25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Reuni Wapres KH Ma’ruf Amin dengan KH Sam’un setelah 62 Tahun Tak Berjumpa

Di Pondok, Sam’un Pernah Ditegur Ma’ruf karena Bacaan Alquran Kurang Pas

SUMUTPOS.CO – Berpisah setelah mondok di Tebuireng Jombang, KH Ma’ruf Amin dan KH Sam’un bertemu lagi di Kuching, Malaysia. Kepada wartawan Jawa Pos, M Hilmi Setiawan yang mengikuti lawatan wakil presiden, Sam’un mengenang sejak dulu sahabat lamanya itu sudah memperlihatkan bakat sebagai calon kiai besar.

BARU sejurus Ma’ruf Amin berpidato, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Ahmad Erani Yustika menghampiri seorang pria yang duduk di deretan kursi agak ke tengah. Dengan takzim Erani mempersilakan pria berpeci dan berbaju batik itu untuk pindah ke deretan terdepan.

Nama pria tersebut KH Sam’un, sebelumnya sempat disinggung Ma’ruf di awal pidato. “Alhamdulillah, kami berdua diberi kesehatan. Dulu kami satu kamar bareng,” kata Ma’ruf dalam dialog kebangsaan dengan warga negara Indonesia (WNI) di hotel tempatnya menginap di Kuching, Malaysia, akhir November lalu itu (29/11).

Ya, pada 1958 sampai 1961, Ma’ruf dan Sam’un rekan satu kamar ketika sama-sama mondok di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Tapi, sesudahnya mereka tak pernah bertemu lagi. Sampai akhirnya bertemu di Kuching, 62 tahun berselang.

Karena itu, begitu turun dari panggung, Ma’ruf yang didampingi sang istri Wury Ma’ruf Amin melanjutkan kesempatan bereuni dengan sang sahabat lama tersebut. Mereka lama berbincang hangat. Termasuk berkesempatan berfoto berdua. “Ya tanya-tanya soal kondisi saat ini. Alhamdulillah, kami berdua diberi kesehatan dan bisa bertemu,” kata Sam’un kepada Jawa Pos yang mengikuti lawatan wakil presiden ke negeri jiran itu.

Keduanya sempat bertegur sapa sebentar sebelum Ma’ruf menuju podium untuk berpidato. Sam’un datang sendirian pagi itu. Selama ini dia tinggal di Kuching bersama sang istri. Namun, pendamping hidupnya tersebut tengah pergi ke Kuala Lumpur untuk menemani putri bungsu mereka yang baru saja melahirkan.

Sam’un yang menjadi penasihat pendidikan keagamaan di Pemerintahan Negara Bagian Sarawak sebenarnya juga ikut mendampingi di Kuala Lumpur. Tapi, begitu mendengar Ma’ruf akan bermuhibah, dua hari sebelum kedatangannya, dia langsung pulang ke Kuching.

Pria asal Cirebon, Jawa Barat, yang masih berstatus WNI itu kali terakhir bersua Ma’ruf pada 1961. “Macam mimpi bisa bertemu lagi,” katanya.

Semasa nyantri di Tebuireng, selama tiga tahun Sam’un satu kamar dengan mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut. Bersama santri lainnya, mereka biasa tidur beralas tikar.

Sam’un yang tinggal di Sarawak sejak 1975 mengatakan, satu kamar kadang berisi lima orang, tapi tak jarang juga bisa sampai sepuluh orang. “Kalau tidur sudah seperti ikan pindang,” kenangnya.

Setiap malam mereka rutin mengaji bareng. Setelah selesai belajar di madrasah atau di pondok bersama ustad, materinya diulang kembali di kamar masing-masing. Mulai pelajaran membaca Alquran, bahasa Arab, membaca kitab kuning, dan lainnya. Satu santri mengaji, santri lainnya menyimak bacaannya.

Sam’un menceritakan, waktu itu bakat menjadi kiai dan tokoh agama besar sudah terlihat pada diri Ma’ruf. Dia sering bertugas menyimak bacaan Alquran rekan-rekannya. “Saya pernah beberapa kali ditegur Pak Ma’ruf Amin,” ungkapnya. Yaitu ketika bacaan Alquran yang dia bawakan salah atau kurang tepat. Tapi, teguran itu selalu disampaikan Ma’ruf dengan sopan.

Mereka berdua satu kelas juga di madrasah tsanawiyah (MTs). Tapi, setelah mondok, keduanya berpisah. Sam’un melanjutkan studi mendalami bahasa Arab. Dia sempat kuliah di Mesir hingga Libya. Saat di Libya, Sam’un bergabung dengan Badan Dakwah Internasional. Salah satu kegiatannya mengirim ahli bahasa Arab ke penjuru dunia. “Semula saya pilih ke Singapura,” katanya.

Pertimbangannya karena dekat dengan Indonesia. Jadi, tidak terlalu repot jika ingin pulang ke Cirebon. Sesuai pilihannya, pada 1974 dia dikirim ke Negeri Singa tersebut. Tapi, hanya setahun di sana, dia dipindahkan ke Malaysia.

Awalnya Sam’un bertugas di Kuala Lumpur. Beberapa waktu kemudian, dia berjumpa Tun Abdurrahman Yaqub, petinggi Kementerian Agama Malaysia. Dia kemudian diajak ke Sarawak pada 1975. Ayah enam putri dan dua putra itu ditugasi melahirkan sebuah lembaga pendidikan dengan kualitas tinggi. “Mendirikan sebuah sekolah dasar yang menggunakan tiga bahasa: Malaysia, Inggris, dan Arab,” ucapnya.

Sam’un mengatakan, di penjuru Malaysia saat itu belum ada sekolah yang menekankan penguasaan tiga bahasa seperti itu. Pertimbangannya, bahasa Arab sangat penting. Baik untuk urusan diplomasi maupun bisnis.

Beberapa waktu lalu, Sam’un sebenarnya sempat pulang ke Jakarta. Dia bilang ke anaknya yang tinggal di sana, apakah bisa bertemu dengan Ma’ruf Amin. “Kata anak saya, wah pasti susah. Protokolnya sudah berbeda karena jadi wakil presiden,” kata Sam’un menirukan ucapan sang anak.

Ma’ruf mampir ke Kuching setelah sekitar satu pekan melawat ke Eropa. Saat berada di Kuching, dia menghadiri pembukaan Global Muslim Business Forum 2023 pada 28 November malam yang juga dihadiri Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.

Nah, keesokan harinya baru Ma’ruf berdialog dengan para WNI yang ternyata mempertemukannya dengan Sam’un. Di antara pesan yang dia sampaikan saat itu, dia meminta para WNI hati-hati terhadap munculnya “kentut setan”.

Istilah kentut setan itu maksudnya berita bohong yang tidak jelas sumbernya. Tapi memicu perpecahan. Istilah kentut setan itu didapatkan Ma’ruf ketika masih mondok bareng Sam’un. Alkisah, ada tiga santri yang selalu akur dan kompak salat berjemaah. Satu orang menjadi imam dan dua lainnya menjadi makmum.

Tapi, setan tidak pernah suka kalau ada orang akur. Karena itu, dicarilah akal untuk memisahkan tiga orang tersebut. Imam, kata Ma’ruf dalam ceritanya, bilang makmum kentut. Kata si makmum, justru sang imam yang kentut. Sejak itu mereka terpisah. Tidak saling percaya. “Karena salah satu yang salat kentut. Padahal, yang kentut setan,” kata Ma’ruf. (c9/ttg/jpg)

SUMUTPOS.CO – Berpisah setelah mondok di Tebuireng Jombang, KH Ma’ruf Amin dan KH Sam’un bertemu lagi di Kuching, Malaysia. Kepada wartawan Jawa Pos, M Hilmi Setiawan yang mengikuti lawatan wakil presiden, Sam’un mengenang sejak dulu sahabat lamanya itu sudah memperlihatkan bakat sebagai calon kiai besar.

BARU sejurus Ma’ruf Amin berpidato, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Ahmad Erani Yustika menghampiri seorang pria yang duduk di deretan kursi agak ke tengah. Dengan takzim Erani mempersilakan pria berpeci dan berbaju batik itu untuk pindah ke deretan terdepan.

Nama pria tersebut KH Sam’un, sebelumnya sempat disinggung Ma’ruf di awal pidato. “Alhamdulillah, kami berdua diberi kesehatan. Dulu kami satu kamar bareng,” kata Ma’ruf dalam dialog kebangsaan dengan warga negara Indonesia (WNI) di hotel tempatnya menginap di Kuching, Malaysia, akhir November lalu itu (29/11).

Ya, pada 1958 sampai 1961, Ma’ruf dan Sam’un rekan satu kamar ketika sama-sama mondok di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Tapi, sesudahnya mereka tak pernah bertemu lagi. Sampai akhirnya bertemu di Kuching, 62 tahun berselang.

Karena itu, begitu turun dari panggung, Ma’ruf yang didampingi sang istri Wury Ma’ruf Amin melanjutkan kesempatan bereuni dengan sang sahabat lama tersebut. Mereka lama berbincang hangat. Termasuk berkesempatan berfoto berdua. “Ya tanya-tanya soal kondisi saat ini. Alhamdulillah, kami berdua diberi kesehatan dan bisa bertemu,” kata Sam’un kepada Jawa Pos yang mengikuti lawatan wakil presiden ke negeri jiran itu.

Keduanya sempat bertegur sapa sebentar sebelum Ma’ruf menuju podium untuk berpidato. Sam’un datang sendirian pagi itu. Selama ini dia tinggal di Kuching bersama sang istri. Namun, pendamping hidupnya tersebut tengah pergi ke Kuala Lumpur untuk menemani putri bungsu mereka yang baru saja melahirkan.

Sam’un yang menjadi penasihat pendidikan keagamaan di Pemerintahan Negara Bagian Sarawak sebenarnya juga ikut mendampingi di Kuala Lumpur. Tapi, begitu mendengar Ma’ruf akan bermuhibah, dua hari sebelum kedatangannya, dia langsung pulang ke Kuching.

Pria asal Cirebon, Jawa Barat, yang masih berstatus WNI itu kali terakhir bersua Ma’ruf pada 1961. “Macam mimpi bisa bertemu lagi,” katanya.

Semasa nyantri di Tebuireng, selama tiga tahun Sam’un satu kamar dengan mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut. Bersama santri lainnya, mereka biasa tidur beralas tikar.

Sam’un yang tinggal di Sarawak sejak 1975 mengatakan, satu kamar kadang berisi lima orang, tapi tak jarang juga bisa sampai sepuluh orang. “Kalau tidur sudah seperti ikan pindang,” kenangnya.

Setiap malam mereka rutin mengaji bareng. Setelah selesai belajar di madrasah atau di pondok bersama ustad, materinya diulang kembali di kamar masing-masing. Mulai pelajaran membaca Alquran, bahasa Arab, membaca kitab kuning, dan lainnya. Satu santri mengaji, santri lainnya menyimak bacaannya.

Sam’un menceritakan, waktu itu bakat menjadi kiai dan tokoh agama besar sudah terlihat pada diri Ma’ruf. Dia sering bertugas menyimak bacaan Alquran rekan-rekannya. “Saya pernah beberapa kali ditegur Pak Ma’ruf Amin,” ungkapnya. Yaitu ketika bacaan Alquran yang dia bawakan salah atau kurang tepat. Tapi, teguran itu selalu disampaikan Ma’ruf dengan sopan.

Mereka berdua satu kelas juga di madrasah tsanawiyah (MTs). Tapi, setelah mondok, keduanya berpisah. Sam’un melanjutkan studi mendalami bahasa Arab. Dia sempat kuliah di Mesir hingga Libya. Saat di Libya, Sam’un bergabung dengan Badan Dakwah Internasional. Salah satu kegiatannya mengirim ahli bahasa Arab ke penjuru dunia. “Semula saya pilih ke Singapura,” katanya.

Pertimbangannya karena dekat dengan Indonesia. Jadi, tidak terlalu repot jika ingin pulang ke Cirebon. Sesuai pilihannya, pada 1974 dia dikirim ke Negeri Singa tersebut. Tapi, hanya setahun di sana, dia dipindahkan ke Malaysia.

Awalnya Sam’un bertugas di Kuala Lumpur. Beberapa waktu kemudian, dia berjumpa Tun Abdurrahman Yaqub, petinggi Kementerian Agama Malaysia. Dia kemudian diajak ke Sarawak pada 1975. Ayah enam putri dan dua putra itu ditugasi melahirkan sebuah lembaga pendidikan dengan kualitas tinggi. “Mendirikan sebuah sekolah dasar yang menggunakan tiga bahasa: Malaysia, Inggris, dan Arab,” ucapnya.

Sam’un mengatakan, di penjuru Malaysia saat itu belum ada sekolah yang menekankan penguasaan tiga bahasa seperti itu. Pertimbangannya, bahasa Arab sangat penting. Baik untuk urusan diplomasi maupun bisnis.

Beberapa waktu lalu, Sam’un sebenarnya sempat pulang ke Jakarta. Dia bilang ke anaknya yang tinggal di sana, apakah bisa bertemu dengan Ma’ruf Amin. “Kata anak saya, wah pasti susah. Protokolnya sudah berbeda karena jadi wakil presiden,” kata Sam’un menirukan ucapan sang anak.

Ma’ruf mampir ke Kuching setelah sekitar satu pekan melawat ke Eropa. Saat berada di Kuching, dia menghadiri pembukaan Global Muslim Business Forum 2023 pada 28 November malam yang juga dihadiri Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.

Nah, keesokan harinya baru Ma’ruf berdialog dengan para WNI yang ternyata mempertemukannya dengan Sam’un. Di antara pesan yang dia sampaikan saat itu, dia meminta para WNI hati-hati terhadap munculnya “kentut setan”.

Istilah kentut setan itu maksudnya berita bohong yang tidak jelas sumbernya. Tapi memicu perpecahan. Istilah kentut setan itu didapatkan Ma’ruf ketika masih mondok bareng Sam’un. Alkisah, ada tiga santri yang selalu akur dan kompak salat berjemaah. Satu orang menjadi imam dan dua lainnya menjadi makmum.

Tapi, setan tidak pernah suka kalau ada orang akur. Karena itu, dicarilah akal untuk memisahkan tiga orang tersebut. Imam, kata Ma’ruf dalam ceritanya, bilang makmum kentut. Kata si makmum, justru sang imam yang kentut. Sejak itu mereka terpisah. Tidak saling percaya. “Karena salah satu yang salat kentut. Padahal, yang kentut setan,” kata Ma’ruf. (c9/ttg/jpg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/