32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pecat Letkol Pencekik Jurnalis

Tuntutan Tujuh Elemen Wartawan di Medan

MEDAN- Kekerasan yang dilakukan sejumlah personel TNI AU di Pekanbaru, Riau terhadap insan media yang melakukan peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pekanbaru, Riau, direspons para jurnalis di Kota Medan. Ratusan wartawan baik media cetak maupun elektronik menggelar unjuk rasa, Rabu (17/10) siang. Meski cuaca panas, aksi unjuk rasa tersebut tetap berjalan lancar dan damai.

Jurnalis yang turut serta dalam demo ini datang dari berbagai organisasi dan kelompokn
seperti Forum Jurnalis Medan (FJM),  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut, Ikatan Wartawan Hukum (Ikwah) Sumut, Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumut, dan Aliansi Wartawan Radio Indonesia (Alwari) Sumut.

Ahmad Zulfikar Sagala, koordinator aksi jurnalis di sela-sela aksi mengatakan aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk solidaritas jurnalis di Kota Medan. “Ini bentuk solidaritas jurnalis di Kota Medan untuk  menentang aksi kekerasan terhadap sejumlah wartawan yang melakukan peliputan pesawat jatuh di Riau,” ujarnya.

Di bawah terik matahari, para jurnalis berjalan kaki dari sekitar Bundaran Sudirman menuju bundaran di depan Bandara Polonia Medan. Selanjutnya, para wartawan meletakkan kartu pers dan perangkat kerjanya dan menyampaikan orasi.

Selain kecaman, sejumlah tuntutan pun disampaikan Jurnalis Medan dalam aksi itu. Mereka mendesak Panglima TNI dan KASAU untuk menjatuhkan sanksi tegas kepada personel TNI AU yang melakukan kekerasan di Pekanbaru, Riau, termasuk kepada  Letkol Robert Simanjuntak yang terekam kamera melakukan penganiayaan. TNI AU pun  harus mengembalikan peralatan milik jurnalis.

Selain menuntut pelaku dipecat dari kesatuannya dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menyeret ke Mahkamah militer, dalam orasinya para jurnalis juga menuntut pelaku agar diproses secara Hukum Pidana karena telah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan dan kekerasan berat.

“Secara prosedural jika  pesawat jatuh, kita (jurnalis, Red) tidak akan mendekati karena faktor keamanan. Tapi kalau ada tindakan larangan peliputan dengan kekerasan ini yang tidak bisa kita terima, kita mau liputan bukan cari masalah.

Fakta yang kita lihat di lapanga, rekan kita saat kejadian terindikasi seperti akan dimatikan, leher dicekik didepan anak-anak SD dan kamera dirampas. Ini tidak manusiawi dan ini tidak berpendidikan,” jelas Zulfikar Sagala.

Para jurnalis juga menilai sejumlah aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini menunjukkan kegagalan TNI mereformasi diri. Parahnya lagi,  insan pers lah yang kerap menjadi korban kekerasan ini. “Sebaiknya UU Pers masuk kurikulum TNI,” teriak Hilmi Faiq, pesetra aksi.

Setelah satu jam aksi di Bundaran Polonia, para jurnalis selanjutnya melakukan orasi di depan Markas Komando Operasi TNI Angkatan Udara I dan ke Pangkalan TNI AU Soewondo, Jalan Imam Bonjol Medan. Kecaman terhadap kekerasan yang dialami jurnalis kembali diteriakkan. Di sepanjang jalan yang dilalui, pengunjuk rasa juga  bernyanyi. “Robert Juntak, Robert Juntak, bikin malu orang Batak,” teriak para jurnalis dengan irama lagu Iwa Peyek. Nyanyian ini terus terdengar.

Setelah melakukan konvoi, jurnalis dari enam elemen sempat melakukan tabur bunga di markas Komando TNI Suwondo Jl Imam Bonjol, Medan. “Tabur bunga kami lakukan sebagai lemahnya pengetahuan TNI AU dalam memahami tugas jurnalis untuk memberikan informasi ke masyarakat,” jelas Zulfikar Sagala.

Harus Ada MOU Insan Media dengan Panglima TNI
Sementara itu, Syahril ketua PWI Sumut mengatakan, dirinya yakin peristiwa kekerasan terhadap wartawan akan terjadi lagi, jika tidak ada MOU antar insan media dengan panglima TNI. “Tidak menutup kemungkinan kekerasan terhadap wartawan ke depannya pasti akan terulang lagi,” ujarnya.

Syahril mengatakan, tempat wartawan mengambil gambar adalah tempat publik. Jadi menurutnya oknum TNI-AU tidak berhak menghalangi jurnalis untuk mengambil gambar. “Ini tempat publik. Bukan tempat terlarang, kecuali memang arena terlarang, jelas itu kewenangan mereka (TNI-AU). Saya rasa kejadian jatuhnya pesawat milik TNI-AU itu memang wajib di eskpose. Jadi tidak ada yang harus ditutup-tutupi,” ungkapnya.

Dengan kejadian itu, Syahril mengatakan PWI Sumut mengecam keras apa yang dilakukan oknum TNI-AU berpangkat Letkol tersebut. Syahril berharap KSAU memberi hukuman terhadap anggotanya yang melakukan tindakan itu. “Oknum TNI-AU tersebut harus dihukum dan dihukum secara terbuka. Jangan ditutup-tutupi. Nanti katanya sudah diberi hukuman, nyatanya tidak. Ini harus diusut tuntas,” katanya.

Di sisi lain, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (DPD P3I) Sumatera Utara, Ramlan Tarigan, pun mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oknum aparat TNI terhadap wartawan. “Sekarang ini aparat seharusnya tidak lagi melakukan aksi-aksi yang seperti dulu. Karena apapun alasannya, itu tidak bisa dibenarkan.

Karena itu kan (kecelakaan pesawat tempur di Pekanbaru,red) merupakan musibah bangsa ini. Jadi bukan hanya musibah yang dialami TNI sendiri. Jadi sudah merupakan tugas wartawan untuk memberitakananya kepada masyarakat Indonesia secara luas,” di Jakarta. (jon/far/mag-12/gir)

Tuntutan Tujuh Elemen Wartawan di Medan

MEDAN- Kekerasan yang dilakukan sejumlah personel TNI AU di Pekanbaru, Riau terhadap insan media yang melakukan peliputan jatuhnya pesawat Hawk 200 di Pekanbaru, Riau, direspons para jurnalis di Kota Medan. Ratusan wartawan baik media cetak maupun elektronik menggelar unjuk rasa, Rabu (17/10) siang. Meski cuaca panas, aksi unjuk rasa tersebut tetap berjalan lancar dan damai.

Jurnalis yang turut serta dalam demo ini datang dari berbagai organisasi dan kelompokn
seperti Forum Jurnalis Medan (FJM),  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Sumut, Ikatan Wartawan Hukum (Ikwah) Sumut, Forum Wartawan Kesehatan (Forwakes), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumut, dan Aliansi Wartawan Radio Indonesia (Alwari) Sumut.

Ahmad Zulfikar Sagala, koordinator aksi jurnalis di sela-sela aksi mengatakan aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk solidaritas jurnalis di Kota Medan. “Ini bentuk solidaritas jurnalis di Kota Medan untuk  menentang aksi kekerasan terhadap sejumlah wartawan yang melakukan peliputan pesawat jatuh di Riau,” ujarnya.

Di bawah terik matahari, para jurnalis berjalan kaki dari sekitar Bundaran Sudirman menuju bundaran di depan Bandara Polonia Medan. Selanjutnya, para wartawan meletakkan kartu pers dan perangkat kerjanya dan menyampaikan orasi.

Selain kecaman, sejumlah tuntutan pun disampaikan Jurnalis Medan dalam aksi itu. Mereka mendesak Panglima TNI dan KASAU untuk menjatuhkan sanksi tegas kepada personel TNI AU yang melakukan kekerasan di Pekanbaru, Riau, termasuk kepada  Letkol Robert Simanjuntak yang terekam kamera melakukan penganiayaan. TNI AU pun  harus mengembalikan peralatan milik jurnalis.

Selain menuntut pelaku dipecat dari kesatuannya dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan menyeret ke Mahkamah militer, dalam orasinya para jurnalis juga menuntut pelaku agar diproses secara Hukum Pidana karena telah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan dan kekerasan berat.

“Secara prosedural jika  pesawat jatuh, kita (jurnalis, Red) tidak akan mendekati karena faktor keamanan. Tapi kalau ada tindakan larangan peliputan dengan kekerasan ini yang tidak bisa kita terima, kita mau liputan bukan cari masalah.

Fakta yang kita lihat di lapanga, rekan kita saat kejadian terindikasi seperti akan dimatikan, leher dicekik didepan anak-anak SD dan kamera dirampas. Ini tidak manusiawi dan ini tidak berpendidikan,” jelas Zulfikar Sagala.

Para jurnalis juga menilai sejumlah aksi kekerasan yang terjadi belakangan ini menunjukkan kegagalan TNI mereformasi diri. Parahnya lagi,  insan pers lah yang kerap menjadi korban kekerasan ini. “Sebaiknya UU Pers masuk kurikulum TNI,” teriak Hilmi Faiq, pesetra aksi.

Setelah satu jam aksi di Bundaran Polonia, para jurnalis selanjutnya melakukan orasi di depan Markas Komando Operasi TNI Angkatan Udara I dan ke Pangkalan TNI AU Soewondo, Jalan Imam Bonjol Medan. Kecaman terhadap kekerasan yang dialami jurnalis kembali diteriakkan. Di sepanjang jalan yang dilalui, pengunjuk rasa juga  bernyanyi. “Robert Juntak, Robert Juntak, bikin malu orang Batak,” teriak para jurnalis dengan irama lagu Iwa Peyek. Nyanyian ini terus terdengar.

Setelah melakukan konvoi, jurnalis dari enam elemen sempat melakukan tabur bunga di markas Komando TNI Suwondo Jl Imam Bonjol, Medan. “Tabur bunga kami lakukan sebagai lemahnya pengetahuan TNI AU dalam memahami tugas jurnalis untuk memberikan informasi ke masyarakat,” jelas Zulfikar Sagala.

Harus Ada MOU Insan Media dengan Panglima TNI
Sementara itu, Syahril ketua PWI Sumut mengatakan, dirinya yakin peristiwa kekerasan terhadap wartawan akan terjadi lagi, jika tidak ada MOU antar insan media dengan panglima TNI. “Tidak menutup kemungkinan kekerasan terhadap wartawan ke depannya pasti akan terulang lagi,” ujarnya.

Syahril mengatakan, tempat wartawan mengambil gambar adalah tempat publik. Jadi menurutnya oknum TNI-AU tidak berhak menghalangi jurnalis untuk mengambil gambar. “Ini tempat publik. Bukan tempat terlarang, kecuali memang arena terlarang, jelas itu kewenangan mereka (TNI-AU). Saya rasa kejadian jatuhnya pesawat milik TNI-AU itu memang wajib di eskpose. Jadi tidak ada yang harus ditutup-tutupi,” ungkapnya.

Dengan kejadian itu, Syahril mengatakan PWI Sumut mengecam keras apa yang dilakukan oknum TNI-AU berpangkat Letkol tersebut. Syahril berharap KSAU memberi hukuman terhadap anggotanya yang melakukan tindakan itu. “Oknum TNI-AU tersebut harus dihukum dan dihukum secara terbuka. Jangan ditutup-tutupi. Nanti katanya sudah diberi hukuman, nyatanya tidak. Ini harus diusut tuntas,” katanya.

Di sisi lain, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (DPD P3I) Sumatera Utara, Ramlan Tarigan, pun mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan oknum aparat TNI terhadap wartawan. “Sekarang ini aparat seharusnya tidak lagi melakukan aksi-aksi yang seperti dulu. Karena apapun alasannya, itu tidak bisa dibenarkan.

Karena itu kan (kecelakaan pesawat tempur di Pekanbaru,red) merupakan musibah bangsa ini. Jadi bukan hanya musibah yang dialami TNI sendiri. Jadi sudah merupakan tugas wartawan untuk memberitakananya kepada masyarakat Indonesia secara luas,” di Jakarta. (jon/far/mag-12/gir)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/