JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Penyebab hilangnya pesawat Air Asia QZ 8501 masih misterius. Berbagai spekulasi muncul. Namun, keputusan tetap berangkatnya pesawat meski ada fakta bahwa awan Comulunimbus (CB) membentang panjang menghalangi lintasan terbang, menjadi pertanyaan.
Pengamat penerbangan Capt Sumarwoto mengungkapkan kalau awan CB ketika kecelakaan terjadi sudah terbentuk seperti pagar. Berdasar foto satelit dari BMKG, panjangnya sekitar 100 mil (160,9 kilometer). Awan tersebut membentang mulai dari di atas sekitar Bangka Belitung hingga di atas Kalimantan Selatan.
“Ini (awan) jangan ditembus. Saya juga tidak tahu kenapa keputusannya tetap terbang dan juga tetap lewat jalur tersebut,” kata Sumarwoto saat dihubungi kemarin (28/12).
Mantan tes pilot PT Dirgantara Indonesia itu melanjutkan kalau awan CB itu sangat berbahaya bagi sebuah penerbangan. Sebab, kata dia, di awan tersebut mengandung listrik dan es. “Nggak boleh sampai menabrak,” tandasnya.
Dia melanjutkan bahwa dengan bentangan awan CB yang begitu panjang tersebut, menurut dia, pilihannya seharusnya hanya tinggal dua. Yaitu, menunda penerbangan atau memindah jalur.
Sebagaimana diketahui, jalur penerbangan itu seperti jalan. Untuk menuju tujuan tertentu tidak boleh seorang pilot seenaknya menggunakan jalur lainnya. Termasuk, soal ketinggian yang juga telah diatur sesuai jalur masing-masing.
Berdasar keterangan yang dihimpun, ketika menghadapi di depannya adalah awan CB, pilot pesawat QZ 8501 sempat meminta izin ke menara pantau untuk belok kiri dan menaikkan ketinggian. Permohonan belok kiri sudah mendapat lampu hijau. Sedangkan, izin untuk naik belum sempat turun, namun pesawat sudah lebih dulu lost contact.
“Kemungkinan pertama, pesawat sudah mengalami icing,” kata Sumarwoto menjelaskan sejumlah kemungkinan penyebab kecelakaan. Kondisi itu adalah ketika udara yang disedot mesin pesawat membeku menjadi es. Selain suhu dingin, awan udara di awan CB juga banyak mengandung air.
“Mesin kemudian blame out, bahkan kompresor bisa rompal,” lanjut satu dari dua tes pilot N-250 saat pertama terbang tersebut.
Kemungkinan yang lain, ungkap dia, adalah situasi unusual attitude. Yaitu, ketika sistem auto pilot menjadi tidak bisa lagi mampu mengendalikan pesawat.
Umumnya, karena pesawat menemui cuaca buruk, semisal menabrak awan aktif. Ketika itu, turbulensi kemudian menjadi sangat parah. Hidung pesawat lalu naik dan saat titik tertentu kemudian stall (jatuh).
“Nah, ini jika pilot terlambat merecovery seper sekian detik, unusual attitude makin tak terkendalai dan secara spiral drive pesawat menghunjam ke bawah,” bebernya.
Sumarwoto menilai dua kemungkinan itu sama-sama terbuka terjadi pada pesawat Air Asia. Hal itu mengingat situasi cuaca sebagaimana tergambar berdasar foto satelit.
“Bisa salah satu, bisa juga dua-duanya. Tapi, saya juga berharap dua-duanya tidak terjadi. Finalnya kita tunggu saja hasil pencarian dan penyelidikan,” pungkasnya. (dyn)