkan harga tes sebesar itu. Salah satu rekannya di India menyebutkan, kemungkinan adanya subsidi dari pemerintah setempat. Ada juga informasi bahwa ada fasilitas keringanan pajak. Meski, dia belum bisa memastikan kebenaran informasi tersebut. “Yang jelas, kalau harga tes lebih murah, jumlah tes di negara kita juga bisa lebih banyak sehingga lebih mudah mengendalikan penularan di masyarakat,” katanya.

Mestinya Gratis

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menyebutkan, untuk memasifkan testing dan tracing, seharusnya pemerintah bisa menggratiskan tes PCR. Itu terutama dalam konteks kepentingan penelusuran kontak. “Yang bayar itu hanya untuk yang naik pesawat, yang keluar negeri, atau ke daerah untuk penerbangan atau perjalanan laut,” jelas Dicky.

Untuk kepentingan menemukan dan melacak kasus ketika terdeteksi ada klaster tertentu, menurut dia, tes PCR seharusnya digratiskan. ’’Jadi, ada masyarakat yang merasa khawatir karena kontak dengan pasien positif, dia bisa berinisiatif tes sendiri,” jelasnya. Dengan begitu, tracing bisa lebih masif. Sesuai standar WHO, rasio tracing yang ideal adalah 1:30.

Yang umum diketahui selama ini, pemerintah menggratiskan tes dalam rangka tracing. Namun, kenyataan di lapangan tidak selalu begitu. ’’Saya punya banyak laporannya. Masyarakat yang merasa ada gejala itu ya tes sendiri, bayar sendiri. Indonesia masih yang pasif (soal testing, Red), belum termasuk yang gratis,” jelasnya.

Kadin Ingin Impor PCR

Pengusaha mencari cara agar tes PCR di Indonesia bisa terjangkau harganya. Salah satunya adalah dengan melakukan penjajakan impor PCR dengan beberapa negara produsen di dunia.

Hal ini dilakukan Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia yang bekerja sama dengan Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional (Inaca). Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan, Denon Prawiratmadja pencarian PCR murah ke luar negeri dilatarbelakangi masih mahalnya tes PCR di Indonesia. Menurut Denon hal ini juga dikeluhkan masyarakat.

“Kami berusaha mencari perangkat tes PCR yang harganya murah dengan kualitas baik dan nantinya dapat membantu meringankan beban masyarakat yang ingin terbang,” ujar Denon dalam keterangannya, Minggu (15/8).

Tes PCR sendiri bukan cuma digunakan sebagai alat testing virus Corona saja. Tes ini juga menjadi salah satu syarat bagi masyarakat untuk naik pesawat terbang. Yang jadi masalah saat ini, banyak masyarakat keberatan untuk naik pesawat. Apalagi bila tes PCR harganya lebih mahal daripada tiket pesawat. “Kami mendapatkan banyak keluhan dari masyarakat yang intinya menyatakan bahwa harga tes PCR di sini masih mahal, bahkan bisa lebih mahal dari harga tiket pesawat,” ungkap Denon yang juga Ketua Umum Inaca.

Denon menyatakan, ada beberapa negara produsen yang sedang didekati untuk impor PCR tersebut. Seperti misalnya India, Jepang dan beberapa negara lain. “Kami harus bergerak cepat karena banyak juga negara lain yang mencari PCR di pasar dunia. Kami berharap tidak lama lagi akan mendapatkannya,” ujar Denon.

Nantinya perangkat tes PCR yang diimpor ini akan didistribusikan ke bandara-bandara dan tempat-tempat lain. Dengan demikian, proses testing PCR pada masyarakat yang ingin terbang naik pesawat bisa berlangsung lebih cepat, praktis dan tentu saja biayanya lebih murah.

Berantas Mafia

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto meminta pemerintah untuk menyelidiki secara serius penyebab mahalnya harga tes PCR di dalam negeri. Harga tes PCR di Indonesia diketahui sepuluh kali lebih mahal dibanding India.

Ia pun menilai ketimpangan harga yang terpaut besar ini harus dicermati, jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi korban eksploitasi mafia bisnis kesehatan, yang mencari untung besar di tengah krisis. “WHO menyarankan kita mencontoh cara India menangani Covid-19. India sudah terbukti mampu menurunkan kasus positif hariannya secara drastis salah satunya dengan memperbanyak tes,” kata dia dalam keterangannya, Minggu (15/8).

“Mereka mampu melaksanakan tes secara masif, karena biayanya yang sangat murah yaitu hanya Rp 56 ribu per pasien. Sedangkan biaya tes di Indonesia bisa sepuluh kali lipat,” sambung dia.

Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini meminta pemerintah untuk menjelaskan kenapa harga PCR di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di India. Padahal bahan dan prosedur pemeriksaannya hampir sama. “Karena itu saya minta pemerintah memeriksa semua alur pengadaan perangkat PCR dan proses distribusi ke klinik penyelenggara pelaksana tes PCR. Bila terbukti ada pihak yang coba mencari keuntungan berlebih bisa segera diambil tindakan hukum,” desaknya.

Terkait dengan ketergantungan impor terhadap reagen dan bahan kimia penunjang tes PCR lainnya, industri petrokimia dalam negeri perlu terus dimaksimalkan. Salah satunya kilang minyak Tuban dengan industri petrokimia-nya yang masih terhambat.

Pemerintah juga harus perkuat ekosistem dan infrastruktur riset dasar bidang industri dan enzim molekular (industrial and molecular enzyme) serta bidang kimia sintetik (chemical synthesis). Sehingga mampu memproduksi sendiri reagen dan bahan kimia lainnya, agar Indonesia tidak tergantung pada impor bahan yang sangat penting bagi kesehatan masyarakat.

“Untuk jangka pendek pemerintah perlu mengatur ketentuan impor reagen dan bahan lain pendukung PCR ini sedemikian rupa, sehingga dapat menekan harga tes PCR. Misalnya menugaskan BUMN membeli reagen dalam jumlah besar dan komitmen jangka panjang agar harga dapat ditekan,” papar Mulyanto. (jpc/dtf)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/