Nasib Tragis Keluarga Mantan Pesepak Bola Abdul Kadir
Menjadi keluarga mantan atlet nasional tak selamanya menjanjikan. Keluarga mantan pesepak bola nasional Abdul Kadir adalah salah satu yang mengalami nasib miris dengan kondisi serba kekurangan.
MUHAMMAD AMJAD, Jakarta
Rumah di Jalan Pandu Dewanata Blok I/11, Bekasi Selatan, Jawa Barat, itu tampak biasa saja saat dilihat dari luar. Namun, kondisi berbeda terlihat saat Jawa Pos (grup Sumut Pos) dipersilakan masuk. Sungguh menyedihkan.
Dinding rumah yang tak begitu besar itu mengelupas di setiap sisi. Atapnya berlubang di sana sini, sedangkan kayu penyangganya sudah rapuh. Tak ayal, genting-gentingnya berjatuhan dan pecahannya berserakan di lantai rumah yang ditinggali keluarga almarhum Abdul Kadir sejak 1989 tersebut.
Kondisi itu sangat kontras dengan foto-foto di dinding rumah yang menggambarkan kehebatan Abdul Kadir sebagai pesepak bola nasional. Kejayaan pemain berjuluk si Kancil (karena postur tubuhnya yang mungil dan lincah) itu seolah tinggal kenangan yang hanya bisa dibanggakan keluarganya. Sayang, kebanggaan tersebut belum mampu membuat keluarga yang ditinggalkan Abdul Kadir pada 2003 bisa melepaskan diri dari jerat kesulitan hidup.
Beratnya hidup setelah sang ayah meninggal diceritakan M Ali Rizky, anak bungsu Abdul Kadir, saat ditemui di rumahnya kemarin (28/5). Karena kondisi ekonomi yang sulit itu pula, rumah peninggalan pemain Persebaya era 1960-an tersebut disewakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
“Kami sekeluarga memilih tinggal di rumah nenek. Rumah dikontrakkan untuk memenuhi kebutuhan kami saat itu,” katanya.
Kiki – panggilan akrab M Ali Rizky – mengakui bahwa rumahnya memang sudah tidak layak huni. Namun, keluarganya tak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya biaya untuk memperbaikinya. Mereka pun harus rela tidur dan beraktivitas dengan kondisi rumah rusak parah.
“Saat ini kami tidak mungkin bisa merenovasi rumah ini. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja kami harus berjuang keras,” ucap bungsu di antara empat bersaudara tersebut.
Sampai saat ini keluarga Abdul Kadir masih mengandalkan belas kasihan dari tetangga sekitar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kami sering menerima sembako yang diberikan tetangga. Itu sangat membantu kami untuk makan,” ujar lelaki 23 tahun tersebut.
Hidup dengan kondisi ekonomi yang kekurangan itu bahkan harus membuat Kiki kehilangan kakak pertamanya, Aryo Jasa Pradila, yang meninggal setelah sakit tifus. Keluarga tak punya biaya untuk membawa Aryo ke rumah sakit. Mereka pun merelakan si sulung yang sebenarnya diharapkan menjadi tulang punggung keluarga tergolek lemas di rumah sampai ajal menjemput.
Untuk menyambung hidup, anak-anak Abdul Kadir sebenarnya sudah berupaya mencari pekerjaan. Sayang, minimnya kemampuan dan pendidikan yang dimiliki membuat mereka sulit mendapat pekerjaan yang layak.
“Kami tidak berpangku tangan. Kami juga mencari kerja meski serabutan. Kami harus menerima kenyataan karena ijazah kami tidak tinggi. Saya hanya lulusan SD,” tutur lelaki yang gemar bermusik tersebut.
Menurut Kiki, rumah peninggalan ayahandanya itu makin tak terawat pasca dikontrakkan. Penghuni yang menyewa rumah mereka tak bertanggung jawab dan tak mau merawat. Bahkan, tunggakan pembayaran listrik dan air yang berbulan-bulan harus mereka selesaikan karena si penyewa tiba-tiba meninggalkan rumah tanpa pemberitahuan.
Kondisinya semakin parah setelah diterjang banjir besar yang melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya pada 2007. Akibatnya, bangunan yang sudah tak terawat itu makin hancur dan berantakan. Dengan kondisi rumah yang tak mendukung, instalasi atau fasilitas rumah pun mulai terganggu. Listrik yang sebelumnya bisa dipakai untuk mendukung aktivitas akhirnya dicabut karena keluarga tak mampu lagi membayar.
“Kami tidak punya biaya untuk bayar listrik. Akhirnya kami minta dicabut saja meteran listriknya,” tutur kiki.
Lantas, dari mana mereka memenuhi kebutuhan listrik untuk kebutuhan hidup sehari-hari? “Kami mengambil dari tiang listrik langsung. Kami pernah dimarahi PLN, tapi karena melihat kondisi kami dan saya jelaskan bagaimana keadaan rumah kami, PLN akhirnya memaklumi dan membiarkan,” terangnya.
Keluarga si Kancil pernah berencana menjual rumah tersebut dan berpindah ke rumah lain yang lokasinya lebih kecil. Namun, karena kondisi rumah sudah parah, penawar tertinggi hanya mematok harga Rp200 juta.
“Mungkin itu tanda rumah ini tidak boleh dijual. Penawar tak mau menghargai rumahnya, mereka hanya menghargai tanahnya. Karena melihat nilai sejarah rumah ini, kami pun memilih bertahan,” sambung Kiki.
Dengan kondisi serba kekurangan, mereka berusaha tetap bertahan di rumah yang sebagian atapnya benar-benar beratap langit itu sampai musibah menimpa Lisa Agustina. Pertengahan Mei lalu istri Abdul Kadir tersebut tertimpa pecahan genting saat sedang tidur sehingga terluka. Sejak itulah keluarga memutuskan segera merenovasi rumah.
“Kami mendapatkan sumbangan dari Komunitas Pemuda Bumi Satria Kencana (KPBSK). Dengan dana itu, kami segera merenovasi seperti saran mereka,” paparnya.
Sumbangan tersebut digalang KPBSK yang secara khusus membuat gerakan untuk keluarga Abdul Kadir. Dengan gerakan bernama #Untuk AbdulKadir di jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, KBPSK sukses mengumpulkan dana untuk keluarga Abdul Kadir.
“Kami berterima kasih kepada warga dan pemuda sekitar rumah kami yang peduli dengan melakukan gerakan untuk keluarga Pak Abdul Kadir. Kami juga banyak dibantu para donatur yang menyumbang setelah mengetahui kondisi keluarga kami saat ini,” tutur Kiki.
Menurut anggota KPBSK Muhammad Ade, sejauh ini sumbangan yang terkumpul sekitar Rp45 juta. Jumlah tersebut bakal bertambah karena Bambang Pamungkas dkk melakukan aksi yang sama untuk membantu keluarga seniornya itu. (*)