25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Syamsul Nangis, Sidang Distop

Ngaku Sempat Temui JK dan Anwar Nasution

JAKARTA-Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin sudah bisa menghadiri persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), Jakarta, Senin (18/7). Terdakwa perkara dugaan korupsi APBD Langkat itu menangis di persidangan.
Mantan bupati Langkat yang masih dalam perawatan tim medis RS Abdi Waluo itu menangis talkala menguraikan kronologis kejadian hingga dia harus berurusan dengan perkara ini. Dia menangis lagi saat ingat cincin pemberian orang tuanya yang ikut disita KPK.

Semula, anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhibuddin bertanya, apa benar Syamsul telah mengembalikan uang ke kas Pemkab Langkat sebesar Rp67 miliar? Syamsul dengan suara lemah membenarkan. Jaksa asal Aceh itu lantas bertanya, apa yang mendorong Syamsul mau mengembalikan uang sebanyak itu.

Syamsul pun menjelaskan, sewaktu dirinya sudah menjabat sebagai gubernur Sumut, datang tim investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Saat itu, sebenarnya perkara ini sedang ditangani Kejati Sumut. Tidak berselang lama, kata Syamsul, dia dipanggil BPK Medan. Di sana disebutkan telah terjadi ketekoran kas Pemkab Langkat Rp67 miliar. “Saya jawab tak tahu. Apalagi sebelumnya sudah ada pemeriksaan dari inspektorat, BPKP, tak ada masalah,” ujar Syamsul, yang disidang dengan duduk di kursi roda.

“Saya katakan, saya masuk penjara atau harus mengganti uang,” imbuh Syamsul, yang badannya tampak lebih kurus, meski masih terlihat tambun. Diceritakan, bermaksud mengkonfirmasi temuan BPK, Syamsul mengaku menemui Kepala BPK Medan, Widodo. Oleh Widodo, disebutkan ada ketekoran kas Pemkab Langkat, yang belakangan diketahui senilai Rp102,7 miliar. “Saya katakan, ini kalian gak bener. Setahun saya jadi gubernur, kok masalah baru muncul?” ujarnya mengulang kalimat yang pernah disampaikan ke Widodo.

Belum puas, Syamsul lantas menemui Ketua BPK, saat itu dijabat Anwar Nasution. Kepada Anwar, Syamsul menanyakan temuan BPK itu. “Pak Anwar bilang, ‘ya itulah tempat kau’ (Pemkab Langkat, red). Lantas saya katakan, saya masuk penjara atau ganti?” kata Syamsul.

Anwar, kata Syamsul, menyarankan untuk mengembalikan uang sebesar temuan BPK itu. “Kata Pak Anwar, ‘sudahlah ganti saja’,” cerita Syamsul. Waktu itu, sambungnya, Anwar mengingatkan, jika tak cepat mengembalikan uang, nasibnya bisa seperti Abdillah, mantan wali kota Medan. Syamsul pun kecewa dengan sikap Anwar, lantaran belakangan diketahui BPK merekomendasikan ke KPK untuk mengusut perkara ini. “Mulutnya macem pantat ayam. Maksudnya (Anwar) apa?” ujar Syamsul, kesal.

Rupanya, kejadian ini sampai ke telinga Jusuf Kalla, yang waktu itu masih wapres. Syamsul pun dipanggil JK ke kediamannya. “Pak JK tanya, ‘ada apa dengan Anwar?’, itu Senin pagi di kediaman,” ujar Syamsul.

JK juga menyarankan agar Syamsul membayar saja uang sejumlah temuan BPK itu. “Ya sudah Sul, bisakah mengganti?. Begitu kata Pak JK,” imbuhnya. Syamsul mengatakan, cukup berat lantaran hanya diberi waktu tiga bulan. Terlebih, kata Syamsul ke JK, utang ke bank pun perlu waktu bisa hingga lima bulan.

Syamsul lantas mengumpulkan para mantan anak buahnya di Pemkab Langkat, dan mereka menyarankan agar Syamsul mengembalikan uang itu. Syamsul lantas mengembalikan uang Rp67 miliar ke kas Pemkab Langkat. Sesuai aturan, jika masih dalam proses investigasi lantas uang dikembalikan, kata Syamsul, maka tidak bisa kasusnya diteruskan ke aparat hukum.

“Tapi tiba-tiba saya dipanggil KPK, diperiksa. Tak masalah, saya pulang. Tapi tahu-tahu saya jadi tersangka,” ujar Syamsul, dengan suara tersengal. Syamsul yang disidang dengan duduk di kursi roda itu pun menangis. Ketua majelis hakim, Tjokorda Rae Suamba, buru-buru menghentikan persidangan dengan agenda pemeriksaan Syamsul sebagai terdakwa ini.

“Sudah-sudah,” ujar Tjokorda. Suasana ruang sidang menjadi hening. Tim medis, dr Sutrisno Sp PD SpJP, ahli penyakit dalam dan penyakit jantung  yang ikut merawat Syamsul di RS Abdi Waluyo, lantas disuruh maju, duduk di samping Syamsul.

Dalam keterangannya, Sutrisno meminta agar proses persidangan dipercepat dan segera ada putusan. Jika proses hukum terlalu lama, lanjutnya, justru membebani kejiwaan Syamsul. “Lebih cepat, jiwanya akan semakin baik,” ujar Sutrisno. Dia menjelaskan, kondisi jantung Syamsul masih belum stabil, dan direncanakan akan dipasang alat pacu jantung permanen.

Pernyataan Sutrisno menanggapi permintaan JPU yang minta sidang ditunda hingga dua pekan ke depan, guna memberi waktu JPU menyusun berkas tuntutan. Setelah mendengar keterangan Sutrisno, Tjokorda memutuskan sidang dilanjutkan Selasa, 28 Juli 2011, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU. Kuasa hukum Syamsul juga diminta sudah mempersiapkan pledoi alias pembelaan.

Dalam persidangan kemarin, Syamsul kembali menangis di ujung persidangan. Ini terjadi tatkala JPU akan menyerahkan bukti-bukti ke majelis hakim, dengan menyebutkan ada sejumlah uang, termasuk uang asing. Syamsul tidak menyangkal bukti-bukti itu. Bahkan, dia katakan, uang recehan pun ikut disita.

“Betul Pak Hakim, tapi bukan hanya uang asing. Uang recehan juga ada. Ada lima ribu, seribu, yang biasa saya pakai untuk sedekah. Ada juga dua cincin pemberian orangtua saya,” ujar Syamsul, yang lagi-lagi menangis. Hakim lantas memperlihatkan cincin-cincin itu. Tjokorda mengingatkan Syamsul agar tidak emosional saat menyampaikan keterangannya.

Di awal-awal sidang kemarin, JPU menanyakan soal transfer Rp2 miliar ke PT Lembu Andalas dari Pemkab Langkat dan setoran rutin bulanan Rp16 juta dari Pemkab Langkat ke dealer untuk mobil atas nama Beby Arbiana, putri Syamsul. Juga mengenai rumah di Raflfes Hills yang sudah disita KPK.

Ayah Beby itu tidak membantahnya. Dijelaskan, dia memang memerintahkan Buyung Ritonga, yang saat itu bendahara umum, untuk transfer Rp2 miliar ke PT Lembu Andalas.
Hanya saja, kata Syamsul, pembukuan di Pemkab Langkat memang ‘Pembukuan Kampungan’. Uang yang ditransfer itu sebenarnya uang pribadi, yakni berupa jatah upah pungut, gaji, dan dana taktis sebagai bupati, yang tidak pernah diambilnya, yang nilainya juga miliaran. Sengaja tidak diambil untuk keperluan-keperluan pribadi dan jika membutuhkan tinggal meminta Buyung untuk mentransfer. “Uang saya Pak. Ada upah pungut itu cukup besar dan dana taktis yang setahun bisa miliaran,” kata Syamsul.
Khusus mengenai pembayaran untuk mobil Beby yang belakangan disita KPK, kata Syamsul, tidak semua ditransfer Buyung. “Sebagian anak saya yang bayar sendiri,” ujar Syamsul.
Sidang kemarin berlangsung tak lebih dari satu jam, lantaran langsung distop hakim tatkala Syamsul menangis. Syamsul dijemput mobil tahanan KPK dari RS Abdi Waluyo dan tiba di pengadilan tipikor langsung didudukkan di ruang tunggu terdakwa. Sebelum dan sesudah sidang, dua kali dia ke toilet dengan menggunakan kursi roda. Keluar dari toilet, mata Syamsul masih memerah, sisa menangis. Syamsul dikembalikan lagi ke RS Abdi Waluyo usai persidangan, guna menjalani therapy pemulihan kesehatannya.(sam)

Ngaku Sempat Temui JK dan Anwar Nasution

JAKARTA-Gubernur Sumut nonaktif Syamsul Arifin sudah bisa menghadiri persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor), Jakarta, Senin (18/7). Terdakwa perkara dugaan korupsi APBD Langkat itu menangis di persidangan.
Mantan bupati Langkat yang masih dalam perawatan tim medis RS Abdi Waluo itu menangis talkala menguraikan kronologis kejadian hingga dia harus berurusan dengan perkara ini. Dia menangis lagi saat ingat cincin pemberian orang tuanya yang ikut disita KPK.

Semula, anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) Muhibuddin bertanya, apa benar Syamsul telah mengembalikan uang ke kas Pemkab Langkat sebesar Rp67 miliar? Syamsul dengan suara lemah membenarkan. Jaksa asal Aceh itu lantas bertanya, apa yang mendorong Syamsul mau mengembalikan uang sebanyak itu.

Syamsul pun menjelaskan, sewaktu dirinya sudah menjabat sebagai gubernur Sumut, datang tim investigasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Saat itu, sebenarnya perkara ini sedang ditangani Kejati Sumut. Tidak berselang lama, kata Syamsul, dia dipanggil BPK Medan. Di sana disebutkan telah terjadi ketekoran kas Pemkab Langkat Rp67 miliar. “Saya jawab tak tahu. Apalagi sebelumnya sudah ada pemeriksaan dari inspektorat, BPKP, tak ada masalah,” ujar Syamsul, yang disidang dengan duduk di kursi roda.

“Saya katakan, saya masuk penjara atau harus mengganti uang,” imbuh Syamsul, yang badannya tampak lebih kurus, meski masih terlihat tambun. Diceritakan, bermaksud mengkonfirmasi temuan BPK, Syamsul mengaku menemui Kepala BPK Medan, Widodo. Oleh Widodo, disebutkan ada ketekoran kas Pemkab Langkat, yang belakangan diketahui senilai Rp102,7 miliar. “Saya katakan, ini kalian gak bener. Setahun saya jadi gubernur, kok masalah baru muncul?” ujarnya mengulang kalimat yang pernah disampaikan ke Widodo.

Belum puas, Syamsul lantas menemui Ketua BPK, saat itu dijabat Anwar Nasution. Kepada Anwar, Syamsul menanyakan temuan BPK itu. “Pak Anwar bilang, ‘ya itulah tempat kau’ (Pemkab Langkat, red). Lantas saya katakan, saya masuk penjara atau ganti?” kata Syamsul.

Anwar, kata Syamsul, menyarankan untuk mengembalikan uang sebesar temuan BPK itu. “Kata Pak Anwar, ‘sudahlah ganti saja’,” cerita Syamsul. Waktu itu, sambungnya, Anwar mengingatkan, jika tak cepat mengembalikan uang, nasibnya bisa seperti Abdillah, mantan wali kota Medan. Syamsul pun kecewa dengan sikap Anwar, lantaran belakangan diketahui BPK merekomendasikan ke KPK untuk mengusut perkara ini. “Mulutnya macem pantat ayam. Maksudnya (Anwar) apa?” ujar Syamsul, kesal.

Rupanya, kejadian ini sampai ke telinga Jusuf Kalla, yang waktu itu masih wapres. Syamsul pun dipanggil JK ke kediamannya. “Pak JK tanya, ‘ada apa dengan Anwar?’, itu Senin pagi di kediaman,” ujar Syamsul.

JK juga menyarankan agar Syamsul membayar saja uang sejumlah temuan BPK itu. “Ya sudah Sul, bisakah mengganti?. Begitu kata Pak JK,” imbuhnya. Syamsul mengatakan, cukup berat lantaran hanya diberi waktu tiga bulan. Terlebih, kata Syamsul ke JK, utang ke bank pun perlu waktu bisa hingga lima bulan.

Syamsul lantas mengumpulkan para mantan anak buahnya di Pemkab Langkat, dan mereka menyarankan agar Syamsul mengembalikan uang itu. Syamsul lantas mengembalikan uang Rp67 miliar ke kas Pemkab Langkat. Sesuai aturan, jika masih dalam proses investigasi lantas uang dikembalikan, kata Syamsul, maka tidak bisa kasusnya diteruskan ke aparat hukum.

“Tapi tiba-tiba saya dipanggil KPK, diperiksa. Tak masalah, saya pulang. Tapi tahu-tahu saya jadi tersangka,” ujar Syamsul, dengan suara tersengal. Syamsul yang disidang dengan duduk di kursi roda itu pun menangis. Ketua majelis hakim, Tjokorda Rae Suamba, buru-buru menghentikan persidangan dengan agenda pemeriksaan Syamsul sebagai terdakwa ini.

“Sudah-sudah,” ujar Tjokorda. Suasana ruang sidang menjadi hening. Tim medis, dr Sutrisno Sp PD SpJP, ahli penyakit dalam dan penyakit jantung  yang ikut merawat Syamsul di RS Abdi Waluyo, lantas disuruh maju, duduk di samping Syamsul.

Dalam keterangannya, Sutrisno meminta agar proses persidangan dipercepat dan segera ada putusan. Jika proses hukum terlalu lama, lanjutnya, justru membebani kejiwaan Syamsul. “Lebih cepat, jiwanya akan semakin baik,” ujar Sutrisno. Dia menjelaskan, kondisi jantung Syamsul masih belum stabil, dan direncanakan akan dipasang alat pacu jantung permanen.

Pernyataan Sutrisno menanggapi permintaan JPU yang minta sidang ditunda hingga dua pekan ke depan, guna memberi waktu JPU menyusun berkas tuntutan. Setelah mendengar keterangan Sutrisno, Tjokorda memutuskan sidang dilanjutkan Selasa, 28 Juli 2011, dengan agenda pembacaan tuntutan oleh JPU. Kuasa hukum Syamsul juga diminta sudah mempersiapkan pledoi alias pembelaan.

Dalam persidangan kemarin, Syamsul kembali menangis di ujung persidangan. Ini terjadi tatkala JPU akan menyerahkan bukti-bukti ke majelis hakim, dengan menyebutkan ada sejumlah uang, termasuk uang asing. Syamsul tidak menyangkal bukti-bukti itu. Bahkan, dia katakan, uang recehan pun ikut disita.

“Betul Pak Hakim, tapi bukan hanya uang asing. Uang recehan juga ada. Ada lima ribu, seribu, yang biasa saya pakai untuk sedekah. Ada juga dua cincin pemberian orangtua saya,” ujar Syamsul, yang lagi-lagi menangis. Hakim lantas memperlihatkan cincin-cincin itu. Tjokorda mengingatkan Syamsul agar tidak emosional saat menyampaikan keterangannya.

Di awal-awal sidang kemarin, JPU menanyakan soal transfer Rp2 miliar ke PT Lembu Andalas dari Pemkab Langkat dan setoran rutin bulanan Rp16 juta dari Pemkab Langkat ke dealer untuk mobil atas nama Beby Arbiana, putri Syamsul. Juga mengenai rumah di Raflfes Hills yang sudah disita KPK.

Ayah Beby itu tidak membantahnya. Dijelaskan, dia memang memerintahkan Buyung Ritonga, yang saat itu bendahara umum, untuk transfer Rp2 miliar ke PT Lembu Andalas.
Hanya saja, kata Syamsul, pembukuan di Pemkab Langkat memang ‘Pembukuan Kampungan’. Uang yang ditransfer itu sebenarnya uang pribadi, yakni berupa jatah upah pungut, gaji, dan dana taktis sebagai bupati, yang tidak pernah diambilnya, yang nilainya juga miliaran. Sengaja tidak diambil untuk keperluan-keperluan pribadi dan jika membutuhkan tinggal meminta Buyung untuk mentransfer. “Uang saya Pak. Ada upah pungut itu cukup besar dan dana taktis yang setahun bisa miliaran,” kata Syamsul.
Khusus mengenai pembayaran untuk mobil Beby yang belakangan disita KPK, kata Syamsul, tidak semua ditransfer Buyung. “Sebagian anak saya yang bayar sendiri,” ujar Syamsul.
Sidang kemarin berlangsung tak lebih dari satu jam, lantaran langsung distop hakim tatkala Syamsul menangis. Syamsul dijemput mobil tahanan KPK dari RS Abdi Waluyo dan tiba di pengadilan tipikor langsung didudukkan di ruang tunggu terdakwa. Sebelum dan sesudah sidang, dua kali dia ke toilet dengan menggunakan kursi roda. Keluar dari toilet, mata Syamsul masih memerah, sisa menangis. Syamsul dikembalikan lagi ke RS Abdi Waluyo usai persidangan, guna menjalani therapy pemulihan kesehatannya.(sam)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/