Desa Temajuk, Wilayah di Perbatasan Kalbar yang Rawan Dicaplok Malaysia
Sempat santer diberitakan bahwa wilayah Indonesia di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, dicaplok Malaysia. Desa Temajuk memang desa “nun jauh di sana” yang terkesan diabaikan Pemerintah RI. Bagi warga di perbatasan itu, harga sembako dari Malaysia lebih murah.
DHIMAS GINANJAR, Sambas
Pagi itu matahari belum menampakkan dirinya di ufuk timur. Tapi, Derjan Bujang segera memulai pekerjaannya. Pria 32 tahun itu sudah memegang sebilah pisau yang ujungnya dibikin melengkung. Pisau itu diselipkan di pinggang. Sejurus kemudian, dia berjalan menuju ke perkebunan karet, tak jauh dari rumahnya.
Bujang adalah warga Dusun Marudin, Desa Temajuk Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar). Dusun Marudin bertetangga dengan Dusun Camar Bulan, wilayah yang sempat ramai diberitakan karena disebut-sebut telah dicaplok Malaysia. Bujang yang pernah menjadi kepala Dusun Marudin itu sehari-hari bekerja sebagai pencari getah karet.
Setiap pagi dia melukai pohon karet dan menampung getahnya di sebuah wadah khusus. “Besok pagi baru diambil hasilnya,” ujarnya.
Di Desa Temajuk memang banyak lahan karet. Menurut data desa, dua puluh persen lahan dari 26.800 hektare saat ini mulai ditumbuhi pohon karet. Sepertiganya lagi adalah lahan aktif yang digunakan warga sebagai hunian. Sisanya merupakan lahan tidur yang bercampur antara hutan dan perkebunan.
Menurut Bujang, saat ini banyak warga yang beralih pekerjaan menjadi penyadap getah karet. Itu biasa dilakukan selama September hingga Maret. “Pada bulan-bulan itu lautnya penuh ombak. Jadi, tidak mungkin mencari ikan. Sementara ambil getah dululah,” imbuhnya.
Setelah mengambil getah, Bujang menuju tempat pangkalan perahu warga Temajuk. Letaknya di perkampungan yang rumah-rumah penduduknya kebanyakan bangunan panggung di atas air laut. Pagi itu dia ingin menunjukkan kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) letak patok 01 yang ada di tepi laut. Itulah patok pertama perbatasan.
Sembari mengoperasikan perahu bermesin, Bujang yang merupakan generasi kedua penghuni Temajuk banyak bercerita. Salah satu yang dia ceritakan adalah sejarah mulai dihuninya wilayah yang tanahnya didominasi pasir pantai itu.
Dulu, menurut Bujang, wilayah Temajuk adalah lokasi persembunyian Pasukan Gerakan Rakyat Serawak atau Persatuan Rakyat Kalimantan Utara. Pasukan ini selanjutnya ditumpas militer Indonesia. Setelah itu pemerintah mulai menempatkan transmigran lokal ke Temajuk.
Warga atau transmigran yang bersedia pindah ke desa yang kini penghuninya mencapai 1.751 jiwa itu oleh pemerintah diberi paket istimewa. Setiap kepala keluarga menerima satu unit rumah dan lahan sekitar lima hektare. Warga yang sudah dididik untuk berkebun diberi bibit karet dan lada. Itulah mengapa Temajuk sempat terkenal sebagai penghasil lada.
“Sekitar awal 2000 ada hama dan sampai sekarang lada tidak bisa tumbuh dengan baik,” tuturnya. Akhirnya, saat ini warga lebih bergantung pada getah karet sebagai mata pencaharian saat ombak tinggi. Padahal, lada menjadi 70 persen penghasilan warga dan menyumbang pendapatan hingga Rp 6 juta per bulan.
Tidak hanya berfungsi untuk menjaga lahan, warga juga berperan dalam menjaga perbatasan.
Sampailah Jawa Pos di lokasi patok 01. Saat sampai di patok 01 yang berada di Tanjung Datu, dia menyebut patok itu buatan Malaysia. Adapun patok milik Indonesia, lanjut dia, sudah tenggelam karena abrasi. Sama dengan patok-patok yang melintas di Dusun Marudin dan Camar Bulan, patok itu hanya berbentuk kotak kecil. Bedanya, patok tersebut terletak di atas batu besar.
Dari lokasi patok 01, Jawa Pos lantas diajak ke Teluk Melano. Wilayah yang sudah masuk Malaysia. Dari Temajuk, hanya butuh 15 menit perjalanan dengan motor menuju ke Teluk Melano.
Di tengah perjalanan, Jawa Pos bertemu warga Temajuk yang motornya dipenuhi sembako. Dia mengatakan, membeli sembako dari Teluk Melano jauh lebih murah daripada membeli ke Kecamatan Paloh. Dia lantas mencontohkan harga telur. Jika membeli ke Teluk Melano, harga telur per karton (isi 30 butir) sekitar RM 9 (sekitar Rp25.400). Jika membeli telur di Kalimantan, harganya mencapai Rp30 ribu per karton. Dari Temajuk, lokasi terdekat untuk membeli telur adalah di Kecamatan Paloh. “Pulang pergi (Temajuk-Paloh) butuh enam jam. Sampai sini telur hancur semua,” jelasnya.
Memasuki wilayah Malaysia, ternyata jauh dari bayangan sebelumnya yang dijaga banyak tentara. Di Temajuk, perbatasan hanya dijaga portal selebar dua meter. Di gerbang terdapat tulisan: Selamat Jalan, Doa Kami Menyertai Anda. Sedangkan dari Malaysia tulisannya: Selamat Datang di Indonesia, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas.
Sekitar 20 meter dari lokasi itu terdapat rumah Muhid (50) dan istrinya, Hajim (49), transmigran asal Mojokerto, Jawa Timur. Dia menggarap perkebunan karet di tanah Malaysia karena merasa kurang beruntung di Jatim. Muhid mengatakan cukup senang berada di sana karena sembako gampang terpenuhi.
Tidak jauh dari rumah Muhid terdapat pos pengamanan tentara Malaysia. Namun, saat sepeda motor yang saya naiki melintas di depan pos itu, tidak ada seorang pun tentara yang menghadang. Mereka hanya melempar senyum sebagai tanda boleh menginjakkan kaki di Malaysia.
Menurut Achmad, kepala Kampung Teluk Melano, Malaysia, formalitas melintas antara warga di Temajuk dan Teluk Melano di perbatasan memang tidak perlu. Alasannya, mereka terlalu sering bolak-balik dan bisa repot kalau menggunakan dokumen. Apalagi, bagi warga yang pedagang. “Mereka bebas mengambil barang dari sini,” kata Achmad.
Achmad yang baru beberapa bulan menjadi kepala kampung lantas menjelaskan pola hubungan warga Temajuk-Teluk Melano. Dia menjelaskan, kedua desa itu saling membutuhkan. Perekonomian warganya tidak bisa berkembang kalau tidak ada warga Temajuk yang membeli barangnya.
Sebaliknya, warga Temajuk bisa kekurangan pangan dan sebagainya kalau tidak mengambil dari Melano. Di samping itu, sekitar 50 persen warga Temajuk dan Melano adalah saudara dekat. Hubungan itu terbina dari pernikahan di antara kedua desa beda negara itu. “Kapan hari ada pesta anak saya. Warga Temajuk pun kami undang,” ungkapnya.
Hubungan baik kedua kampung tersebut diuji saat masalah patok batas negara mencuat. Bahkan, muncul isu warga Temajuk tidak lagi boleh ke Melano karena dijaga ketat tentara Malaysia. Semua itu dibantahnya. “Kami baik-baik saja. Yang ribut kan orang atas (pemerintah, Red),” katanya.
Dia lantas menceritakan pesta anaknya yang mengundang ratusan warga Temajuk untuk menggambarkan kedekatan mereka. Selama perang tidak meletus, mereka jamin perbedaan warga negara tidak akan membuat mereka saling membenci.
Ada banyak alasan mengapa warga lebih suka mengambil barang dari Malaysia. Lagum (46) warga Camar Bulan, mengatakan, upaya pemerintah RI untuk membantu sembako warga juga tidak sepenuhnya. Sebab, mereka tetap harus merogoh kocek untuk menebus bantuan itu.
Misalnya, beras untuk setiap keluarga miskin yang mendapat jatah 15 kilogram dan menebus Rp1.500 per kilogram. Namun, dia mengaku bahwa uang untuk menebus beras itu kerap membubung hingga Rp8 ribu per tiga kilogram. “Jatuhnya mahal, lebih baik beli sendiri ke Malaysia,” tuturnya.
Bukan hanya itu. Jatah raskin juga tidak rutin tiap bulan menghampiri desa yang dihuni 486 KK (kepala keluarga) tersebut. Sekretaris Desa Temajuk Asman membenarkan bahwa banyak jatah raskin yang menumpuk. Menurut dia, wajar jika harganya melonjak. Sebab, untuk bisa ke Temajuk, dibutuhkan ongkos tambahan untuk pengiriman.
“Jatah di sini per keluarga tiga kilogram,” ucapnya. Namun, dia tidak bisa memaksa warga mengambil jatah tersebut. Toh selama ini warga juga tidak ada masalah dengan mendatangkan beras dari negeri seberang. “Meski kami bergantung ke Malaysia, kami masih cinta Indonesia,” tegasnya.(*)