MEDAN, SUMUTPOS.CO – Larangan pungutan biaya pendidikan pada Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang disampaikan oleh Pelaksana tugas (Plt) Wali Kota Medan Ir H Akhyar Nasution MSi melalui Surat Edaran No.420/3481 tanggal 14 Mei 2020 tentang Keringanan Biaya Pendidikan di tengah Pandemi Covid-19 memang benar adanya. Dinas Pendidikan Sumatera Utara (Disdiksu) bahkan membenarkan hal tersebut regulasi yang berlaku.
Hal tersebut disampaikan Pelaksana tugas (Plt) Kepala Disdiksu, Arsyad Lubis, melalui Sekretaris Panitia pendaftaran peserta didik baru (PPDB) Disdiksu kepada Sumut Pos di Medan, Rabu (27/5).
Menurut Saut, Sekolah Tingkat SD dan SMP sesuai Wajib Belajar 9 Tahun sejak diberlakukannya pada 2 Mei 1994. Sehingga, hal ini sesuai dengan peraturan yang ada, bahwa SD dan SMP, khususnya sekolah negeri, biaya sekolahnya memang gratis. Jika ada pembiayaan pendidikan tambahan maka diambil dari dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Saat ini, di beberapa provinsi sudah menerapkan Wajib Belajar 12 Tahun. Tetapi masih beberapa privinsi saja, sementara di Sumut belum mampu menerapkannya.
Wajib Belajar 12 Tahun tersebut, dengan artian bahwa untuk tingkat SMA juga digratiskan. Namun, di Sumut masih menerapkan pendidikan universal, yakni masih merintis ke arah Wajib Belajar 12 Tahun. “Tetapi, untuk pungutan SPP (sumbangan pembinaan pendidikan, Red) ini harus didahului dengan rapat dewan guru bersama orangtua/wali siswa dan komite sekolah. Ini dijamin dalam peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Saut menjelaskan, Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008, pendanaan pendidikan ada 3 kategori, yakni dana personal atau biaya pribadi adalah menjadi tanggung jawab masing-masing, misalnya seragam sekolah, topi, sepatu dan sebagainya.
Kemudian dana Investasi, menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan daerah, contohnya rehab gedung sekolah, membangun gedung, laboratorium dan sebagainya. “Dana operasional ini digunakan untuk kegiatan belajar mengajar. Ini menjadi tanggung jawab, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat,” ungkapnya.
Selanjutnya, papar Saut, sesuai PP Nomor 48 Tahun 2008 Pasal 51, bahwa sumber dana pendidikan boleh dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (Pemda), dari pungutan, dan dari biaya lainnya yang tidak mengikat.
Kemudian, Pasal 48, bahwa pungutan digunakan untuk menutupi kekurangan biaya, namun tetap ada aturan mainnya, sesuai dengan Pasal 52. Dalam Pasal 48, yang berbunyi bahwa di dalam menjalankan pungutan harus melalui ketentuan, dituangkan dalam rencana strategis, seperti di Rencana Kerja Jangka Menengah (RJKM) yang berlaku selama 4 tahunan, Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang berlaku selama setahun, dan Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS), salah satu biaya operasional berasal dari Dana Bantuan Operasional (BOS) baik pusat maupun daerah. Namun di Sumut untuk dana BOS dari Pemda belum ada. Dan yang berikutnya, Pungutan berupa SPP.
Dari dasar hukum lainnya, kata Saut lagi, Permendikbud Nomor 32 Tahun 2018, Tentang Petunjuk Teknis dan Standar Pelayanan Minimal, yakni bagi Pemda yang belum mencanangkan Wajib Belajar 12 Tahun, pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab peserta didik dan orangtua.
“Dalam hal ini jika Pemda sudah menerapkan Wajib Belajar 12 Tahun, semua pembiayan bebas, dalam artian dibebankan ke APBD Pemda. Jika belum diterapkan, maka menjadi tanggung jawab peserta didik dan orangtua/ wali,” bebernya.
Dalam pelaksanaannya, terang Saut, sesuai PP Nomor 48 Tahun 2008 Pasal 52. Maksudnya, sekolah menghitung sendiri kebutuhannya, misalnya, dana bantuan operasional sekolah (BOS) Rp2 miliar, SPP sebesar Rp2 miliar dan dana Komite Rp500 juta. “Nah, ini harus jelas dan transparan di dalam rencana kegiatannya, dana tersebut dipergunakan untuk apa saja, lalu pada awal tahun harus dirapatkan bersama dewan guru, orangtua siswa dan komite sekolah,” imbuhnya.
Ia menyebutkan, jika kekurangan dana maka boleh diusulkan dengan dana tambahan SPP sesuai di dalam UU. “Tetapi, ada ketentuannya, seperti siswa tidak mampu dibebaskan atau gratis, atau subsidi silang, tidak membayar uang Uang SPP mininal 2 persen untuk peningkatan mutu pendidikan. Hal ini dikerjakan oleh pihak sekolah yang pegawai negeri,” pungkasnya.
Disinggung terkait komite sekolah, Saut mengungkapkan, bahwa hal itu sesuai Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016. Komite Sekolah merupakan orang tua siswa, pemerhati pendidikan dan tokoh masyarakat, dengan jumlah kepengurusan 15 orang. Sedangkan SK nya ditetapkan oleh Kepala sekolah.
“Dalam pendanaan SPP dan komite ini merupakan dua organisasi berbeda, yakni untuk SPP dikelola pegawai negeri di sekolah, sedangkan dana komite dikelola swasta. Komite ini merupakan mitra sekolah. Dananya diatur sendiri serta tidak boleh mengutip dari siswa. Dana tersebut harus dikutip dari mitra para komite tersebut, dibukukan secara terpisah dengan dana pendidikan dari Pemerintah, serta dalam jangka waktu 6 bulan sekali wajib membuat laporan,” pungkasnya. (mag-1/azw)