31 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Keberatan Kenaikan Pajak Hiburan 40 Persen hingga 75 Persen, Pengusaha Bisa Ajukan Insentif

SUMUTPOS.CO – Kebijakan kenaikan pajak hiburan membawa berbagai pro kontra. Pemerintah memastikan, tidak semua jenis pajak hiburan mengalami kenaikan.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati menjelaskan, merujuk pada UU nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pada pasal 55 dijelaskan ada 12 jenis yang termasuk jasa kesenian dan hiburan.

Namun, dari 12 jenis kegiatan tersebut, kegiatan yang dikenakan Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan dengan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen adalah untuk kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Sementara, mayoritas pajak hiburan lainnya justru turun. Yang semula dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) maksimal 35 persen, lalu dan dengan UU HKPD justru turun ke 10 persen.

Terkait dengan kenaikan pajak hiburan untuk kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, Lydia menyebut, kebijakan itu mempertimbangkan fakta bahwa jasa hiburan itu umumnya hanya dinikmati oleh masyarakat tertentu. ’’Untuk jasa hiburan spesial itu pasti dikonsumsi oleh masyarakat tertentu,’’ ujarnya pada media briefing di Kemenkeu, kemarin (16/1).

Penetapan tarif batas bawah atas jenis kegiatan tersebut bertujuan untuk mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.

Seperti diketahui, kebijakan itu menyulut emosi dari para pelaku usaha. Mereka menyebut usaha hiburan yang dijalankan belum sepenuhnya pulih akibat hantaman Covid-19.

Terkait dengan alasan itu, Lydia menyebut bahwa sejatinya realisasi penerimaan yang bersumber dari pajak hiburan telah mendekati capaian pada pra pandemi. Hal itu mencerminkan geliat ekonomi yang telah memasuki fase recovery, termasuk dalam aspek pajak hiburan.

Pengusaha yang merasa keberatan dengan kebijakan itu pun dapat mengajukan insentif fiskal. Insentif fiskal yang dimaksud adalah berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok pajak. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023.

’’Jadi kalau saat ini memang belum mampu dengan tarif 40 persen, silakan berdasarkan assessment daerahnya melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan pembebasan ataupun penghapusan dari pokok pajak,’’ tutur Lydia.

Pemberian insentif fiskal itu merupakan kewenangan Kepala Daerah sesuai dengan kebijakan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. ’’Memberikan kemudahan insentif ini tentu harus di-assessment dulu ya jika itu pengajuannya dari wajib pajak. Jika itu merupakan prioritas daerah, ya silakan diberikan secara massal,’’ kata Lydia.

Insentif fiskal tersebut dapat diberikan atas permohonan pelaku usaha atau wajib pajak atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, kemampuan membayar wajib pajak dan/atau wajib retribusi. Dalam hal ini, jika pengusaha selaku wajib pajak belum mampu secara usaha ditetapkan dengan tarif 40 persen, maka Kepala Daerah bisa memberikan insentif fiskal tersebut.

Kedua, kondisi tertentu objek pajak, seperti objek pajak yang terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak.

Ketiga, untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Artinya, jika usaha hiburan tertentu yang terkena tarif batas bawah 40 persen memiliki izin usaha yang dikategorikan mikro dan ultra mikro, maka Kepala Daerah bisa memberikan insentif fiskal dimaksud.

Keempat, untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah (pemda) dalam mencapai program prioritas daerah dan/atau untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional. (dee/jpg/ila)

SUMUTPOS.CO – Kebijakan kenaikan pajak hiburan membawa berbagai pro kontra. Pemerintah memastikan, tidak semua jenis pajak hiburan mengalami kenaikan.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati menjelaskan, merujuk pada UU nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pada pasal 55 dijelaskan ada 12 jenis yang termasuk jasa kesenian dan hiburan.

Namun, dari 12 jenis kegiatan tersebut, kegiatan yang dikenakan Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan dengan tarif batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen adalah untuk kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Sementara, mayoritas pajak hiburan lainnya justru turun. Yang semula dalam UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) maksimal 35 persen, lalu dan dengan UU HKPD justru turun ke 10 persen.

Terkait dengan kenaikan pajak hiburan untuk kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, Lydia menyebut, kebijakan itu mempertimbangkan fakta bahwa jasa hiburan itu umumnya hanya dinikmati oleh masyarakat tertentu. ’’Untuk jasa hiburan spesial itu pasti dikonsumsi oleh masyarakat tertentu,’’ ujarnya pada media briefing di Kemenkeu, kemarin (16/1).

Penetapan tarif batas bawah atas jenis kegiatan tersebut bertujuan untuk mencegah penetapan tarif pajak yang race to the bottom atau berlomba-lomba menetapkan tarif pajak rendah guna meningkatkan omset usaha.

Seperti diketahui, kebijakan itu menyulut emosi dari para pelaku usaha. Mereka menyebut usaha hiburan yang dijalankan belum sepenuhnya pulih akibat hantaman Covid-19.

Terkait dengan alasan itu, Lydia menyebut bahwa sejatinya realisasi penerimaan yang bersumber dari pajak hiburan telah mendekati capaian pada pra pandemi. Hal itu mencerminkan geliat ekonomi yang telah memasuki fase recovery, termasuk dalam aspek pajak hiburan.

Pengusaha yang merasa keberatan dengan kebijakan itu pun dapat mengajukan insentif fiskal. Insentif fiskal yang dimaksud adalah berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan atau penundaan pembayaran atas pokok pajak. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023.

’’Jadi kalau saat ini memang belum mampu dengan tarif 40 persen, silakan berdasarkan assessment daerahnya melakukan pengurangan pokok pajaknya, memberikan pembebasan ataupun penghapusan dari pokok pajak,’’ tutur Lydia.

Pemberian insentif fiskal itu merupakan kewenangan Kepala Daerah sesuai dengan kebijakan daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. ’’Memberikan kemudahan insentif ini tentu harus di-assessment dulu ya jika itu pengajuannya dari wajib pajak. Jika itu merupakan prioritas daerah, ya silakan diberikan secara massal,’’ kata Lydia.

Insentif fiskal tersebut dapat diberikan atas permohonan pelaku usaha atau wajib pajak atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan beberapa pertimbangan.

Pertama, kemampuan membayar wajib pajak dan/atau wajib retribusi. Dalam hal ini, jika pengusaha selaku wajib pajak belum mampu secara usaha ditetapkan dengan tarif 40 persen, maka Kepala Daerah bisa memberikan insentif fiskal tersebut.

Kedua, kondisi tertentu objek pajak, seperti objek pajak yang terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh wajib pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak.

Ketiga, untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro. Artinya, jika usaha hiburan tertentu yang terkena tarif batas bawah 40 persen memiliki izin usaha yang dikategorikan mikro dan ultra mikro, maka Kepala Daerah bisa memberikan insentif fiskal dimaksud.

Keempat, untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah (pemda) dalam mencapai program prioritas daerah dan/atau untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional. (dee/jpg/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/