JAKARTA-Diam-diam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menemukan indikasi keterlibatan Anas Urbaningrum di luar kasus korupsi Hambalangn
Proyek gedung baru DPR yang akhirnya distop karena mengundang reaksi penolakan sejumlah elemen masyarakat beberapa waktu lalu, ternyata sedang didalami pula.
Hal tersebut terungkap pasca Wakil Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Marzuki Alie, kemarin, menceritakan ihwal permintaan keterangan dirinya oleh KPK yang dilakukan pada 22 Oktober lalu. Saat itu, dia dipanggil sebagai saksi terkait penyidikan kasus dugaan gratifikasi proyek Hambalang dengan tersangka mantan Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum.
“Justru yang ditanyakan pertama kali kepada saya waktu itu adalah soal proyek gedung baru DPR, makanya saya sempat bingung,” beber Marzuki Alie di Jakarta kemarin (27/10). Menurut politisi PD yang juga ketua DPR itu, berdasar surat KPK yang dikirim kepadanya, dirinya dipanggil untuk dimintai keterangan terkait tersangka Anas Urbaningrum dalam proyek Hambalang.
“Belakangan, saya dikasih tahu dari penyidik kenapa saya dipanggil dalam konteks AU (Anas Urbaningrum, Red), karena diindikasikan AU terlibat juga dalam proyek gedung baru DPR itu,” ungkap Marzuki. Setelah mendapat informasi tersebut, Marzuki menambahkan, kalau dirinya kemudian teringat pernah didatangi Mahfud Suroso yang mengaku kepada dirinya merupakan orang dekat Anas Urbaningrum.
Kepada Marzuki, sosok yang kerap disebut-sebut Nazaruddin sebagai orang yang berperan besar mengurus sertifikat tanah Hambalang, itu mengaku kalau yang bersangkutan telah kenal lebih lama dan lebih dekat dengan Anas ketimbang Nazaruddin. “Waktu itu dia datang hanya mengenalkan diri, belum bicara soal proyek, dan itu saya jelaskan juga ke penyidik (KPK),” bebernya.
Karena diminta menjelaskan soal proyek gedung baru DPR, Marzuki akhirnya menceritakan panjang lebar soal rencana pembangunan yang menuai polemik tersebut dari awal sampai akhir kepada KPK. “Awalnya, ada fraksi yang melaporkan ada pembagian uang terkait gedung baru, tapi ternyata (pembagiannya) tidak merata,” kisahnya mengulang keterangannya waktu itu.
Kepada penyidik KPK, dia menceritakan kalau dirinya marah waktu itu. Pasalnya, dia dianggap sebagai pihak yang mengatur pembagian uang terkait rencana proyek gedung baru DPR tersebut.
Marzuki kemudian menelpon Mustafa Abubakar, menteri BUMN saat itu. Intinya, dia melaporkan kalau beberapa BUMN yang terlibat dalam rencana pembangunan gedung baru DPR sudah tidak benar. Karena, telah nekat bagi-bagi duit dengan jumlah yang tidak kecil. “Anak buah Bapak rusak, belum apa-apa sudah main bagi-bagi uang dan jumlahnya banyak,” kata Marzuki masih mengulang keterangannya pada KPK.
Pascamelapor tersebut, menurut Marzuki, Mustafa Abubakar sempat mengirim salah satu deputinya untuk menemui dirinya. Namun, saat itu, Marzuki enggan menemui karena khawatir muncul anggapan yang tidak-tidak.
“Saya jelaskan juga ke penyidik (KPK), bahwa saya akhirnya mengevaluasi proyek gedung baru DPR, karena waktu itu beritanya santer dan seolah-olah mengarah ke saya sebagai ketua BURT (badan urusan rumah tangga, Red) DPR,” paparnya kembali.
Padahal, lanjut dia, jika proyek dengan anggaran awal sebesar Rp1,8 triliun tersebut tetap nekat dilaksanakan sebenarnya tidak masalah pula. Hal itu mengingat, proyek tersebut sudah disetujui oleh DPR periode sebelumnya. Selain itu, sudah ada pula anggaran yang digunakan untuk perencanaan sebelum periode kepemimpinan Marzuki. Master plan dan desain rencana pembangunan juga sudah ada. “Tinggal tender, (misalnya) saya nggak usah nolak, saya diem saja, langsung ditender kok itu sama sekjen,” ucapnya masih seperti yang disampaikannya kepada KPK.
Evaluasi yang dilakukan Marzuki saat itu terutama menyangkut harga proyek. Kepada biro harbangin (pemeliharaan pembangunan dan instalasi) Setjen DPR waktu itu, Mardiyan Umar, Marzuki sempat menanyakan proses penyusunan harga hingga bisa mencapai Rp1,8 triliun. “Tapi, dia nggak bisa menjelaskan, akhirnya saya minta harga diturunkan, dia hanya sanggup menurunkan nilain sampai Rp1,5 triliun saja,” terangnya.
Tidak puas dengan penurunan harga tersebut, kepada KPK, Marzuki kemudian menceritakan kalau akhirnya berkomunikasi dengan Mentri PU Joko Kirmanto. Dia meminta dikirim orang PU yang kompeten dan idealis untuk mengevaluasi dan menghitung ulang nilai proyek. Dari Rp 1,8 triliun harganya lalu bisa diturunkan hingga menjadi Rp 1 triliun.
Hasil hitung ulang tersebut kemudian dibawa ke rapat BURT dan Badan Anggaran. Menurut Marzuki, banyak yang marah dengan efisiensi anggaran tersebut. Sebagian besar alasannya karena besaran anggarannya sudah dibahas dan disetujui. “Tapi, saya bilang kalau mau memaksa yah silahkan saja jalan, saya tidak akan tanda tangan,” ungkapnya seperti yang disampaikan pula ke KPK.
Proyek gedung baru itu akhirnya di-stop. Hingga saat ini, proyek tersebut masih belum ada kejelasan akan tetap dilanjutkan lagi atau tidak.
“Saya datang ke KPK dengan pikiran positif, karena bukan diperiksa tapi dimintai keterangan terkait tersangka AU dalam proyek Hambalang dan lain-lain.
Nah, yang lain-lain itulah yang kemudian diungkap penyidik bahwa mereka sedang menyelidiki dugaan keterkaitan AU dengan proyek Gedung Baru DPR,” terang Marzuki kembali.
Terpisah, Jubir KPK Johan Budi S.P mengaku tidak tahu soal materi yang ditanyakan pada Marzuki Alie. Termasuk kebenaran pengakuan Marzuki soal peran Anas. Sepengetahuannya, Ketua DPR itu memang diperiksa terkait dengan Anas Urbaningrum. “Saya belum tahu apa materi pemeriksaannya,” katanya.
Meski demikian, dia memastikan KPK masih terus mendalami kasus yang menyeret Anas. Lembaga pimpinan Abraham Samad itu tidak berhenti pada penetapan Anas sebagai tersangka. Berbagai informasi bisa saja muncul dan akan dicek kebenarannya oleh tim KPK.
Sementara, dua kuasa hukum Anas, Firman Wijaya dan Adnan Buyung Nasution belum bisa mengomentari pengakuan Marzuki Alie. Telepon yang ditujukan pada mereka berdua tidak direspon. Begitu juga dengan SMS yang menjelaskan pernyataan Marzuki tentang klien mereka berdua. (dyn/dim/jpnn)