JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Upaya untuk menangkap Hacker Bjorka terus dilakukan. Yang terbaru, Polri telah berkoordinasi dengan Interpol dan Federal Bureau of Investigation (FBI) untuk menangkap Bjorka. Diduga Bjorka berada di luar negeri, namun jaringan penyuplai data di Indonesia.
Sumber Jawa Pos (grup Sumut Pos) menuturkan, Hacker Bjorka dalam menjalankan bisnis jual beli data memiliki jaringan di Indonesia. Jaringan tersebut beberapa diantaranya telah teridentifikasi. Jumlahnya bukan 14 suspect seperti yang sebelumnya. “Jaringan ini menyuplai data ke Bjorka,” ujarnya.
Bahkan, Bjorka tidak perlu melakukan peretasan untuk mendapatkan data tersebut. Karena membeli master data secara murah dari jaringan di Indonesia. “Setelah mendapat data dijual kembali oleh Bjorka,” jelasnya.
Nah, dengan berbagai alasan Hacker Bjorka iseng mengerjai sejumlah pejabat di Indonesia. Hal itu bisa jadi karena jiwa sosialnya yang tinggi atau malah niat untuk meningkatkan harga data yang dijualnya. “Kan bisa untuk digunakan meyakinkan calon pembeli,” tuturnya.
Kini, petugas yang mengetahui kasus tersebut memastikan bahwa Polri telah berkoordinasi dengan Interpol Pusat di Lyon dan FBI. Koordinasi itu dilakukan untuk bisa menangkap Bjorka. “Sedang koordinasi,” paparnya.
Sementara Pakar Penyadapan dan Keamanan Siber Pratama D Pershada menjelaskan, prinsipnya dalam penangkapan Bjorka, jangan percaya terhadap akun-akun anonim yang tidak jelas kredebilitasnya. Aparat harus percaya diri karena memiliki pengalaman menangkap Triomacan2000, peretas Tiket.com dan situs KPU. “Kemampuan tracking di dinia siber bukan hal baru,” ujarnya.
Namun begitu, Bjorka ini akun anonim yang mengaku dari luar negeri. Memang bisa dilakukan tracking, namun kalau Bjorka kemampuannya jago tentu akan sulit. “Meski bukan hal yang tidak mungkin,” jelasnya.
Perlu dipahami, tracking itu bukan hanya secara teknis. Namun, juga mencari informasinya dari jejaring hacker. “Cari informasinya dari komunitas internet dan hacker,” tuturnya.
Bahkan, kemungkinan perlu pendekatan intelijen. Bagaimana informasi didapatkan secara offline dari komunitas intelijen atau sumber lainnya yang valid. “Kalau di luar negeri, identitas setidaknya diungkap. Tapi bila di dalam negeri syukur-syukur ditangkap karena telah melanggar UU ITE dan UU Kependudukan,” ujarnya.
Sekali lagi, pemerintah perlu mengambil hikmah dari kejadian Hacker Bjorka. Bahwa negara harus benar-benar perhatian terhadap keamanan siber. “Apakah anggaran besar untuk keamanan siber ini sudah efektif atau tidak. Perlu evaluasi serius,” tegasnya.
Penetapan Tesangka Dinilai Prematur
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai, penetapan tersangka pemuda Madiun Muhammad Agung Hidayatullah alias MAH (21) terkait kasus hacker Bjorka, prematur. Kadiv Advokasi & Jaringan YLBHI-LBH Surabaya Habibus Shalihin berpendapat pihak kepolisian seharusnya tidak gegabah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
“Penetapan tersangka terhadap MAH karena membuat channel Telegram Bjorkanism kemudian dihubungkan dengan aktivitas Bjorka yang melakukan peretasan dan dianggap ‘membantu’, menurut kami masih sangat prematur, dipaksakan dan tidak nyambung,” kata Shalihin melalui pesan tertulis, Senin (19/9).
Shalihin mengatakan, LBH Surabaya khawatir penetapan tersangka tersebut dilakukan untuk menutupi penangkapan tidak sah yang sudah kadung dilakukan sebelumnya. “Kalau memang tidak ditemukan indikasi perbuatan pidana jangan memaksakan kasus menjadi seolah-olah ada masalah,” kata dia.
Shalihin mengingatkan penangkapan prematur justru semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dan Pemerintah. Oleh sebab itu, menurutnya polisi akui saja bila terjadi kesalahan dalam proses-proses penetapan tersangka. “Itu akan lebih terhormat daripada mengorbankan hak asasi warga negaranya sendiri demi membangun citra aparat kepolisian dengan penuh kepalsuan,” ucapnya.
Sementara itu, Pengacara Publik LBH Buruh dan Rakyat Jawa Timur Hosnan menilai landasan yang dipakai oleh kepolisian untuk menetapkan tersangka MAH tidak jelas. “Istilah “membantu” yang dipakai pihak kepolisian tidak jelas, apakah merujuk pada ketentuan Pasal 55 KUHP atau apa,” ucapnya.
“Karena dalam hukum pidana istilah ‘membantu’, ‘turut serta’, ‘menyuruh lakukan’ dapat ditemukan di KUHP Pasal 55,” imbuhnya.
Dia tak melihat ada korelasi antara “membantu” yang dijabarkan polisi dengan peretasan yang dilakukan Bjorka. Sebagai informasi, polisi mengatakan MAH membantu Bjorka agar terkenal dan dapat banyak uang. “Apa hubungannya dengan peretasan yang dilakukan Bjorka, kan tidak nyambung,” ucap dia.
Terlebih, menurutnya “perburuan” terhadap hacker Bjorka tidak akan menyelesaikan masalah keamanan data pribadi di Indonesia yang sudah sedemikian akut dan krusial. “Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan kebijakan perlindungan data peribadi daripada berburu hacker. Karena itu yang lebih urgent hari ini dimana segala transaksi banyak dilakukan secara online dan mensyaratkan dokumen pribadi di dalamnya,” ujarnya. (idr/jpg)