JAKARTA- Rahudman Harahap berpeluang divonis bebas dari tuntutan 4 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi anggaran Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintahan Desa (TPAPD) Pemkab Tapsel Tahun 2005. Pasalnya, terdapat kejanggalan menyolok di materi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kejanggalan dimaksud adalah perbedaan jumlah kerugian negara dalam perkara yang sama. Pada perkara dengan terdakwa Rahudman, JPU menyebut kerugian negara mencapai Rp2,071 miliar. Sementara, dalam perkara yang sama, dengan terdakwa Amrin Tambunan selaku pemegang kas Sekretariat Daerah (Setda) Tapsel, yang sudah disidangkan lebih awal, jumlah kerugian negara sebesar Rp1,5 miliar.
Peluang vonis bebas ini diungkapkan oleh Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi. Uchok menilai, perbedaan penghitungan kerugian negara itu merupakan sesuatu yang fatal. Meski jaksanya berbeda, tapi untuk satu perkara yang sama, mestinya jumlah kerugian negaranya sama persis. “Ini menunjukkan jaksanya tak profesional. Ada unsur subyektif. Kalau obeyktif, pasti jumlah kerugian negara di perkara yang sama, ya besarnya sama. Ini sangat janggal dan memberi peluang terdakwa bebas,” ujar Uchok Sky Kadafi kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (19/7).
Untuk menghindari subyektifitas, kata Uchok, mestinya JPU mengacu kepada hasil audit dari lembaga audit yang sudah ada. Jika belum ada, JPU bisa mengajukan permintaan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), untuk membantu menghitung kerugian negara.
“Jadi harus diserahkan ke ahlinya, biar obyektif. BPK saja biar bisa obyektif dalam proses audit, biasa minta bantuan instansi lain, misal Kementerian Pekerjaan Umum, ketika BPK harus menghitung kerugian di proyek pembangunan jalan, misalnya,” beber Uchok.
Seperti diberitakan, mantan Sekda Tapsel, Rahudman Harahap, dituntut 4 tahun penjara. Pengacara Rahudman menganggap jaksa menggunakan fakta manipulatif terkait tuntutan itu. Julisman SH, salah seorang penasihat hukum Rahudman Harahap, antara lain menyebut mengenai perbedaan kerugian negara itu.
Dia juga menyebut, timbulnya kerugian negara dalam penyaluran TPAPD 2005 versi JPU tidak sama dengan laporan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumut.
“Menurut jaksa, kerugian negara terjadi pada pencairan TPAPD 2005 triwulan I dan II, yakni di bulan Januari dan Mei. Sementara versi BPKP Sumut, kerugian negara terjadi pada sebagian triwulan III dan triwulan IV atau bulan Juli-Desember 2005. Menurut BPKP, kerugian negara terjadi dalam penyaluran TPAPD sebagian triwulan III dan IV atau mulai Juli-Desember 2005. Dan, itu sudah tidak masa Rahudman lagi, tapi Leonardy Pane,” jelasnya. (sam)