JAKARTA- Koalisi partai menjelang pilgub Sumut 2013 mulai terang. Partai Golkar yang kemungkinan besar bakal mengusung Gus Irawan sebagai cagub, berpeluang besar bergandengan dengan PPP yang memasang Fadli Nurzal. Paketnya, Gus Irawan sebagai cagub, Fadli cawagub.
“Saya yakin Golkar ke Gus Irawan. Golkar akan koalisi dengan PPP, Fadli Nurzal. Bisa jadi model di DKI pindah ke Sumut,” ujar pengamat politik, Umar Syadat Hasibuan kepada wartawan koran ini di Jakarta, kemarin (19/3). Doktor ilmu politik lulusan Universitas Indonesia (UI) itu tetap yakin, Golkar tidak punya pilihan lain selain Gus Irawan.
Dia mengatakan, meski dari internal Golkar ada nama Chairuman Harahap, namun peluang mantan Ketua Komisi II DPR itu tipis. Golkar diyakini tidak mau mengusung Chairuman. “Chairuman itu menurut saya dianggap bermasalah oleh internal Golkar. Buktinya dia dicopot sebagai ketua Komisi II DPR, apa pun alasannya,” ujar pria kelahiran Labuhan Batu itu.
Seperti diketahui, di pilgub DKI DKI Jakarta, Golkar berkoalisi dengan PPP dan PDS, mengusung pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono. Sedang PDIP, yang sebelumnya sempat akan bergabung dengan Partai Demokrat dan PKB mengusung Fauzi Bowo duet dengan Adang Ruchiatna, akhirnya berubah sikap.
Megawati Soekarnoputri lebih sreg mengajukan cagub sendiri, yakni Joko Widodo alias Jokowi, duet dengan bekas Bupati Belitung Timur Tjahja Purnama yang biasa disapa Ahok. Ahok sendiri sempat ancang-ancang di pilgub Sumut 2008, bahkan sempat dikabarkan minat lagi di pilgub Sumut 2013. Sedang Taufiq Kiemas lebih suka PDIP koalisi dengan Demokrat mengusung Fauzi-Adang.
Umar Syadat mengatakan, memang ada tren PDIP lebih suka mengusung cagub sendiri. Untuk di Sumut, peluangnya ada di RE Nainggolan. “Karena PDIP tak punya tokoh di Sumut. Tak mungkinlah PDIP mengusung Rudolf Pardede, yang sudah gagal di pilkada Kota Medan. RE Nainggolan yang punya peluang karena dia punya kedekatan dengan sejumlah petinggi PDIP,” ujar Umar, yang juga staf pengajar di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor itu.
Kemungkinan besar, PDIP akan berkaolisi dengan PDS, Gerindra, dan PPRN. “Kecil kemungkinan dengan parta-partai yang tergabung dalam setgab (partai pendukung pemerintahan SBY-Boediono, red),” imbuhnya.
Umar juga mengingatkan para kandidat agar lebih cermat jika mau melamar ke PDIP. Disarankan agar lobi langsung ke Megawati, bukan ke Tuafiq Kiemas. “Harus ke Megawati karena beliau yang punya otoritas mengeluarkan rekomendasi cagub yang akan dimajukan,” kata Umar.
Sekadar cacatan, dalam kasus pilkada DKI, santer telah terbangun duet Fauzi-Adang karena Taufiq Kiemas sudah terang-terangan mendukung duet itu. Namun, duet itu mentah lantaran tidak direstui Megawati, termasuk Puan Maharani. Mega lebih memilih koalisi dengan Gerindra.
Disebut-sebut, Chairuman Harahap pada pilgub Sumut 2008 silam juga ‘masuk’ ke PDIP lewat Taufiq Kiemas. Namun, keputusan Mega setelah menggelar rapat dengan para petinggi PDIP, mementalkan nama Chairuman.
Sedang dalam kasus Golkar di pilkada DKI, yang mengusung calon sendiri, tak lagi mengusung Fauzi Bowo seperti pada pilgub 2007, bukan lantaran Golkar tak mau bersanding dengan Demokrat. Menurut Umar, sikap Golkar lebih dipicu figur Fauzi Bowo yang dianggap tidak kooperatif. “Foke (Fuazi Bowo, red), sedikit arogan sehingga Golkar tak mau lagi. Sejumlah partai yang dulu mengusung Foke sekarang tak mau lagi juga karena sosok Foke yang seperti itu. Jadi Foke sekarang hanya diusung Demokrat dan PKB,” ulas Umar.
Dengan kata lain, model koalisi pada pilgub Sumut 2008, sama sekali tidak bisa menjadi ukuran untuk membaca kemungkinan koalisi pilgub 2013. PKS yang berkoalisi dengan PPP pada pilgub 2008, kemungkinan besar tidak terjadi lagi. “Di Sumut, PPP malah punya irisan dengan Golkar,” ujar Umar lagi, memperkuat prediksinya bahwa Gus Irawan bakal duet dengan Fadli.
PPP sendiri, seperti diberitakan koran ini, Senin (19/3), membuka peluang Fadli jadi cawagub, tidak harus cagub. Ini seperti disampaikan Wakil Ketua Umum PPP, Drs H Hasrul Azwar MM. Menurut Hazrul, PPP tak mungkin mengusung sendiri calonnya, sehingga harus berkaolisi dengan partai lain. Karenanya, kader PPP bisa menjadi cagub atau pun cawagub.
Peran Warga Perantau Dibutuhkan
Kepedulian masyarakat Sumut yang merantau ke sejumlah kota-kota besar maupun luarnegeri, sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Sehingga jangan sampai akibat konflik kepentingan calon-calon gubernur nantinya, menimbulkan gejolak aksi kekerasan ditengah masyarakat.
Demikian dikemukakan mantan Kepala Hakim Tinggi Ambon, Maluku, Humala Simajuntak beberapa waktu lalu. Dalam hal ini memang diakui Humala, masyarakat Sumut yang telah merantau tidak lagi memungkinkan untuk memilih. Sebab besar kemungkinan telah ber-KTP daerah lain. Hanya saja hal tersebut bukan penghalang untuk berbuat demi kampung halaman. Justru peran utama dibutuhkan memberi pencerahan.
“Sebab dari kasus-kasus yang pernah saya alami, saya kira peran pangaranto memberikan pencerahan itu sangat besar. Tapi pangaranto-nya sudah harus cerah terlebih dahulu dong. Supaya masyarakat kita lebih jernih melihat Pilkada langsung.”
Pendekatan unsur budaya menurut Humala kemudian, juga sangat dibutuhkan dalam memberi pengertian terhadap masyarakat terkait pelaksanaan pilkada. “Sebab terbukti, beberapa kerusuhan di tanah air, itu dapat diatasi dengan pendekatan budaya,” katanya.
Selain itu pendekatan ini menurutnya jauh lebih objektif daripada akal pikiran dan rasa. Apalagi dalam budaya batak terdapat unsur kejujuran, kedisplinan dan kerja keras yang begitu kuat. “Dalam falsafah hidup orang batak, tertuang istilah pantun do hangoluan, tois do hamagoan. Tapi sayangnya sekarang ini, budaya kerja keras masih tetap mengemuka. Namun kejujuran dan disiplin hanya tinggal 50 persen.
Untuk itulah pendekatan unsur budaya menurutnya harus kembali dihidupkan secara berkesinambungan. Menariknya, pola pendekatan budaya atau yang di istilahkan dengan back to nature ini menurut pria yang kini berprofesi sebagai pengacara, terbukti juga cukup efektif memajukan Sumut. Ia mencontohkan bagaimana Korea Selatan berhasil bangkit setelah sebelumnya merupakan negara termiskin sebelum perang dunia kedua. Demikian juga dengan Provinsi Bali.
“Nah mereka ini kembali ke budaya,” katanya.
Apa yang diungkapkan si-ompung ini tentu tidak hanya sekadar rekaan semata. Sebab untuk itu, ia bahkan telah melakukan serangkaian penelitian hingga kemudian melahirkan sebuah buku “Dalihan Na Tolu”.
Dalam buku tersebut, ia memaparkan secara objektif bagaimana falsafah hidup orang batak yang terangkum dalam falsafah Dalihan Na Tolu, benar-benar sangat luarbiasa mendewasakan pola pikir dan memajukan orang batak selama ini. Bahkan dalam buku yang telah dicetak ulang pada tahun 2006 lalu ini, ia memuat perbandingan dengan pandangan hidup suku-suku lain seperti Maluku dan Minahasa. Jadi kalau ompung yang telah berusia lebih dari 75 tahun ini yakin Sumut dapat maju dengan kembali pada pendekatan budaya, sepertinya patut menjadi pertimbangan bagi para kepala daerah yang ada. Terutama saat menjelang pilkada pemilihan gubernur yang dalam tahun 2013 ini akan digelar.(sam/gir)