29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Papua dan Papua Barat Kondusif

PADAMKAN: Personel Kepolisian bersama warga padamkan ban bekas yang dibakar demonstran dalam aksi yang terjadi di Manokwari, Selasa (20/8). Suasana di Papua sudah kondusif.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menko Polhukam Wiranto menegaskan, sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat yang sempat jadi titik aksi kerusuhan, kini sudah kondusif. Menurut Wiranto saat ini situasi sudah terkendali.

“Sudah. Sudah terkendali aman. Masyarakat sudah tenang Karena sudah ada penjelasan-penjelasan yang cukup jelas dan gamblang dari berbagai pihak,” kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Ia mengapresiasi pihak-pihak yang turut menyejukkan situasi kerusuhan. Wiranto kembali menyebut nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Papua Lukas Enembe, hingga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). “Saya sendiri juga kemarin sudah lihat kan, sudah press conference, hasil rapat koordinasi.

Pak Kapolri juga sudah memberikan penjelasan secara detail tentang kejadian itu. Kemudian bahkan Wali Kota Surabaya. Kemudian Gubernur Khofifah. Kemudian juga Gubernur Papua. Semua kan sudah memberikan penjelasan,” ucapnya.

Wiranto pun mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang kebenarannya tidak diketahui. Ia tidak ingin keamanan yang sudah tercipta diperkeruh dengan informasi yang tidak benar. “Tetapi semuanya akan mengumumkan, masyarakat hendaknya jangan sampai terpengaruh provokasi.

Dengan berita-berita yang memang mem-provoke. Berita-berita yang memanfaatkan insiden itu untuk membuat kacau. Untuk membuat keruh suasana. Kita bersyukur bahwa segera ada reaksi cepat dari berbagai pihak yang intinya agar semuanya bisa kembali kondusiflah, nggak ada masalah,” ucap Wiranto.

Polisi menyatakan saat ini situasi di Jayapura dan Manokwari sudah kondusif pascakerusuhan pada Senin (19/8). Namun, Polisi menyebut masih ada aksi massa yang dilakukan di Sorong, Papua Barat. Aparat gabungan saat ini bernegosiasi dengan massa. “Untuk di wilayah Sorong emang masih ada kegiatan masyarakat di satu titik.

Massa kurang-lebih sekitar hampir 500 orang yang saat ini juga masih dalam proses negosiasi dan komunikasi secara intens antara aparat keamanan, baik TNI, Polri, dan tokoh masyarakat yang di sana,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (20/8).

“Yang jelas, apa yang menjadi aspirasinya teman-teman mahasiswa maupun masyarakat di Sorong juga akan diterima, ditampung, dan akan diserahkan nanti akan ke pemerintah pusat,” imbuhnya.

Presiden Minta Saling Memaafkan

Presiden Joko Widodo secara mendadak memanggil Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya ke Istana Negara, Selasa (20/8) pagi. Lenis pun terpaksa membatalkan penerbangannya ke Surabaya untuk bertemu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. “Tadi sebenarnya pesawat ke Surabaya itu jam 11.00 WIB. Tetapi pas mau berangkat, tiba-tiba Pak Presiden panggil, terus saya ketemuan dengan Pak Presiden,” ucap Lenis usai bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan.

Lenis menerangkan, pada intinya Presiden menyampaikan pesan agar masyarakat memaafkan bila ada ketersinggungan soal kejadian yang menimpa mahasiswa asal daerah yang dulunya bernama Pulau Irian. “Pada intinya, Pak Presiden menyampaikan untuk kita harus saling memaafkan, karena kita anak bangsa yang sama. Bagaimana kita harus bersatu membangun Indonesia masa depan, yang lebih baik,” jelas Lenis.

Saat bertemu Jokowi, Lenis juga sudah menyampaikan konsep atau strategi khusus untuk menangani masalah Papua, utamanya yang berkaitan dengan mahasiswa asal negeri cenderawasih yang ada di Jawa Timur. “Pola asramanya kita perhatikan, pola hidupnya kita perhatikan, terus pendidikan juga perhatikan. Sehingga kejadian ini tidak terulang lagi ke depan. Ini saya laporkan pada Pak Presiden,” jelasnya.

Tak Cukup Saling Memaafkan

Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo, Gubernur Papua, Lukas Enembe mengaku tak puas. Menurut Lukas, pernyataan Jokowi tidak tegas dan belum bisa mengobati hati warga Papua. Bahkan, jika aksi persekusi masih terjadi di Indonesia, Lukas mengaku akan menarik semua mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Cendrawasih tersebut.

Menurut Lukas, persoalan rasisme terhadap warga Papua lebih khusus mahasiswa yang kuliah di Jawa Timur, tidak bisa diselesaikan dengan hanya minta maaf. Proses hukum harus tetap diberlakukan bagi pelaku rasis agar kejadian serupa tidak berulang.

“Masalah rasisme terhadap masyarakat Papua tidak bisa diselesaikan dengan hanya meminta maaf. Tapi harus ada proses hukum bagi oknum-oknum pelaku, agar hal yang sama tidak terulang lagi,” kata Lukas Enembe, usai melantik sejumlah pejabat eleson III dan II di lingkungan Pemprov Papua, Selasa (20/8).

Menurut Lukas, harus ada penanganan yang serius bagi para pelaku rasisme yang meneriaki mahasiswa Papua dengan kata atau kalimat tak pantas. “Masalah ini tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena sudah terjadi bertahun-tahun, jadi harus ada proses hukum untuk efek jera,” kata Lukas.

Dia juga memandang, pernyataan Presiden Jokowi tidak tegas. “Mestinya Presiden segera perintahkan penegak hukumnya untuk tangkap para pelaku, karena ini bukan masalah baru, tapi sudah berulang-ulang, pemain sepak bola Papua juga sering diserang dengan rasis,” imbuhnya.

Jika tak ada jaminan keamanan dan keadilan bagi warga Papua, lanjut Lukas, dirinya sudah memiliki opsi yakni akan memulangkan mahasiswa Papua. “Kalau NKRI ini masih rasis, kami akan tarik semua mahasiswa,” tegasnya.

Lukas mengatakan, dirinya telah berbicara dengan Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan untuk datang dan berbicara mengenai pemindahan mahasiswa Papua ke tanah asal. Rencananya, mereka akan mengatur mahasiswa Papua agar berkuliah di Universitas Papua dan Universitas Cendrawasih, Papua.

“Saya tadi sudah bicara dengan Gubernur Papua Barat untuk mereka datang ke sini dan bicara di sini untuk atur mahasiswa ditaruh di Unipa dan Uncen, kami akan tarik semua, untuk kuliah di Papua,” kata Lukas.

Lukas juga mengungkapkan, tim terpadu akan segera dibentuk guna diturunkan ke Jawa Timur, Jawa Tengah serta Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan untuk memetakan permasalahan yang ada serta mencari solusinya.

Koordinator Kontras Yati Andriyani juga menyindir cara Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan kasus kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Menurut dia, kasus di Manokwari tidak bisa selesai hanya dengan saling memaafkan seperti yang disarankan Jokowi.

“Cara presiden hanya dengan menyatakan mari kita saling memaafkan, itu pernyataan yang tidak cukup untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di Papua,” ucap Yati ditemui di kantor Kontras, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Kontras, kata Yeti, lebih menyarankan pemerintah menggerakkan institusinya untuk melakukan pengusutan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Misalnya, pemerintah menerjunkan Komnas HAM untuk mencari akar masalah hingga menyeruaknya kerusuhan di Manokwari. “Harus turun melakukan pemantauan, supaya ada objektivitas dalam mengungkap persoalan ini,” ungkap dia.

Kemudian, ucap dia, pemerintah bisa meminta kepolisian untuk berlaku persuasif menyelesaikan kerusuhan di Manokwari. Satu di antaranya dengan mengedepankan upaya dialog setelah kerusuhan terjadi. “Dialog harus dibuka, harus dilakukan, tidak bisa dengan pendekatan-pendekatan keamanan yang tertutup. Dengan pendekatan seperti penangkapan, dan penahanan seperti yang terjadi ini, pendekatan-pendekatan seperti itu persoalan di Papua tidak bisa diselesaikan,” tegas dia. (jpc/bbs/mg10/jpnn)

PADAMKAN: Personel Kepolisian bersama warga padamkan ban bekas yang dibakar demonstran dalam aksi yang terjadi di Manokwari, Selasa (20/8). Suasana di Papua sudah kondusif.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menko Polhukam Wiranto menegaskan, sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat yang sempat jadi titik aksi kerusuhan, kini sudah kondusif. Menurut Wiranto saat ini situasi sudah terkendali.

“Sudah. Sudah terkendali aman. Masyarakat sudah tenang Karena sudah ada penjelasan-penjelasan yang cukup jelas dan gamblang dari berbagai pihak,” kata Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Ia mengapresiasi pihak-pihak yang turut menyejukkan situasi kerusuhan. Wiranto kembali menyebut nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Papua Lukas Enembe, hingga Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini (Risma). “Saya sendiri juga kemarin sudah lihat kan, sudah press conference, hasil rapat koordinasi.

Pak Kapolri juga sudah memberikan penjelasan secara detail tentang kejadian itu. Kemudian bahkan Wali Kota Surabaya. Kemudian Gubernur Khofifah. Kemudian juga Gubernur Papua. Semua kan sudah memberikan penjelasan,” ucapnya.

Wiranto pun mengimbau masyarakat agar tidak mudah terprovokasi dengan informasi yang kebenarannya tidak diketahui. Ia tidak ingin keamanan yang sudah tercipta diperkeruh dengan informasi yang tidak benar. “Tetapi semuanya akan mengumumkan, masyarakat hendaknya jangan sampai terpengaruh provokasi.

Dengan berita-berita yang memang mem-provoke. Berita-berita yang memanfaatkan insiden itu untuk membuat kacau. Untuk membuat keruh suasana. Kita bersyukur bahwa segera ada reaksi cepat dari berbagai pihak yang intinya agar semuanya bisa kembali kondusiflah, nggak ada masalah,” ucap Wiranto.

Polisi menyatakan saat ini situasi di Jayapura dan Manokwari sudah kondusif pascakerusuhan pada Senin (19/8). Namun, Polisi menyebut masih ada aksi massa yang dilakukan di Sorong, Papua Barat. Aparat gabungan saat ini bernegosiasi dengan massa. “Untuk di wilayah Sorong emang masih ada kegiatan masyarakat di satu titik.

Massa kurang-lebih sekitar hampir 500 orang yang saat ini juga masih dalam proses negosiasi dan komunikasi secara intens antara aparat keamanan, baik TNI, Polri, dan tokoh masyarakat yang di sana,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (20/8).

“Yang jelas, apa yang menjadi aspirasinya teman-teman mahasiswa maupun masyarakat di Sorong juga akan diterima, ditampung, dan akan diserahkan nanti akan ke pemerintah pusat,” imbuhnya.

Presiden Minta Saling Memaafkan

Presiden Joko Widodo secara mendadak memanggil Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya ke Istana Negara, Selasa (20/8) pagi. Lenis pun terpaksa membatalkan penerbangannya ke Surabaya untuk bertemu Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. “Tadi sebenarnya pesawat ke Surabaya itu jam 11.00 WIB. Tetapi pas mau berangkat, tiba-tiba Pak Presiden panggil, terus saya ketemuan dengan Pak Presiden,” ucap Lenis usai bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan.

Lenis menerangkan, pada intinya Presiden menyampaikan pesan agar masyarakat memaafkan bila ada ketersinggungan soal kejadian yang menimpa mahasiswa asal daerah yang dulunya bernama Pulau Irian. “Pada intinya, Pak Presiden menyampaikan untuk kita harus saling memaafkan, karena kita anak bangsa yang sama. Bagaimana kita harus bersatu membangun Indonesia masa depan, yang lebih baik,” jelas Lenis.

Saat bertemu Jokowi, Lenis juga sudah menyampaikan konsep atau strategi khusus untuk menangani masalah Papua, utamanya yang berkaitan dengan mahasiswa asal negeri cenderawasih yang ada di Jawa Timur. “Pola asramanya kita perhatikan, pola hidupnya kita perhatikan, terus pendidikan juga perhatikan. Sehingga kejadian ini tidak terulang lagi ke depan. Ini saya laporkan pada Pak Presiden,” jelasnya.

Tak Cukup Saling Memaafkan

Menanggapi pernyataan Presiden Joko Widodo, Gubernur Papua, Lukas Enembe mengaku tak puas. Menurut Lukas, pernyataan Jokowi tidak tegas dan belum bisa mengobati hati warga Papua. Bahkan, jika aksi persekusi masih terjadi di Indonesia, Lukas mengaku akan menarik semua mahasiswa Papua yang berkuliah di luar Tanah Cendrawasih tersebut.

Menurut Lukas, persoalan rasisme terhadap warga Papua lebih khusus mahasiswa yang kuliah di Jawa Timur, tidak bisa diselesaikan dengan hanya minta maaf. Proses hukum harus tetap diberlakukan bagi pelaku rasis agar kejadian serupa tidak berulang.

“Masalah rasisme terhadap masyarakat Papua tidak bisa diselesaikan dengan hanya meminta maaf. Tapi harus ada proses hukum bagi oknum-oknum pelaku, agar hal yang sama tidak terulang lagi,” kata Lukas Enembe, usai melantik sejumlah pejabat eleson III dan II di lingkungan Pemprov Papua, Selasa (20/8).

Menurut Lukas, harus ada penanganan yang serius bagi para pelaku rasisme yang meneriaki mahasiswa Papua dengan kata atau kalimat tak pantas. “Masalah ini tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena sudah terjadi bertahun-tahun, jadi harus ada proses hukum untuk efek jera,” kata Lukas.

Dia juga memandang, pernyataan Presiden Jokowi tidak tegas. “Mestinya Presiden segera perintahkan penegak hukumnya untuk tangkap para pelaku, karena ini bukan masalah baru, tapi sudah berulang-ulang, pemain sepak bola Papua juga sering diserang dengan rasis,” imbuhnya.

Jika tak ada jaminan keamanan dan keadilan bagi warga Papua, lanjut Lukas, dirinya sudah memiliki opsi yakni akan memulangkan mahasiswa Papua. “Kalau NKRI ini masih rasis, kami akan tarik semua mahasiswa,” tegasnya.

Lukas mengatakan, dirinya telah berbicara dengan Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan untuk datang dan berbicara mengenai pemindahan mahasiswa Papua ke tanah asal. Rencananya, mereka akan mengatur mahasiswa Papua agar berkuliah di Universitas Papua dan Universitas Cendrawasih, Papua.

“Saya tadi sudah bicara dengan Gubernur Papua Barat untuk mereka datang ke sini dan bicara di sini untuk atur mahasiswa ditaruh di Unipa dan Uncen, kami akan tarik semua, untuk kuliah di Papua,” kata Lukas.

Lukas juga mengungkapkan, tim terpadu akan segera dibentuk guna diturunkan ke Jawa Timur, Jawa Tengah serta Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan untuk memetakan permasalahan yang ada serta mencari solusinya.

Koordinator Kontras Yati Andriyani juga menyindir cara Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan kasus kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Menurut dia, kasus di Manokwari tidak bisa selesai hanya dengan saling memaafkan seperti yang disarankan Jokowi.

“Cara presiden hanya dengan menyatakan mari kita saling memaafkan, itu pernyataan yang tidak cukup untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di Papua,” ucap Yati ditemui di kantor Kontras, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (20/8).

Kontras, kata Yeti, lebih menyarankan pemerintah menggerakkan institusinya untuk melakukan pengusutan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Misalnya, pemerintah menerjunkan Komnas HAM untuk mencari akar masalah hingga menyeruaknya kerusuhan di Manokwari. “Harus turun melakukan pemantauan, supaya ada objektivitas dalam mengungkap persoalan ini,” ungkap dia.

Kemudian, ucap dia, pemerintah bisa meminta kepolisian untuk berlaku persuasif menyelesaikan kerusuhan di Manokwari. Satu di antaranya dengan mengedepankan upaya dialog setelah kerusuhan terjadi. “Dialog harus dibuka, harus dilakukan, tidak bisa dengan pendekatan-pendekatan keamanan yang tertutup. Dengan pendekatan seperti penangkapan, dan penahanan seperti yang terjadi ini, pendekatan-pendekatan seperti itu persoalan di Papua tidak bisa diselesaikan,” tegas dia. (jpc/bbs/mg10/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/