26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kasus Polisi Tembak Polisi, IPW: Tantangan Jaga Marwah Institusi

LABUHANBATU, SUMUTPOS.CO – Indonesia Police Watch (IPW) menilai, Tim Khusus Internal Polri untuk kasus polisi tembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo, merupakan tantangan menjaga marwah institusi, dan menyelamatkan Polri dari hujatan masyarakat.

“Karena itu, setiap anggota tim harus mempertanggungjawabkan sumpahnya selaku Bhayangkara negara, untuk benar-benar konsisten menegakkan hukum sesuai fakta sebenarnya,” ungkap Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, dalam siaran persnya, Rabu (27/7).

Pasalnya, kata Sugeng, kasus tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat yang ditembak oleh rekannya sesama ajudan, Bharada Richard Eliezer, menjadi perhatian masyarakat luas karena terjadi di rumah petinggi Polri. Munculnya banyak kejanggalan yang diungkap oleh pihak Polri, mulai dari ditutup rapatnya kasus selama 3 hari sejak Jumat (8/7) hingga Senin (11/7), sampai hilangnya HP Yosua, dan rusaknya CCTV di lokasi, menjadi pertanyaan para tokoh masyarakat di DPR, LSM, hingga Presiden Joko Widodo.

Bahkan Jokowi telah 3 kali mengingatkan kepada Kapolri, kasus itu jangan ditutup-tutupi, diproses hukum, dan terbuka. Terakhir, lanjut Sugeng, pesan Jokowi diucapkan di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (21/7).
“Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ditutup-tutupi, transparan,” kata Sugeng, menirukan perkataan Jokowi, sambil menasehati, kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga.

Menjaga marwah institusi Polri dan menjaga kepercayaan publik terhadap Polri, menurut IPW, harus dilakukan para senior-senior anggota Polri. Utamanya, yang masuk di jajaran Tim Khusus Internal yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, sebagai Penanggung Jawab Tim Khusus Internal. Komjen Gotot Eddy merupakan lulusan Akpol 1988.

Sementara, lanjutnya, Ketua Tim Khusus ditunjuk anggota yang lebih senior lagi, yakni Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto, yang merupakan lulusan Akpol 1987, yang sebentar lagi pensiun. Sedang anggota lainnya, yakni Kabareskrim Komjen Agus Andrianto (Akpol 1990), Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri (Akpol 1989 dan peraih Adhi Makayasa), serta Asisten SDM Polri Irjen Wahyu Widada (Akpol 1991 dan peraih Adhi Makayasa).

Karena itu, menurut Sugeng, dengan kekuatan Tim Khusus Internal kasus polisi tembak polisi yang diisi oleh para senior dan anggota Polri terbaik peraih Adhi Makayasa, seharusnya tidak ada keraguan untuk menyelamatkan institusi dari tangan-tangan kotor yang mencoreng Polri.

Sehingga siapa pun yang terlibat menyimpang dari penanganan kasus polisi tembak polisi tersebut, harus ditindak dan diperiksa tanpa keraguan. Kalau ada pelanggaran disiplin dan kode etik, maka harus diselesaikan melalui sidang disiplin dan sidang etik. Sedang kalau ada dugaan pidananya maka Tim Khusus Internal meneruskannya melalui Bareskrim Polri. Dengan begitu, maka kepercayaan publik akan terbangun kembali dari merosotnya citra Polri yang disebabkan oleh aksi polisi tembak polisi di rumah pejabat utama Polri itu.

Sebab, imbuh Sugeng, sejak awal kasus ini dikonstruksikan oleh Mabes Polri, dari aksi polisi tembak polisi itu, tidak ada yang dapat dihukum. Karena, pelaku yang menembak, yakni Bharada Richard Eliezer melakukan pembelaan diri, karena Putri, istri Kadiv Propam saat itu, Irjen Ferdy Sambo, diancam dan dilecehkan oleh Brigpol Yosua. Sehingga terjadinya tembak menembak yang menyebabkan kematian Yosua sebagai pembelaan diri.

Pembelaan diri ini secara gamblang dijelaskan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan, dan disampaikan lagi oleh Karopenmas Div Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, saat konferensi pers pertamanya, 11 Juli lalu. Hal tersebut diperjelas, karena adanya 2 laporan polisi tentang pencabulan serta pengancaman dan percobaan pembunuhan yang dijerat dengan pasal 335 KUHP, 289 KUHP.

Masyarakat dan juga IPW menilai, banyak kejanggalan dengan kasus polisi tembak polisi tersebut. Kejanggalan itu, yakni pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), pertama, tidak adanya police line di rumah Irjen Ferdy Sambo. Padahal fungsi police line ini, untuk melarang siapapun masuk ke TKP kecuali penyidik dan petugas polisi lain, yang ditunjuk agar keaslian TKP tetap terjaga guna kelancaran penyidikan selanjutnya.

Dipasangnya police line ini, telah diatur pada Surat Keputusan Kapolri No: Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000, tentang Bujuklap, Bujuknis, dan Bujuk Administrasi tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. Dijelaskan dalam skep tersebut, police line merupakan bagian alat yang harus ada.

Nyatanya, perlakuan memberikan police line itu sangat berbeda ketika Tim Khusus Internal dibentuk dan langsung melakukan olah TKP. Pelaksanaan yang dipimpin oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang masuk ke rumah Irjen Ferdy Sambo sebagai TKP pada Selasa (12/7) malam. Saat itu, anggota Polri melaksanakan police line lebih dulu. Demikian juga saat beberapa kali Tim Khusus melakukan pendalaman di TKP. Bahkan, hingga kini police line tetap terpasang di rumah Irjen Ferdy Sambo.

Kejanggalan kedua, tentang tidak adanya pemotretan dan sketsa. Pemotretan dilakukan agar dapat mengabadikan situasi atau keadaan TKP termasuk korban dan barang bukti lain pada saat diketemukan. Di samping bertujuan memberikan gambaran nyata situasi kondisi TKP, pemotretan sangat erat dengan identifikasi dan kedokteran forensik. Sementara dalam pembuatan sketsa, digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan TKP seteliti mungkin, guna kepentingan rekonstruksi di kemudian hari. Termasuk menampilkan barang-barang bukti yang ditemukan. Tanpa adanya Berita Acara Pemotretan dan Sketsa, maka rekontruksi yang akan dilakukan menjadi bias.

Baik pemotretan maupun sketsa ini, tidak ditampilkan oleh pihak Polri saat mengumumkan kejadian perkara atas tewasnya Brigpol Yosua, termasuk jenis senjata, nomor register senjata, dan kaliber peluru yang telah ditemukan. Sehingga, masyarakat menilai ada banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.

Kejanggalan ketiga, karena penanganan pertama kasus tersebut sudah terjadi kejanggalan-kejanggalan. Hingga jenazah tidak boleh dibuka, dan akhirnya ditemukan ada sayatan, maka keluarga dan kuasa hukumnya meminta dilakukan otopsi ulang. Kapolri pun menyepakati diadakannya otopsi ulang pada Rabu (27/7), hari ini, dengan melibatkan ahli-ahli yang netral dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI).

Dengan adanya otopsi ulang pada hari ini, dengan melibatkan Forensik Dokkes, ahli forensik independen dari PDFI, serta dokter forensik dari TNI yang dijamin kenetralannya oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, diharapkan kasus tersebut mendapatkan kebenaran materiil. Karena dilakukan melalui Scientific Crime Investigation, sehingga kasusnya terkuak dan menemukan tersangkanya.

Pada sisi lain, IPW menyoroti penanganan kasus pelecehan seksual dan pengancaman (289 KUHP dan 335 KUHP) oleh Polda Metro Jaya dapat menimbulkan potensi kesimpulan yang berbeda, bila tidak ditarik penanganannya oleh Bareskrim Polri yang juga sedang menangani kasus laporan pembunuhan berencana, pembunuhan, dan penganiayaan yang mengakibatlan matinya orang. Pasalnya kasus ini adalah peristiwa pidana yang sama, yakni memeriksa matinya Brigpol Yosua.

Dengan penanganan yang terbuka, akuntabel, transparan, serta tidak diarahkan melindungi dan menutup kesalahan pihak-pihak tertentu, akan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Polri. Tapi bila sebaliknya, maka dugaan publik yakni hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, seperti juga disinyalir Kapolri Jenderal Sigit Listryo Pravowo saat fit and proper test pada Januari 2021 lalu di depan DPR RI, benar adanya. (fdh/saz)

LABUHANBATU, SUMUTPOS.CO – Indonesia Police Watch (IPW) menilai, Tim Khusus Internal Polri untuk kasus polisi tembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo, merupakan tantangan menjaga marwah institusi, dan menyelamatkan Polri dari hujatan masyarakat.

“Karena itu, setiap anggota tim harus mempertanggungjawabkan sumpahnya selaku Bhayangkara negara, untuk benar-benar konsisten menegakkan hukum sesuai fakta sebenarnya,” ungkap Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, dalam siaran persnya, Rabu (27/7).

Pasalnya, kata Sugeng, kasus tewasnya Brigpol Nopryansah Yosua Hutabarat yang ditembak oleh rekannya sesama ajudan, Bharada Richard Eliezer, menjadi perhatian masyarakat luas karena terjadi di rumah petinggi Polri. Munculnya banyak kejanggalan yang diungkap oleh pihak Polri, mulai dari ditutup rapatnya kasus selama 3 hari sejak Jumat (8/7) hingga Senin (11/7), sampai hilangnya HP Yosua, dan rusaknya CCTV di lokasi, menjadi pertanyaan para tokoh masyarakat di DPR, LSM, hingga Presiden Joko Widodo.

Bahkan Jokowi telah 3 kali mengingatkan kepada Kapolri, kasus itu jangan ditutup-tutupi, diproses hukum, dan terbuka. Terakhir, lanjut Sugeng, pesan Jokowi diucapkan di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (21/7).
“Saya kan sudah sampaikan, usut tuntas, buka apa adanya, jangan ditutup-tutupi, transparan,” kata Sugeng, menirukan perkataan Jokowi, sambil menasehati, kepercayaan publik terhadap Polri harus dijaga.

Menjaga marwah institusi Polri dan menjaga kepercayaan publik terhadap Polri, menurut IPW, harus dilakukan para senior-senior anggota Polri. Utamanya, yang masuk di jajaran Tim Khusus Internal yang dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menunjuk Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, sebagai Penanggung Jawab Tim Khusus Internal. Komjen Gotot Eddy merupakan lulusan Akpol 1988.

Sementara, lanjutnya, Ketua Tim Khusus ditunjuk anggota yang lebih senior lagi, yakni Irwasum Komjen Agung Budi Maryoto, yang merupakan lulusan Akpol 1987, yang sebentar lagi pensiun. Sedang anggota lainnya, yakni Kabareskrim Komjen Agus Andrianto (Akpol 1990), Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri (Akpol 1989 dan peraih Adhi Makayasa), serta Asisten SDM Polri Irjen Wahyu Widada (Akpol 1991 dan peraih Adhi Makayasa).

Karena itu, menurut Sugeng, dengan kekuatan Tim Khusus Internal kasus polisi tembak polisi yang diisi oleh para senior dan anggota Polri terbaik peraih Adhi Makayasa, seharusnya tidak ada keraguan untuk menyelamatkan institusi dari tangan-tangan kotor yang mencoreng Polri.

Sehingga siapa pun yang terlibat menyimpang dari penanganan kasus polisi tembak polisi tersebut, harus ditindak dan diperiksa tanpa keraguan. Kalau ada pelanggaran disiplin dan kode etik, maka harus diselesaikan melalui sidang disiplin dan sidang etik. Sedang kalau ada dugaan pidananya maka Tim Khusus Internal meneruskannya melalui Bareskrim Polri. Dengan begitu, maka kepercayaan publik akan terbangun kembali dari merosotnya citra Polri yang disebabkan oleh aksi polisi tembak polisi di rumah pejabat utama Polri itu.

Sebab, imbuh Sugeng, sejak awal kasus ini dikonstruksikan oleh Mabes Polri, dari aksi polisi tembak polisi itu, tidak ada yang dapat dihukum. Karena, pelaku yang menembak, yakni Bharada Richard Eliezer melakukan pembelaan diri, karena Putri, istri Kadiv Propam saat itu, Irjen Ferdy Sambo, diancam dan dilecehkan oleh Brigpol Yosua. Sehingga terjadinya tembak menembak yang menyebabkan kematian Yosua sebagai pembelaan diri.

Pembelaan diri ini secara gamblang dijelaskan oleh Kapolres Metro Jakarta Selatan, dan disampaikan lagi oleh Karopenmas Div Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan, saat konferensi pers pertamanya, 11 Juli lalu. Hal tersebut diperjelas, karena adanya 2 laporan polisi tentang pencabulan serta pengancaman dan percobaan pembunuhan yang dijerat dengan pasal 335 KUHP, 289 KUHP.

Masyarakat dan juga IPW menilai, banyak kejanggalan dengan kasus polisi tembak polisi tersebut. Kejanggalan itu, yakni pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), pertama, tidak adanya police line di rumah Irjen Ferdy Sambo. Padahal fungsi police line ini, untuk melarang siapapun masuk ke TKP kecuali penyidik dan petugas polisi lain, yang ditunjuk agar keaslian TKP tetap terjaga guna kelancaran penyidikan selanjutnya.

Dipasangnya police line ini, telah diatur pada Surat Keputusan Kapolri No: Skep/1205/IX/2000 tanggal 11 September 2000, tentang Bujuklap, Bujuknis, dan Bujuk Administrasi tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana. Dijelaskan dalam skep tersebut, police line merupakan bagian alat yang harus ada.

Nyatanya, perlakuan memberikan police line itu sangat berbeda ketika Tim Khusus Internal dibentuk dan langsung melakukan olah TKP. Pelaksanaan yang dipimpin oleh Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang masuk ke rumah Irjen Ferdy Sambo sebagai TKP pada Selasa (12/7) malam. Saat itu, anggota Polri melaksanakan police line lebih dulu. Demikian juga saat beberapa kali Tim Khusus melakukan pendalaman di TKP. Bahkan, hingga kini police line tetap terpasang di rumah Irjen Ferdy Sambo.

Kejanggalan kedua, tentang tidak adanya pemotretan dan sketsa. Pemotretan dilakukan agar dapat mengabadikan situasi atau keadaan TKP termasuk korban dan barang bukti lain pada saat diketemukan. Di samping bertujuan memberikan gambaran nyata situasi kondisi TKP, pemotretan sangat erat dengan identifikasi dan kedokteran forensik. Sementara dalam pembuatan sketsa, digunakan untuk menggambarkan situasi atau keadaan TKP seteliti mungkin, guna kepentingan rekonstruksi di kemudian hari. Termasuk menampilkan barang-barang bukti yang ditemukan. Tanpa adanya Berita Acara Pemotretan dan Sketsa, maka rekontruksi yang akan dilakukan menjadi bias.

Baik pemotretan maupun sketsa ini, tidak ditampilkan oleh pihak Polri saat mengumumkan kejadian perkara atas tewasnya Brigpol Yosua, termasuk jenis senjata, nomor register senjata, dan kaliber peluru yang telah ditemukan. Sehingga, masyarakat menilai ada banyak kejanggalan dalam kasus tersebut.

Kejanggalan ketiga, karena penanganan pertama kasus tersebut sudah terjadi kejanggalan-kejanggalan. Hingga jenazah tidak boleh dibuka, dan akhirnya ditemukan ada sayatan, maka keluarga dan kuasa hukumnya meminta dilakukan otopsi ulang. Kapolri pun menyepakati diadakannya otopsi ulang pada Rabu (27/7), hari ini, dengan melibatkan ahli-ahli yang netral dari Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI).

Dengan adanya otopsi ulang pada hari ini, dengan melibatkan Forensik Dokkes, ahli forensik independen dari PDFI, serta dokter forensik dari TNI yang dijamin kenetralannya oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, diharapkan kasus tersebut mendapatkan kebenaran materiil. Karena dilakukan melalui Scientific Crime Investigation, sehingga kasusnya terkuak dan menemukan tersangkanya.

Pada sisi lain, IPW menyoroti penanganan kasus pelecehan seksual dan pengancaman (289 KUHP dan 335 KUHP) oleh Polda Metro Jaya dapat menimbulkan potensi kesimpulan yang berbeda, bila tidak ditarik penanganannya oleh Bareskrim Polri yang juga sedang menangani kasus laporan pembunuhan berencana, pembunuhan, dan penganiayaan yang mengakibatlan matinya orang. Pasalnya kasus ini adalah peristiwa pidana yang sama, yakni memeriksa matinya Brigpol Yosua.

Dengan penanganan yang terbuka, akuntabel, transparan, serta tidak diarahkan melindungi dan menutup kesalahan pihak-pihak tertentu, akan memenuhi rasa keadilan masyarakat dan akan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada Polri. Tapi bila sebaliknya, maka dugaan publik yakni hukum tajam ke bawah tumpul ke atas, seperti juga disinyalir Kapolri Jenderal Sigit Listryo Pravowo saat fit and proper test pada Januari 2021 lalu di depan DPR RI, benar adanya. (fdh/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/