25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

UU Peradilan Militer Harus Direvisi

JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat selama kepemimpinan Susilo Sambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004 hingga 2013, terjadi lebih dari 87 kasus tindak kekerasan yang melibatkan oknum militer. KontraS menilai berulangnya kekerasan itu karena tidak ada penghukuman yang jelas bagi para pelaku.

“Semua pelaku kejatahatan dan kekerasan itu proses hukumnya di pengadilan militer,” kata Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Senin (25/3).
Menurut Haris, salah satu upaya menghentikan kekerasan militer adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sebab, di UU ini mengatur proses hukum anggota TNI dilakukan di Peradilan Militer, bukan di pengadilan umum.

“Semua diproses di sana, dari adu ayam sampai maling. Padahal, pelanggaran hukum yang dilakukan oknum militer tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas kemiliteran yang bersangkutan,” ungkap Haris.

Haris pun kecewa lantaran revisi UU Peradilan Militer tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013. Padahal, revisi UU Peradilan Militer ini merupakan alat yang bisa menjerat tindak kesewenang-wenangan militer. “Revisi UU Peradilan Militer itu arus dijadikan agenda reformasinya” ujar Haris.(boy/jpnn)

JAKARTA – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat selama kepemimpinan Susilo Sambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004 hingga 2013, terjadi lebih dari 87 kasus tindak kekerasan yang melibatkan oknum militer. KontraS menilai berulangnya kekerasan itu karena tidak ada penghukuman yang jelas bagi para pelaku.

“Semua pelaku kejatahatan dan kekerasan itu proses hukumnya di pengadilan militer,” kata Koordinator KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Senin (25/3).
Menurut Haris, salah satu upaya menghentikan kekerasan militer adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sebab, di UU ini mengatur proses hukum anggota TNI dilakukan di Peradilan Militer, bukan di pengadilan umum.

“Semua diproses di sana, dari adu ayam sampai maling. Padahal, pelanggaran hukum yang dilakukan oknum militer tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan tugas kemiliteran yang bersangkutan,” ungkap Haris.

Haris pun kecewa lantaran revisi UU Peradilan Militer tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013. Padahal, revisi UU Peradilan Militer ini merupakan alat yang bisa menjerat tindak kesewenang-wenangan militer. “Revisi UU Peradilan Militer itu arus dijadikan agenda reformasinya” ujar Haris.(boy/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/