30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Hampir Diculik ketika Ungkap Aparat yang Jadi Beking

Gara-gara Tekuni Film Dokumenter, Iwan Setiawan Kenyang Kena Teror

Bagi sebagian orang, film dokumenter mungkin dianggap tak menarik untuk ditonton, apalagi ditekuni. Tapi, hal itu tak berlaku bagi Iwan Setiawan. Dia bahkan mendirikan komunitas. Gara-gara menekuni hal yang disukai itu, nyawanya nyaris terancam.

RIDLWAN H, Jakarta

Perawakannya tak begitu tinggi. Tapi, sorot di balik kacamata minusnya tajam. Bicaranya juga lugas, khas arek Jawa Timur-an. “Membuat dokumenter, terutama yang bau-bau investigasi, itu modalnya nyali,” kata Iwan Setiawan, penggagas komunitas Salam Dokumenter Mania saat ditemui tadi malam (21/6) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Iwan berkaus dan bercelana jins dengan sandal gunung. Di tas bodypack-nya ada dua peralatan yang wajib dibawa ke mana-mana. Yakni, handycam dan laptop. “Orang dokumenter ya wajib bawa handycam. Sebab, momen ada setiap saat,” ujar pria 41 tahun tersebut.

Dia mencontohkan salah seorang anggota komunitas film dokumenter Mohammad Addiartha Putra Kusuma. Siswa Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius, Jakarta, itu selalu membawa handycam setiap jalan ke mana saja.
Suatu waktu, dia tersentil melihat temannya yang benci musik jazz gusar membaca iklan Java Jazz di koran. Jadilah film superpendek bertajuk Made with Jazz yang menjadi film terbaik dalam lomba film SMA di Festival Film Institut Kesenian Jakarta tahun lalu.

“Kebanyakan orang komunitas dokumenter adalah orang-orang yang gelisah dengan lingkungannya dan mencurahkan dalam bentuk audio visual,” ujar bapak dua anak tersebut.

Dia mengutip definisi film dokumenter dari ilmuwan Inggris, Frank Beaver, yang menulis Dictionary of Film Terms. “Sederhananya, sebuah film nonfiksi,” katanya.

Film dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan aktor, dan temanya terfokus pada subjek-subjek seperti sejarah ilmu pengetahuan, sosial, atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah memberikan pencerahan, informasi, pendidikan, melakukan persuasi, dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali.
Sebelum terjun total dalam dunia film dokumenter, dia pernah menjadi jurnalis. Hampir delapan tahun di Tempo, Iwan lantas menggawangi program SIGI SCTV yang berfokus pada investigasi kasus-kasus yang tak terungkap ke publik.

Saat itu, alumnus TV journalist workshop Ohio State University 2008 tersebut benar-benar harus bertarung face to face dengan pihak-pihak yang merasa aibnya dia ungkap. “Di Tanah Bumbu, saya menginvestigasi aktivitas pertambangan ilegal yang dibekingi aparat, tepatnya anaknya aparat,” ungkapnya.

Ketika menginvestigasi, Iwan menyewa perahu untuk menelusuri sungai di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, itu. “Panjangnya sekitar 2,5 kilometer, ada 220 titik tambang batu bara,” katanya.
Setelah hasil investigasinya ditayangkan, berbagai ancaman mulai muncul. “Mulai santet sampai diajak ketemu di Jakarta,” ujarnya.

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya tersebut juga pernah hampir diculik saat menginvestigasi pembalakan liar di Sorong, Papua. “Di sana juga ada beking aparatnya,” katanya lantas meminta nama institusi itu tidak ditulis.
Iwan yang juga pernah mengikuti Investigative Journalism Training di Murdoch University, Perth, Australia, 2002 tersebut lantas menekuni film dokumenter secara serius sejak ikut workshop pada 2006.

Beberapa prestasi diraih. Di antaranya, Best Feature Documentary on Indonesia Documentary Film Festival 2009 dengan titel At Stake! Film itu juga pernah diputar di Berlin Film Festival 2008. Iwan juga menjadi line producer untuk film Heaven for Insanity yang diputar dalam Festival Film Rotterdam, Belanda, 2009.

Selain itu, dia memenangi Script Development Competition, Jakarta International Film Festival 2006. Lalu, ikut South East Asia Press Alliance (SEAPA) Fellowship di Laos dan Vietnam, 2006.

Bersama tiga temannya, Swastika, Kristianto Nugroho, dan Muhammad Ihsan, Iwan mendirikan Salam Dokma. Salam berasal dari singkatan Sabtu Malam. Sebab, anggota komunitas tersebut awalnya berkumpul setiap Sabtu malam Minggu. Dokma adalah singkatan dokumenter mania.

Kini, pertemuan diubah setiap Minggu, diisi dengan diskusi dan memutar film. Lokasinya di Newseum Caf ›kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat.

“Tujuan kami, ingin memberikan alternatif tontonan untuk masyarakat dengan film dokumenter. Yang datang beragam, mulai pelajar SMA sampai sutradara film yang sukses di festival internasional,” ungkapnya.
Di antara ratusan simpatisan yang datang, yang benar-benar hidup dari film dokumenter memang hanya belasan. “Kami ingin hidup dari film dokumenter. Sampai sekarang masih jarang orang yang mendedikasikan dan benar-benar hidup dari dokumenter,” tegasnya.

Menurut Iwan, menekuni film dokumenter seperti bertanam pohon jati. “Hasilnya tidak bisa dipetik tiap bulan, tapi mungkin lima atau enam tahun lagi,” tuturnya.
Film dokumenter akan semakin dicari saat langka. Misalnya, film tentang pembuat keris kawakan yang sangat terkenal. Saat ini film tersebut belum tentu dijual. “Tapi, kalau sang empu itu sudah wafat, filmnya jadi langka,” ujarnya.

Iwan sekarang mengembangkan sebuah perpustakaan audio visual di Yayasan Amerta di Bogor. Selain itu, dia sibuk membuat web. “Siapa pun yang ingin lihat dan up load film dokumenternya bisa gratis,” katanya.
Dia mengaku terinspirasi komunitas serupa di Austria. “Saya baru saja pulang dari sana. Di Austria, khusus untuk film dokumenter saja ada 250 production house,” ungkapnya.

Proyek lain yang sedang dipikirkan dalam-dalam adalah tawaran membuat film dokumenter semi-investigasi di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Dia menyebut sebuah tempat. “Lokasinya jangan ditulis dulu. Ini rumit karena ada unsur koneksi antara korporasi dan pejabat setempat,” tegasnya. (kuh/c5/kum/jpnn)

Gara-gara Tekuni Film Dokumenter, Iwan Setiawan Kenyang Kena Teror

Bagi sebagian orang, film dokumenter mungkin dianggap tak menarik untuk ditonton, apalagi ditekuni. Tapi, hal itu tak berlaku bagi Iwan Setiawan. Dia bahkan mendirikan komunitas. Gara-gara menekuni hal yang disukai itu, nyawanya nyaris terancam.

RIDLWAN H, Jakarta

Perawakannya tak begitu tinggi. Tapi, sorot di balik kacamata minusnya tajam. Bicaranya juga lugas, khas arek Jawa Timur-an. “Membuat dokumenter, terutama yang bau-bau investigasi, itu modalnya nyali,” kata Iwan Setiawan, penggagas komunitas Salam Dokumenter Mania saat ditemui tadi malam (21/6) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Iwan berkaus dan bercelana jins dengan sandal gunung. Di tas bodypack-nya ada dua peralatan yang wajib dibawa ke mana-mana. Yakni, handycam dan laptop. “Orang dokumenter ya wajib bawa handycam. Sebab, momen ada setiap saat,” ujar pria 41 tahun tersebut.

Dia mencontohkan salah seorang anggota komunitas film dokumenter Mohammad Addiartha Putra Kusuma. Siswa Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius, Jakarta, itu selalu membawa handycam setiap jalan ke mana saja.
Suatu waktu, dia tersentil melihat temannya yang benci musik jazz gusar membaca iklan Java Jazz di koran. Jadilah film superpendek bertajuk Made with Jazz yang menjadi film terbaik dalam lomba film SMA di Festival Film Institut Kesenian Jakarta tahun lalu.

“Kebanyakan orang komunitas dokumenter adalah orang-orang yang gelisah dengan lingkungannya dan mencurahkan dalam bentuk audio visual,” ujar bapak dua anak tersebut.

Dia mengutip definisi film dokumenter dari ilmuwan Inggris, Frank Beaver, yang menulis Dictionary of Film Terms. “Sederhananya, sebuah film nonfiksi,” katanya.

Film dokumenter biasanya di-shoot di sebuah lokasi nyata, tidak menggunakan aktor, dan temanya terfokus pada subjek-subjek seperti sejarah ilmu pengetahuan, sosial, atau lingkungan. Tujuan dasarnya adalah memberikan pencerahan, informasi, pendidikan, melakukan persuasi, dan memberikan wawasan tentang dunia yang kita tinggali.
Sebelum terjun total dalam dunia film dokumenter, dia pernah menjadi jurnalis. Hampir delapan tahun di Tempo, Iwan lantas menggawangi program SIGI SCTV yang berfokus pada investigasi kasus-kasus yang tak terungkap ke publik.

Saat itu, alumnus TV journalist workshop Ohio State University 2008 tersebut benar-benar harus bertarung face to face dengan pihak-pihak yang merasa aibnya dia ungkap. “Di Tanah Bumbu, saya menginvestigasi aktivitas pertambangan ilegal yang dibekingi aparat, tepatnya anaknya aparat,” ungkapnya.

Ketika menginvestigasi, Iwan menyewa perahu untuk menelusuri sungai di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, itu. “Panjangnya sekitar 2,5 kilometer, ada 220 titik tambang batu bara,” katanya.
Setelah hasil investigasinya ditayangkan, berbagai ancaman mulai muncul. “Mulai santet sampai diajak ketemu di Jakarta,” ujarnya.

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya tersebut juga pernah hampir diculik saat menginvestigasi pembalakan liar di Sorong, Papua. “Di sana juga ada beking aparatnya,” katanya lantas meminta nama institusi itu tidak ditulis.
Iwan yang juga pernah mengikuti Investigative Journalism Training di Murdoch University, Perth, Australia, 2002 tersebut lantas menekuni film dokumenter secara serius sejak ikut workshop pada 2006.

Beberapa prestasi diraih. Di antaranya, Best Feature Documentary on Indonesia Documentary Film Festival 2009 dengan titel At Stake! Film itu juga pernah diputar di Berlin Film Festival 2008. Iwan juga menjadi line producer untuk film Heaven for Insanity yang diputar dalam Festival Film Rotterdam, Belanda, 2009.

Selain itu, dia memenangi Script Development Competition, Jakarta International Film Festival 2006. Lalu, ikut South East Asia Press Alliance (SEAPA) Fellowship di Laos dan Vietnam, 2006.

Bersama tiga temannya, Swastika, Kristianto Nugroho, dan Muhammad Ihsan, Iwan mendirikan Salam Dokma. Salam berasal dari singkatan Sabtu Malam. Sebab, anggota komunitas tersebut awalnya berkumpul setiap Sabtu malam Minggu. Dokma adalah singkatan dokumenter mania.

Kini, pertemuan diubah setiap Minggu, diisi dengan diskusi dan memutar film. Lokasinya di Newseum Caf ›kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat.

“Tujuan kami, ingin memberikan alternatif tontonan untuk masyarakat dengan film dokumenter. Yang datang beragam, mulai pelajar SMA sampai sutradara film yang sukses di festival internasional,” ungkapnya.
Di antara ratusan simpatisan yang datang, yang benar-benar hidup dari film dokumenter memang hanya belasan. “Kami ingin hidup dari film dokumenter. Sampai sekarang masih jarang orang yang mendedikasikan dan benar-benar hidup dari dokumenter,” tegasnya.

Menurut Iwan, menekuni film dokumenter seperti bertanam pohon jati. “Hasilnya tidak bisa dipetik tiap bulan, tapi mungkin lima atau enam tahun lagi,” tuturnya.
Film dokumenter akan semakin dicari saat langka. Misalnya, film tentang pembuat keris kawakan yang sangat terkenal. Saat ini film tersebut belum tentu dijual. “Tapi, kalau sang empu itu sudah wafat, filmnya jadi langka,” ujarnya.

Iwan sekarang mengembangkan sebuah perpustakaan audio visual di Yayasan Amerta di Bogor. Selain itu, dia sibuk membuat web. “Siapa pun yang ingin lihat dan up load film dokumenternya bisa gratis,” katanya.
Dia mengaku terinspirasi komunitas serupa di Austria. “Saya baru saja pulang dari sana. Di Austria, khusus untuk film dokumenter saja ada 250 production house,” ungkapnya.

Proyek lain yang sedang dipikirkan dalam-dalam adalah tawaran membuat film dokumenter semi-investigasi di sebuah kabupaten di Jawa Timur. Dia menyebut sebuah tempat. “Lokasinya jangan ditulis dulu. Ini rumit karena ada unsur koneksi antara korporasi dan pejabat setempat,” tegasnya. (kuh/c5/kum/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/