JAKARTA – Bergolaknya situasi di Libya membuat Kemenlu khawatir terhadap WNI di negeri itu. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (WNI dan BHI) Kemenlu Tatang A Razaq mencatat, dari laporan KBRI Tunis terdapat 19 TKI yang masih ada di Libya.
“Mereka adalah pekerja pembantu rumah tangga dan sudah dalam pantauan KBRI Tunis,” ucap Tatang. Upaya perlindungan terhadap 19 TKI itu dilakukan dengan terus menjalin komunikasi via telepon.
Selain itu, Tatang mengatakan jika KBRI Tunis sudah mengirim tim penjemput yang diberangkatkan dari Tunis menuju perbatasan Tunis-Libya di Ras Jedir. Sayang, sejak 22 Agustus lalu perbatasan ini ditutup pemerintah Libya. Sementara perwakilan RI membuka posko evakuasi di Kota Djerba, sekitar perbatasan Tunisia-Libya.
“Penjemputan dilakukan di perbatasan,” katanya. Penjemputan atau evakuasi ini dijadwalkan setelah hari raya Idul Fitri.
Tatang menerangkan, KBRI Tunis terus berkoordinasi dengan pemilik gedung KBRI Tripoli untuk menerima 19 TKI yang akan dievakuasi itu. Selanjutnya, pemilik gedung KBRI diharapkan bersedia mengirim 19 TKI ini ke perbatasan Tunis-Libya dengan kendaraan dan sopir sewaan.
Hasil rekapitulasi dari Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu, sejauh ini sudah ada 926 WNI yang sudah dievakuasi keluar dari Libya. Data tersebut sudah termasuk WNI yang dievakuasi sendiri oleh masing-masing perusahaan pengerah TKI. Dari jumlah itu, evakuasi yang dikoordinir oleh pemerintah Indonesia sebayak 646 orang WNI.
Sementara itu, pemerintah Indonesia merespons soal jatuhnya rezim Kadhafi ini. Menteri Luar Negeri Marty M. Natalegawa menyatakan, Libya masuk fase penting dan menentukan.
“Secara khusus, Pemerintah Indonesia telah dan ke depan akan senantiasa memajukan tiga prinsip utama (ke Libya, red),” tulis Marty kemarin (23/8).
Prinsip itu adalah, pertama pemerintah Indonesia berharap penduduk sipil di Libya diberikan perlindungan penuh dan tidak dibiarkan menjadi korban kekerasan oleh pihak manapun juga. Kedua, situasi di Libya akhirnya hanya dapat diselesaikan melalui proses politik.
Prinsip yang ketiga adalah, pemerintah Indonesia mengharapkan masyarakat internasional, dalam hal ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia berharap, PBB bisa berperan secara lebih aktif dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi perlindungan warga sipil di Libya.
Pemerintah Indonesia senantiasa menghargai dan mendukung pilihan yang diambil oleh Rakyat Libya. Karena rakyat Libya yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi masa depan bangsa dan negaranya. (wan/iro/jpnn)