25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Pertama Periksa, Dokter Bilang Sakit Dicubit Setan

Hidup dengan Kelainan Trombosit, Yuta Marissa Kardoba Dirikan Yayasan ITP

Sejak usia 5 tahun, Yuta Marissa Kardoba mengidap idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) atau kelainan trombosit. Dia pernah koma karena penyakit tersebut.

M HILMI SETIAWAN, Jakarta

TETAP KUAT: Marisza Cardoba (kanan duduk) saat sosialisasi  studio radio  Jakarta tentang penyakit ITP   dia derita sejak umur 5 tahun sampai sekarang.//Marisza for Jawa Pos
TETAP KUAT: Marisza Cardoba (kanan duduk) saat sosialisasi di studio radio di Jakarta tentang penyakit ITP yang dia derita sejak umur 5 tahun sampai sekarang.//Marisza for Jawa Pos

Di luar dirinya juga banyak orang bernasib sama. Sementara informasi tentang penyakit itu sangat minim. Melalui yayasan yang didirikannya, Marissa ingin membantu sesama penderita ITP.   I Love you Mom, cepet sembuh ya” Don”t ever leave me. Momom nggak boleh masuk rumah tanah (mati)n
Shayna selalu berdoa untuk Momom. I want to see you smile, Mom”.

Begitulah doa Shayna Alethea El Farveisa (3) ketika ibundanya, Marissa, koma selama tiga hari pada Mei lalu. Kondisi Marissa yang menderita ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura atau kelainan jumlah keping darah/trombosit yang berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh) sejak umur lima tahun, waktu itu benar-benar drop. Gejala yang biasanya hanya memar-memar di sekujur tubuh semakin parah hingga mimisan berkali-kali.
Mendengar putrinya berdoa di pinggir ranjang perawatan, Marissa dalam komanya merasa seperti ada yang menampar. “Keras sekali tamparannya. Tangannya besar. Saya langsung terbangun,” ujar perempuan kelahiran Bandung, 17 Desember 1982, itu.

Sejak terbangun dari komanya itu, perempuan yang kini lebih akrab dengan panggilan Marisza Cardoba itu mengaku kembali tegar. Apalagi, dia memiliki tanggungan membesarkan buah hati satu-satunya itu. Dia bertekad harus tetap hidup meski penyakit aneh itu tidak juga hilang dari badannya.
Kini perempuan yang mengaku takut ketinggian dan ular itu ingin pengalamannya sebagai penderita ITP bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. “Apalagi, sumber informasi tentang penyakit ITP ini sangat langka,” katanya.

Sebagai penderita ITP yang melek internet, Marisza kerap browsing apakah ada yayasan khusus ITP di Indonesia. Ternyata tidak dia temukan. Lalu, di tingkat internasional dia hanya menemukan dua yayasan khusus ITP. Yakni, Palate Disorder Support Association (PDSA) di Amerika Serikat dan ITP Support Association di Inggris.

Dengan kondisi itu, Marisza bertambah yakin bahwa yayasan yang dirintisnya akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dokter-dokter ternyata juga banyak yang belum tahu soal kelainan imunitas yang diidapnya itu. Marisza yakin para dokter umum yang berdinas di tingkat puskesmas belum bisa mendiagnosis ITP secara akurat.

Minimnya informasi tentang ITP untuk para dokter dirasakan Marisza sendiri. Dia menceritakan pengalamannya ketika pertama menderita ITP saat berumur lima tahun. Saat itu di sekujur tubuhnya dipenuhi memar-memar hitam kebiruan seukuran bola pingpong.

Ketika muncul gejala awal tadi, anak pasangan Tito Kardoba dan Tuti Kardoba itu dibawa ke dokter umum. “Saat itu saya disebut terkena penyakit dicubit setan dan kekurangan vitamin C saja,” kata Marisza.

Tetapi, setelah diobati, kondisi anak pertama dua bersaudara itu tidak membaik. Kian hari kondisinya malah menurun. Akhirnya, Marisza oleh keluarga dibawa ke hematolog (dokter spesialis yang mendalami penyakit dan kelainan darah). Setelah darah di sumsum tulang belakangnya diperiksa, ternyata baru ketahuan Marisza menderita ITP.

Menurut Marisza, penderita ITP yang menahun sejatinya bisa hidup harmonis dengan penyakitnya. Asalkan, si penderita bisa mengatur pola hidup sehat. Yakni, mengatur pola istirahat, makan, dan olahraga. “Kalau capek, istirahat saja. Buktinya, saya masih bisa lompat-lompat,” katanya.

Meski menderita ITP, Marisza mengaku memiliki sejumlah catatan dahsyat. Misalnya, ketika mengalami menstruasi pertama pada usia 11 tahun. Dia mengatakan, menstruasinya tidak berhenti hingga sebulan lebih. Akhirnya, oleh dokter, siklus menstruasinya diatur enam bulan sekali. Pengaturan siklus menstruasi itu berjalan hingga usia 17 tahun.

Catatan dahsyat berikutnya muncul ketika dia berkonsultasi ke dokter menjelang pernikahan. Bersama calon suami, Marisza diberi tahu bakal sulit punya anak. “Benar-benar rasanya seperti tersambar petir di siang bolong,” ujar perempuan yang punya hobi bermain piano itu.

Marisza akan sulit memiliki anak karena kelainan darah. Sebab, untuk menghasilkan janin, harus ada penggumpalan darah dulu. Nah, perempuan penderita ITP memiliki risiko sulit mengalami penggumpalan darah bakal janin.

Tetapi, pasangan tersebut tetap tabah dan memutuskan menikah. Marisza yakin bahwa anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berkehendak, perempuan dengan ITP pun pasti akan bisa punya anak. “Jika tidak punya anak, kami putuskan untuk mengadopsi saja,” jelasnya.

Untungnya, informasi dari dokter itu tidak tepat seratus persen. Marisza menceritakan, beberapa bulan setelah menikah dirinya hamil. Dan anehnya, selama hamil kondisinya justru normal. Jumlah trombosit yang awalnya hanya 8.000 keping/mm kubik darah menjadi sekitar 300 ribu keping/mm kubik darah.

Kondisi itu benar-benar dia sadari sebagai karunia dari Tuhan. Meski selama hamil kondisinya membaik, Marisza mengatakan bahwa persalinan tidak bisa dilakukan dengan normal, tetapi harus caesar.

Melalui operasi itu, lahirlah Shayna. Marisza sudah meneguhkan dalam hatinya, harus bisa merawat Shayna walaupun diri sendiri hidup dengan ITP. Satu hal yang membuat lega Marisza adalah Shayna hingga kini tidak mengidap ITP seperti dirinya.

Marisza tergolong penderita ITP kronis. Pada orang normal, jumlah trombosit 150 ribu hingga 450 ribu keping/mm kubik darah. Sedangkan, trombosit Marisza hanya 8.000 keping/mm kubik darah. Rata-rata penderita ITP memang memiliki jumlah trombosit yang sangat rendah. Sebab, kelainan sistem imunitas telah menghancurkan produksi trombosit dalam tubuh. ITP yang dulu disebut idiopatic thrombocytopenic purpura, dikenal juga dengan sebutan immune thrombocytopenic purpura.

“Kemungkinan pada orang normal sudah tidak sadarkan diri dengan jumlah trombosit seperti saya ini,” kata penyuka salad dan yoghurt tersebut. Dia yakin tubuhnya sudah mulai berevolusi sehingga bisa menoleransi jumlah trombosit yang superminim itu.

Meskipun toleran dengan kelainan jumlah trombosit, Marisza mengaku, gejala-gejala ITP masih sering muncul. Yakni, memar-memar ketika dia sangat capek. Dia lantas menunjukkan memar di bagian lututnya.

Marisza menuturkan, pada perempuan normal, gejala memar-memar seperti penderita ITP itu juga bisa muncul. Tetapi, pada orang normal, biasanya gejala tersebut hilang sebelum sebulan. Khusus untuk penderita ITP, memar-memar itu baru hilang setelah sebulan, bahkan dua bulan.

Selama menjalani hidup dengan ITP, Marisza sudah berkali-kali menjalani pengobatan. Di antaranya, kemoterapi untuk penderita kanker. Selain itu, dia berkali-kali melakukan transfusi darah, tetapi tidak efektif.

Bahkan, Marisza juga sering mengonsumsi obat jenis kortikosteroid ketika kondisi tubuhnya menurun. Pernah suatu ketika dia kebanyakan mengonsumsi obat itu sehingga wajahnya menjadi bundar layaknya bulan purnama. Kondisi itu dalam dunia medis disebut full moon face.

Akhirnya, dia secara perlahan mengurangi pengobatan dengan kortikosteroid itu. Obat tersebut baru dikonsumsi jika sudah genting dan atas anjuran dokter. “Harapannya bisa benar-benar sembuh. Ternyata tidak, tetapi tetap saya syukuri,” tandasnya.

Marisza mengatakan sangat bersyukur karena dengan kondisinya sekarang tetap bisa memimpin perusahaan yang didirikannya. Perusahaan yang bergerak di bidang properti dan pariwisata itu terus berkembang sampai mempunyai sejumlah anak perusahaan.

Sebelum mendirikan yayasan, Marisza aktif dalam komunitas penderita ITP. Dia mengatakan, saat itu ada 220 lebih penderita ITP yang bergabung. Namun, Marisza sadar bahwa melalui komunitas itu sosialisasi soal ITP masih kurang. Padahal, perkumpulan tersebut didominasi orang-orang yang melek internet.

Akhirnya, dia bertekad mendirikan Yayasan ITP pada awal 2012. Tujuannya, pihaknya bisa lebih luas menyosialisasi ITP. Dalam bersosialisasi, dia menyemarakkan dengan pelatihan membatik. “Kebetulan saya suka batik dan punya teman yang hobi membatik juga,” tutur dia.

Sebelum diajari membatik, para peserta sosialisasi diberi pengetahuan tentang ITP. Yakni, tentang gejala, penanganan dini, hidup harmonis dengan ITP, dan banyak hal lain terkait ITP. Selain sosialiasi, yayasan yang dia dirikan membantu penderita ITP untuk mendapat keringanan periksa darah. Pihaknya sudah bekerja sama dengan salah satu laboratorium klinik untuk memberikan diskon pemeriksaan darah. Dia berharap, dalam waktu dekat sosialisasinya itu bisa menyebar hingga ke seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. (*)

Hidup dengan Kelainan Trombosit, Yuta Marissa Kardoba Dirikan Yayasan ITP

Sejak usia 5 tahun, Yuta Marissa Kardoba mengidap idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) atau kelainan trombosit. Dia pernah koma karena penyakit tersebut.

M HILMI SETIAWAN, Jakarta

TETAP KUAT: Marisza Cardoba (kanan duduk) saat sosialisasi  studio radio  Jakarta tentang penyakit ITP   dia derita sejak umur 5 tahun sampai sekarang.//Marisza for Jawa Pos
TETAP KUAT: Marisza Cardoba (kanan duduk) saat sosialisasi di studio radio di Jakarta tentang penyakit ITP yang dia derita sejak umur 5 tahun sampai sekarang.//Marisza for Jawa Pos

Di luar dirinya juga banyak orang bernasib sama. Sementara informasi tentang penyakit itu sangat minim. Melalui yayasan yang didirikannya, Marissa ingin membantu sesama penderita ITP.   I Love you Mom, cepet sembuh ya” Don”t ever leave me. Momom nggak boleh masuk rumah tanah (mati)n
Shayna selalu berdoa untuk Momom. I want to see you smile, Mom”.

Begitulah doa Shayna Alethea El Farveisa (3) ketika ibundanya, Marissa, koma selama tiga hari pada Mei lalu. Kondisi Marissa yang menderita ITP (idiopathic thrombocytopenic purpura atau kelainan jumlah keping darah/trombosit yang berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh) sejak umur lima tahun, waktu itu benar-benar drop. Gejala yang biasanya hanya memar-memar di sekujur tubuh semakin parah hingga mimisan berkali-kali.
Mendengar putrinya berdoa di pinggir ranjang perawatan, Marissa dalam komanya merasa seperti ada yang menampar. “Keras sekali tamparannya. Tangannya besar. Saya langsung terbangun,” ujar perempuan kelahiran Bandung, 17 Desember 1982, itu.

Sejak terbangun dari komanya itu, perempuan yang kini lebih akrab dengan panggilan Marisza Cardoba itu mengaku kembali tegar. Apalagi, dia memiliki tanggungan membesarkan buah hati satu-satunya itu. Dia bertekad harus tetap hidup meski penyakit aneh itu tidak juga hilang dari badannya.
Kini perempuan yang mengaku takut ketinggian dan ular itu ingin pengalamannya sebagai penderita ITP bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. “Apalagi, sumber informasi tentang penyakit ITP ini sangat langka,” katanya.

Sebagai penderita ITP yang melek internet, Marisza kerap browsing apakah ada yayasan khusus ITP di Indonesia. Ternyata tidak dia temukan. Lalu, di tingkat internasional dia hanya menemukan dua yayasan khusus ITP. Yakni, Palate Disorder Support Association (PDSA) di Amerika Serikat dan ITP Support Association di Inggris.

Dengan kondisi itu, Marisza bertambah yakin bahwa yayasan yang dirintisnya akan sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dokter-dokter ternyata juga banyak yang belum tahu soal kelainan imunitas yang diidapnya itu. Marisza yakin para dokter umum yang berdinas di tingkat puskesmas belum bisa mendiagnosis ITP secara akurat.

Minimnya informasi tentang ITP untuk para dokter dirasakan Marisza sendiri. Dia menceritakan pengalamannya ketika pertama menderita ITP saat berumur lima tahun. Saat itu di sekujur tubuhnya dipenuhi memar-memar hitam kebiruan seukuran bola pingpong.

Ketika muncul gejala awal tadi, anak pasangan Tito Kardoba dan Tuti Kardoba itu dibawa ke dokter umum. “Saat itu saya disebut terkena penyakit dicubit setan dan kekurangan vitamin C saja,” kata Marisza.

Tetapi, setelah diobati, kondisi anak pertama dua bersaudara itu tidak membaik. Kian hari kondisinya malah menurun. Akhirnya, Marisza oleh keluarga dibawa ke hematolog (dokter spesialis yang mendalami penyakit dan kelainan darah). Setelah darah di sumsum tulang belakangnya diperiksa, ternyata baru ketahuan Marisza menderita ITP.

Menurut Marisza, penderita ITP yang menahun sejatinya bisa hidup harmonis dengan penyakitnya. Asalkan, si penderita bisa mengatur pola hidup sehat. Yakni, mengatur pola istirahat, makan, dan olahraga. “Kalau capek, istirahat saja. Buktinya, saya masih bisa lompat-lompat,” katanya.

Meski menderita ITP, Marisza mengaku memiliki sejumlah catatan dahsyat. Misalnya, ketika mengalami menstruasi pertama pada usia 11 tahun. Dia mengatakan, menstruasinya tidak berhenti hingga sebulan lebih. Akhirnya, oleh dokter, siklus menstruasinya diatur enam bulan sekali. Pengaturan siklus menstruasi itu berjalan hingga usia 17 tahun.

Catatan dahsyat berikutnya muncul ketika dia berkonsultasi ke dokter menjelang pernikahan. Bersama calon suami, Marisza diberi tahu bakal sulit punya anak. “Benar-benar rasanya seperti tersambar petir di siang bolong,” ujar perempuan yang punya hobi bermain piano itu.

Marisza akan sulit memiliki anak karena kelainan darah. Sebab, untuk menghasilkan janin, harus ada penggumpalan darah dulu. Nah, perempuan penderita ITP memiliki risiko sulit mengalami penggumpalan darah bakal janin.

Tetapi, pasangan tersebut tetap tabah dan memutuskan menikah. Marisza yakin bahwa anak adalah titipan Tuhan. Jika Tuhan sudah berkehendak, perempuan dengan ITP pun pasti akan bisa punya anak. “Jika tidak punya anak, kami putuskan untuk mengadopsi saja,” jelasnya.

Untungnya, informasi dari dokter itu tidak tepat seratus persen. Marisza menceritakan, beberapa bulan setelah menikah dirinya hamil. Dan anehnya, selama hamil kondisinya justru normal. Jumlah trombosit yang awalnya hanya 8.000 keping/mm kubik darah menjadi sekitar 300 ribu keping/mm kubik darah.

Kondisi itu benar-benar dia sadari sebagai karunia dari Tuhan. Meski selama hamil kondisinya membaik, Marisza mengatakan bahwa persalinan tidak bisa dilakukan dengan normal, tetapi harus caesar.

Melalui operasi itu, lahirlah Shayna. Marisza sudah meneguhkan dalam hatinya, harus bisa merawat Shayna walaupun diri sendiri hidup dengan ITP. Satu hal yang membuat lega Marisza adalah Shayna hingga kini tidak mengidap ITP seperti dirinya.

Marisza tergolong penderita ITP kronis. Pada orang normal, jumlah trombosit 150 ribu hingga 450 ribu keping/mm kubik darah. Sedangkan, trombosit Marisza hanya 8.000 keping/mm kubik darah. Rata-rata penderita ITP memang memiliki jumlah trombosit yang sangat rendah. Sebab, kelainan sistem imunitas telah menghancurkan produksi trombosit dalam tubuh. ITP yang dulu disebut idiopatic thrombocytopenic purpura, dikenal juga dengan sebutan immune thrombocytopenic purpura.

“Kemungkinan pada orang normal sudah tidak sadarkan diri dengan jumlah trombosit seperti saya ini,” kata penyuka salad dan yoghurt tersebut. Dia yakin tubuhnya sudah mulai berevolusi sehingga bisa menoleransi jumlah trombosit yang superminim itu.

Meskipun toleran dengan kelainan jumlah trombosit, Marisza mengaku, gejala-gejala ITP masih sering muncul. Yakni, memar-memar ketika dia sangat capek. Dia lantas menunjukkan memar di bagian lututnya.

Marisza menuturkan, pada perempuan normal, gejala memar-memar seperti penderita ITP itu juga bisa muncul. Tetapi, pada orang normal, biasanya gejala tersebut hilang sebelum sebulan. Khusus untuk penderita ITP, memar-memar itu baru hilang setelah sebulan, bahkan dua bulan.

Selama menjalani hidup dengan ITP, Marisza sudah berkali-kali menjalani pengobatan. Di antaranya, kemoterapi untuk penderita kanker. Selain itu, dia berkali-kali melakukan transfusi darah, tetapi tidak efektif.

Bahkan, Marisza juga sering mengonsumsi obat jenis kortikosteroid ketika kondisi tubuhnya menurun. Pernah suatu ketika dia kebanyakan mengonsumsi obat itu sehingga wajahnya menjadi bundar layaknya bulan purnama. Kondisi itu dalam dunia medis disebut full moon face.

Akhirnya, dia secara perlahan mengurangi pengobatan dengan kortikosteroid itu. Obat tersebut baru dikonsumsi jika sudah genting dan atas anjuran dokter. “Harapannya bisa benar-benar sembuh. Ternyata tidak, tetapi tetap saya syukuri,” tandasnya.

Marisza mengatakan sangat bersyukur karena dengan kondisinya sekarang tetap bisa memimpin perusahaan yang didirikannya. Perusahaan yang bergerak di bidang properti dan pariwisata itu terus berkembang sampai mempunyai sejumlah anak perusahaan.

Sebelum mendirikan yayasan, Marisza aktif dalam komunitas penderita ITP. Dia mengatakan, saat itu ada 220 lebih penderita ITP yang bergabung. Namun, Marisza sadar bahwa melalui komunitas itu sosialisasi soal ITP masih kurang. Padahal, perkumpulan tersebut didominasi orang-orang yang melek internet.

Akhirnya, dia bertekad mendirikan Yayasan ITP pada awal 2012. Tujuannya, pihaknya bisa lebih luas menyosialisasi ITP. Dalam bersosialisasi, dia menyemarakkan dengan pelatihan membatik. “Kebetulan saya suka batik dan punya teman yang hobi membatik juga,” tutur dia.

Sebelum diajari membatik, para peserta sosialisasi diberi pengetahuan tentang ITP. Yakni, tentang gejala, penanganan dini, hidup harmonis dengan ITP, dan banyak hal lain terkait ITP. Selain sosialiasi, yayasan yang dia dirikan membantu penderita ITP untuk mendapat keringanan periksa darah. Pihaknya sudah bekerja sama dengan salah satu laboratorium klinik untuk memberikan diskon pemeriksaan darah. Dia berharap, dalam waktu dekat sosialisasinya itu bisa menyebar hingga ke seluruh Indonesia dan Asia Tenggara. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/