Anggap Grand Design Bukan Hal Mutlak
JAKARTA-Bola panas pemekaran sejumlah daerah di provinsi Sumatera Utara (Sumut), sepertinya masih berada di tangan legislatif dan eksekutif di Sumut. Alasan menyerahkan keputusan pemekaran kepada pemerintah pusat menjadi tidak relevan karena saat ini DPR RI sedang menunggu rekomendasi dari DPRD Sumut dan gubernur.
Komisi II DPR RI bahkan sudah menyetujui pemekaran Provinsi Tapanuli (Protap) dan Provinsi Sumatera Tenggara (Sumtra) serta empat kabupaten/kota di Sumut. Komisi II DPR beranggapan, desain besar (grand design) penataan daerah tahun 2010-2025 yang disusun kemendagri dan menetapkan Sumut hanya layak tambah satu provinsi lagi, bukanlah desain kaku. Terlebih, grand design tersebut belum pernah dibahas dengan Komisi II DPR guna mendapat persetujuan.
Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap mengakui, usulan pembentukan Protap dan Provinsi Sumtra, dan juga pemekaran Simalungun (Simalungun Hataran), Langkat (Kabupaten Aru dan Kabupaten Langkat Hulu), dan Karo (Kota Berastagi), sudah pernah dibahas dan tinggal melanjutkan. “Sudah tercatat dan tinggal perlu rekomendasi dari DPRD Sumut dan gubernur Sumut,” terang Chairuman Harahap kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (27/4).
Mantan Deputy Kantor Menkopolhukam Bidang Hukum itu memastikan, DPR akan punya sikap tersendiri, yang bisa saja berbeda dengan sikap pemerintah. “Ini semua (usulan pemekaran dari Sumut, Red), pasti kita bahas. Kita akan lihat persyaratan-persyaratannya,” ujarnya.
Bagaimana dengan grand design yang sudah dibuat kemendagri dan Sumut dinyatakan hanya layak tambah satu provinsi? Chairuman menjelaskan, penyusunan grand design itu dulunya atas permintaan Komisi II DPR. Hasilnya, meski oleh kemendagri sudah dirilis pekan lalu, hingga kini belum pernah bicarakan dengan Komisi II DPR yang membidangi masalah pemerintahan dalam negeri itu.
Kalau toh nanti DPR menyetujui, lanjutnya, grand design itu bukanlah acuan kaku dalam pembahasan aspirasi pemekaran. Bagi DPR, grand design tetap tidak bisa menghambat aspirasi rakyat yang menghendaki pemekaran.
“Grand design itu kan sifatnya hanya rancangan, bukan mutlak, tapi tergantung aspirasi masyarakat dan kebutuhan pertumbuhan wilayah. Jadi tidak kaku,” terang politisi dari Partai Golkar itu.
Begitu pun mengenai gagasan kemendagri mengenai perlunya waktu tiga tahun sebagai daerah persiapan sebelum menjadi daerah otonom, Komisi II DPR juga belum menyatakan sikap. Sebagai ketua Komisi II DPR, Chairuman berpendapat, konsep daerah persiapan itu tidak ada bedanya dengan model Kota Administratif sebagaimana pernah diterapkan di era Orde Baru.
Menurut Chairuman, model Kota Administratif dulunya malah menyulitkan pemerintahan. Dan sekarang, lanjutnya, eranya sudah beda, tidak lagi kekuasaan menguat di eksekutif (executive heavy). Sekarang, posisi DPR dan pemerintah sejajar. Karenanya, DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, kata Chairuman, harus memperjuangan aspirasi rakyat. “Dan supaya ada aspirasi politik yang ditampung oleh DPR,” terang Chairuman.
Sementara itu, anggota DPR RI asal Sumut Iskan Qolba Lubis melihat Provinsi Sumatera Tenggara (Sumtra) paling layak menjadi provinsi baru di Sumut. “Secara administratif tidak ada masalah karena sudah mendapat dukungan penuh dan solid dari 5 kabupaten/kota dan bahkan kabarnya sejumlah daerah tingkat 2 lainnya akan bergabung, seperti pecahan Labuhan Batu,” paparnya.
Kata dia, begitu juga dari aspek prospek pengembangan ekonomi dan pembangunan infrastruktur, posisinya yang cukup jauh dari Kota Medan dan berbatasan langsung dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. Itu artinya berpotensi besar menjadi pusat dan motor pengembangan ekonomi baru bagi wilayah di sekitarnya.
Demikian juga dari segi fisik, lanjutnya, lahan untuk calon ibukota provinsi juga tak bermasalah karena ada sejumlah wilayah yang cocok dijadikan pusat ibukota, bandar udara dan pelabuhan,” papar wakil rakyat asal Daerah Pemilihan 3 Sumut itu.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan menjelaskan, grand design akan memberikan prioritas pemekaran provinsi yang memiliki dua karakteristik. Pertama, provinsi yang punya wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Kedua, provinsi yang memiliki jumlah kabupaten/kota di atas 30. Dengan dua kriteria ini, Sumut paling memenuhi kriteria untuk mendapat prioritas pemekaran.
Dijelaskan Djohermansyah, provinsi yang memiliki jumlah kabupaten/kota lebih dari 30 biasanya memiliki problem rentang kendali pemerintahan. “Rentang kendalinya tergolong besar jika lebih dari 30 kabupaten/kota,” terang Djohermansyah akhir pekan lalu.
Dari 33 provinsi yang ada saat ini, Sumut merupakan satu-satunya provinsi di Pulau Sumatera yang jumlah kabupaten/kotanya lebih dari 30, yakni 33 kabupaten/kota. Untuk provinsi yang ada di pulau Jawa, yang jumlah kabupaten/kotanya di atas 30 hanya ada dua provinsi, yakni Jawa Tengah dengan 35 kabupaten/kota dan Jawa Timur dengan 38 kabupaten/kota. Sedang untuk Kalimantan, Sulawesi dan wilayah timur Indonesia, tak satu pun provinsi yang punya kabupaten/kota lebih dari 30.
Sedangkan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho berpandangan, Provinsi Sumatera Utara akan lebih baik jika tidak dimekarkan menjadi beberapa provinsi. “Kita menunggu evaluasi dari Pansus pemekaran. Mimpi saya, untuk provinsi tidak ada pemekaran,” ungkap Gatot, Jumat (22/4) malam.
Gatot beralasan, Sumut memiliki keberagaman agama, etnis dan sebagainya sebagai sebuah keunikan. “Kalau dimakerkan, maka keunikan itu akan terbagi,” kata Gatot memberi alasan.
Dijelaskannya, substansi pemekaran adalah pelayanan publik, pemerataan infrastruktur dan ekonomi. Namun, saat ini dalam koridor ekonomi baik pusat dan daerah telah berupaya untuk mengintegrasi hal tersebut. (sam/ila)