26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

1.600 e-KTP WNA Tersebar di 4 Provinsi

RIDWAN/JAWAPOS.COM
KETERANGAN: Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh saat menggelar konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (27/2).

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil-Kemendagri) telah menerbitkan 1.600 e-KTP untuk warga negara asing (WNA). Semua itu tersebar di 4 provinsi.

Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh menyebutkan, penerbitan 1.600 e-KTP untuk WNA itu dilakukan sejak 2014.

“Ada 1.600 unit yang sudah dicetak, tapi mungkin saja orangnya sudah pulang (ke negara asal),” ungkap Zudan di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (27/2).

Zudan merinci, WNA yang mendapat e-KTP itu tersebar di 4 provinsi, yakni Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Masa berlaku e-KTP untuk WNA itu berbeda dengan WNI. Untuk WNI berlaku seumur hidup. Sedangkan bagi WNA hanya berlaku selama 5 tahun, atau sesuai izin tinggal tetap yang dikeluarkan oleh pihak Imigrasi. “Kalau sudah habis masa berlakunya tidak bisa dipakai,” tegasnya.

Untuk memperoleh e-KTP itu, lanjutnya, WNA harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya izin tetap tinggal yang dikeluarkan oleh Imigrasi. WNA harus mengurus ke Dukcapil. “Nanti mereka bisa memperoleh e-KTP dan NIK sesuai yang dikeluarkan oleh Dukcapil,” kata Zudan.

Lebih lanjut Zudan menyatakan, WNA tidak diharamkan memiliki e-KTP. Hal ini telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006, juncto UU Nomor 24 Tahun 2013, tentang Administrasi Kependudukan.

“Jadi, bukannya e-KTP itu diharamkan untuk WNA, justru diwajibkan bagi WNA yang sudah punya izin tinggal tetap (ITAP) dan berumur lebih dari 17 tahun,” jelasnya.

Zudan menuturkan, ditemukannya e-KTP WNA asal Tiongkok di Cianjur, Jawa Barat, menjadi gaduh karena menjelang Pemilu 2019. Padahal, aturan kepemilikan e-KTP untuk WNA sudah ada sejak lama.

“Jadi bukan baru sekarang-sekarang ini. Saya sih melihat ini menjadi gaduh karena sedang menghadapi Pileg dan Pilpres, itu saja,” ucapnya.

Dia juga menjelaskan, sangat mudah untuk melihat keaslian e-KTP tersebut, karena bisa dilacak dalam database kependudukan.

“Bisa dilacak dengan card reader atau alat pem baca. Letakkan KTP-nya di atas alat pelacak itu, dan dipindai sidik jarinya, nanti akan keluar data KTP-nya asli atau palsu,” tutur Zudan.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, angkat bicara mengenai hebohnya WNA asal Tiongkok memiliki e-KTP. Dia berpendapat, perlu ada perbedaan bentuk signifikan antara e-KTP untuk Warga Negara Indonesia (WNI) dan yang dikeluarkan untuk WNA.

“Ke depannya harus dibedakan KTP untuk WNI dan WNA, untuk mencegah. Disarankan ke (ditjen) adminduk supaya warnanya jangan sama untuk orang asing,” harapnya, Rabu (27/2).

Selain itu, kata dia, perbedaan ini juga dinilai penting untuk mencegah kesalahan urusan teknis administrasi di Indonesia. Yasonna khawatir jika petugas tak cermat, WNA pemilik e-KTP dapat memperoleh fasilitas yang bukan menjadi haknya.

“Karena khawatirnya nanti kalau tidak cermat bisa tiba-tiba dapat paspor. Tapi ini disinkronkan lagi dengan sistem di dukcapil. Jadi harus dijaga betul,” tukasnya.

Adapun, urusan e-KTP itu memang ada di wilayah Kemendagri, khususnya di Ditjen Dukcapil. Undang-Undang yang jadi dasar pemberian e-KTP untuk TKA adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, tentang Administrasi Kependudukan.

Yasonna mencontohkan pengalamannya saat tinggal di Amerika Serikat, beberapa tahun lalu. Saat itu, Yasonna mengaku memiliki kartu identitas semacam e-KTP yang serupa dengan milik warga negara AS. Namun, batasan antara kepemilikan e-KTP bagi dia dengan warga AS diatur dengan jelas.

“Kalau di negara asing seperti di AS, saya pernah di sana, ada KTP-nya. Bahkan ada social security, tapi tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sama hak-nya dengan warga negara, bahkan punya sosial security lagi,” jelasnya.

Kemudian, ketika disinggung terkait hebohnya kepemilikan e-KTP TKA Tiongkok di Cianjur, yang ternyata NIK-nya masuk ke DPT, Yasonna juga sudah mendengar. Dia menerima penjelasan, ada salah input data NIK dari KPU Cianjur. Salah input itu, diawali dari dokumen DP4 dari Kemendagri.

“Katanya, itu yang saya baca. Ada kesalahan input, sudah diklarifikasi, itu tidak boleh memilih. Hanya tanda penduduk. Dalam konstitusi kan juga disebut yang namanya penduduk itu bisa WNI dan WNA,” tuturnya.

Sebelumnya, beredar foto e-KTP milik warga negara Tiongkok. e-KTP yang dimiliki pria bernama Guohui Chen itu tertulis merupakan penduduk Cianjur, Jawa Barat, dan terdata dalam DPT Pemilu 2019.

Kemudian, KPU Kabupaten Cianjur mengakui adanya kesalahan saat input data NIK milik WNA asal Tiongkok, yang terdata di DPT. (jpc/saz)

RIDWAN/JAWAPOS.COM
KETERANGAN: Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh saat menggelar konferensi pers di Kantor Kemendagri, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Rabu (27/2).

Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil-Kemendagri) telah menerbitkan 1.600 e-KTP untuk warga negara asing (WNA). Semua itu tersebar di 4 provinsi.

Dirjen Dukcapil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh menyebutkan, penerbitan 1.600 e-KTP untuk WNA itu dilakukan sejak 2014.

“Ada 1.600 unit yang sudah dicetak, tapi mungkin saja orangnya sudah pulang (ke negara asal),” ungkap Zudan di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (27/2).

Zudan merinci, WNA yang mendapat e-KTP itu tersebar di 4 provinsi, yakni Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Masa berlaku e-KTP untuk WNA itu berbeda dengan WNI. Untuk WNI berlaku seumur hidup. Sedangkan bagi WNA hanya berlaku selama 5 tahun, atau sesuai izin tinggal tetap yang dikeluarkan oleh pihak Imigrasi. “Kalau sudah habis masa berlakunya tidak bisa dipakai,” tegasnya.

Untuk memperoleh e-KTP itu, lanjutnya, WNA harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya izin tetap tinggal yang dikeluarkan oleh Imigrasi. WNA harus mengurus ke Dukcapil. “Nanti mereka bisa memperoleh e-KTP dan NIK sesuai yang dikeluarkan oleh Dukcapil,” kata Zudan.

Lebih lanjut Zudan menyatakan, WNA tidak diharamkan memiliki e-KTP. Hal ini telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2006, juncto UU Nomor 24 Tahun 2013, tentang Administrasi Kependudukan.

“Jadi, bukannya e-KTP itu diharamkan untuk WNA, justru diwajibkan bagi WNA yang sudah punya izin tinggal tetap (ITAP) dan berumur lebih dari 17 tahun,” jelasnya.

Zudan menuturkan, ditemukannya e-KTP WNA asal Tiongkok di Cianjur, Jawa Barat, menjadi gaduh karena menjelang Pemilu 2019. Padahal, aturan kepemilikan e-KTP untuk WNA sudah ada sejak lama.

“Jadi bukan baru sekarang-sekarang ini. Saya sih melihat ini menjadi gaduh karena sedang menghadapi Pileg dan Pilpres, itu saja,” ucapnya.

Dia juga menjelaskan, sangat mudah untuk melihat keaslian e-KTP tersebut, karena bisa dilacak dalam database kependudukan.

“Bisa dilacak dengan card reader atau alat pem baca. Letakkan KTP-nya di atas alat pelacak itu, dan dipindai sidik jarinya, nanti akan keluar data KTP-nya asli atau palsu,” tutur Zudan.

Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, angkat bicara mengenai hebohnya WNA asal Tiongkok memiliki e-KTP. Dia berpendapat, perlu ada perbedaan bentuk signifikan antara e-KTP untuk Warga Negara Indonesia (WNI) dan yang dikeluarkan untuk WNA.

“Ke depannya harus dibedakan KTP untuk WNI dan WNA, untuk mencegah. Disarankan ke (ditjen) adminduk supaya warnanya jangan sama untuk orang asing,” harapnya, Rabu (27/2).

Selain itu, kata dia, perbedaan ini juga dinilai penting untuk mencegah kesalahan urusan teknis administrasi di Indonesia. Yasonna khawatir jika petugas tak cermat, WNA pemilik e-KTP dapat memperoleh fasilitas yang bukan menjadi haknya.

“Karena khawatirnya nanti kalau tidak cermat bisa tiba-tiba dapat paspor. Tapi ini disinkronkan lagi dengan sistem di dukcapil. Jadi harus dijaga betul,” tukasnya.

Adapun, urusan e-KTP itu memang ada di wilayah Kemendagri, khususnya di Ditjen Dukcapil. Undang-Undang yang jadi dasar pemberian e-KTP untuk TKA adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, tentang Administrasi Kependudukan.

Yasonna mencontohkan pengalamannya saat tinggal di Amerika Serikat, beberapa tahun lalu. Saat itu, Yasonna mengaku memiliki kartu identitas semacam e-KTP yang serupa dengan milik warga negara AS. Namun, batasan antara kepemilikan e-KTP bagi dia dengan warga AS diatur dengan jelas.

“Kalau di negara asing seperti di AS, saya pernah di sana, ada KTP-nya. Bahkan ada social security, tapi tidak boleh digunakan untuk tujuan yang sama hak-nya dengan warga negara, bahkan punya sosial security lagi,” jelasnya.

Kemudian, ketika disinggung terkait hebohnya kepemilikan e-KTP TKA Tiongkok di Cianjur, yang ternyata NIK-nya masuk ke DPT, Yasonna juga sudah mendengar. Dia menerima penjelasan, ada salah input data NIK dari KPU Cianjur. Salah input itu, diawali dari dokumen DP4 dari Kemendagri.

“Katanya, itu yang saya baca. Ada kesalahan input, sudah diklarifikasi, itu tidak boleh memilih. Hanya tanda penduduk. Dalam konstitusi kan juga disebut yang namanya penduduk itu bisa WNI dan WNA,” tuturnya.

Sebelumnya, beredar foto e-KTP milik warga negara Tiongkok. e-KTP yang dimiliki pria bernama Guohui Chen itu tertulis merupakan penduduk Cianjur, Jawa Barat, dan terdata dalam DPT Pemilu 2019.

Kemudian, KPU Kabupaten Cianjur mengakui adanya kesalahan saat input data NIK milik WNA asal Tiongkok, yang terdata di DPT. (jpc/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/