Site icon SumutPos

KPU: Itu Wewenang Pemerintah

Irjen Pol Drs Martuani Sormin, MSi bersama istri.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Usulan Mendagri Tjahjo Kumolo soal Perwira Tinggi (Pati) Polri menjadi penjabat (Pj) gubernur terus menuai polemik. Menyikapi ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) enggan berkomentar banyak. Namun, Komisioner KPU Hasyim Asy’ari menilai, kebijakan tersebut adalah kewenangan pemerintah.

“Yang punya kewenangan mengatakan itu adalah pemerintah,” kata Hasyim usai melakukan verifikasi terhadap Partai NasDem di Kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Minggu (28/1).

Hasyim mengatakan, pemerintah punya kewenangan untuk mengangkat Pj dari unsur kepolisian. Karena, menurutnya, Polri itu aparat pemerintah yang statusnya bagian dari pemerintah. “PNS, TNI, Polri itu aparat pemerintah, statusnya itu pemerintah. Saya kira pemerintah itu yang tahu,” ujarnya.

Dua perwira yang diusulkan menjadi Pj gubernur adalah Irjen Martuani Sormin yang diusulkan mengisi kekosongan kursi Gubernur Sumut setelah habisnya masa jabatan Tengku Erry Nuradi, dan Irjen M Iriawan jadi Pj Gubernur Jawa Barat yang akan ditinggalkan Ahmad Heryawan (Aher).

Masa jabatan Tengku Erry dan Aher masing-masing akan berakhir pada Februari dan Juni 2018. Jabatan Iriawan dan Martuani, menurut Mendagri Tjahjo Kumolo sudah sejajar dengan pejabat eselon I. Eselon I sudah memenuhi syarat untuk memimpin daerah. Akan tetapi, penunjukan dua jenderal polisi untuk memimpin daerah ini menjadi kontroversi. Beberapa pihak mengkhawatirkan keduanya akan bersikap tidak netral.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Mendagri Tjahjo Kumolo bisa melanggar konstitusi dan terutama UU Pilkada bila tetap menempatkan dua perwira tinggi Polri sebagai pejabat sementara (Pjs) gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara. “Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Penjabat Gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan,” kata Pangi Syarwi Chaniago, Minggu (28/1).

Menurut Pangi, Mendagri patut diduga melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri. “Pertanyaannya apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karir dan profesional di Kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos pejabat gubernur,” kata Pangi.

Dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pasal 4, Ayat 2, menyebutkan, pejabat gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya kementerian dalam negeri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau pejabat gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.

Alasan Mendagri Tjahjo Kumolo menempatkan pati Polri sebagai Pjs gubernur di Jabar dan Sumut, pertama karena Pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis.

Kedua, Jabar dan Sumut merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa dan di Pulau Sumatera yang rawan konflik (chaos). Sebab itulah alasan menempatkan pati Polri sebagai Penjabat Gubernur dianggap pilihan terbaik. “Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan regulasi yang dilanggar sesuka hati,” jelasnya.

Untuk alasan pertama, ia menilai juga keliru dan tidak common sense. “Bagaimana mungkin persediaan pemimpin tinggi madya habis, artinya tidak mencukupi untuk 17 provinsi,” kata Pangi, menyangsikan.

Sementara ada sekda atau pejabat di daerah provinsi. “Sekali lagi, apakah betul tidak mencukupi? Mengapa harus pati Polri menjadi pejabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara?” tanyanya.
Pangi menambahkan, patut diwaspadai TNI dan Polri diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis. Sebab sudah ada sinyal dan koding dugaan ke arah sana. Ada resiko yang tak main-main yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play). “Jangan sampai demokrasi dan Pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam kontestasi elektoral Pilkada Serentak 2018,” ujarnya.

Konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI, memastikan netralitas Polri yang bertanggung jawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, menurut dia, jangan digoda-goda terjun ke politik praktis. “Para kontestan baik calon bupati, wali kota dan gubernur jangan salahkan mereka nanti menolak hasil proses Pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil (jurdil). Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legowo, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018,” jelasnya.

Ia menilai wajar masyarakat menaruh curiga dengan usulan Pjs Gubernur dari polisi aktif karena PDIP, partai bernaungnya Menteri Tjahjo, saat ini mengusung calon kepala daerah di Jabar dengan latar belakang TNI dan Polri. “Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah kontestasi elektoral Pilkada dan melanggar regulasi serta fatsun politik,” tegas Pangi.

Sementara, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menilai, Mendagri telah merusak tatanan demokrasi yang sudah ada. Menurut Dahnil, reformasi berusaha mengubur Dwi Fungsi TNI, namun rencana Tjahjo tersebut seolah menyediakan arena untuk menghadirkan laku ‘Multifungsi Polri” dan menyeret makin dalam kepolisian dalam pusaran political game.

Meski rencana Plt Gubernur dari polisi tidak melanggar UU, jelas Dahnil, banyak etika politik dan kenegaraan yang ditabrak oleh Tjahjo. Jadi, menurut dia, penting Presiden Joko Widodo mempertimbangkan dengan matang untuk membatalkan usulan Mendagrinya tersebut. “Bila meminjam penalaran Pak Tjahyo Kumolo yang menyatakan penunjukkan perwira kepolisian karena ada kerawanan keamanan di daerah-daerah tersebut, bila rencana itu tetap dilaksanakan dan Pak Jokowi mengabaikan kritik publik, agaknya perlu Pak Presiden Joko Widodo pun mempertimbangkan untuk mengganti Mendagri Tjahyo Kumolo dengan jenderal polisi aktif,” jelasnya.

Sebab, lanjut Dahnil. jelang Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 potensi kerawanan keamanan pasti terjadi. Bila perlu, Kemendagri digabungkan saja dengan Polri. “Jadi Kemendagri berada di bawah Polri, ini kebijakan yang paling tepat lho bila meminjam penalaran Pak Tjahyo Kumolo tersebut,” tukas pendiri Mahadrasah Antikorupsi ini.

 PAN Surati Mendagri

Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais menilai pengusulan dua Jenderal Polri untuk menjadi Pj Gubernur Jabar dan Sumut sarat muatan politis. Menurut Hanafi penunjukkan Pj kepala daerah selama ini selalu dari kalangan sipil. “Kalau seperti ini menjadi kelihatan tidak profesional dan malah terindikasi kuat ini politis,” kata Hanafi.

Menurutnya, usulan untuk menjadikan dua jenderal polisi sebagai Pj Gubernur menyalahi aturan. Tak hanya itu, usulan tersebut juga menyalahi kelaziman yang ada di Indonesia. Sebab, selama ini Pj Gubernur selalu diisi kalangan sipil. “Kalau itu (Pj Gubernur) diberikan kepada polisi masih aktif seharusnya disipilkan terlebih dahulu menjadi sipil negara. Jika sudah menjadi sipil dan bagian dari Kemendagri baru bisa dipasrahi,” paparnya.

Menurutnya, usulan dari Mendagri Tjahjo Kumolo tersebut dikhawatirkan justru membuat kondisi jelang pilkada serentak tahun ini tidak fair. Oleh sebab itu, kata Hanafi, pihaknya telah mengirimkan surat keberatan ke Kemendagri. “Sudah kita (kirim suratnya), kami minta Mendagri mencabut itu. Kita tunggu sikap menteri kayak apa. (Kami berharap) presiden memberikan arahan yang benar terkait keputusan pembantu presiden ini,” tutup Hanafi.(hta/rmol/jpg/adz)

 

Exit mobile version