Site icon SumutPos

Minta Penghapusan Illegal Cost dalam Produksi

Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS Aliansi Pekerja Buruh Daerah Sumatera Utara (APBD-SU) melakukan aksi unjukrasa di depan kantor Pemprovsu, Medan, Kamis (28/4). Dalam aksinya, mereka menolak PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, karena dinilai merugikan para buruh.
Foto: DANIL SIREGAR/SUMUT POS
Aliansi Pekerja Buruh Daerah Sumatera Utara (APBD-SU) melakukan aksi unjukrasa di depan kantor Pemprovsu, Medan, Kamis (28/4). Dalam aksinya, mereka menolak PP 78 tahun 2015 tentang pengupahan, karena dinilai merugikan para buruh.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Buruh kembali berancang-ancang menggedor pemerintah terkait kebijakan pekerja Indonesia menjelang May Day, Minggu (1/5) nanti. Selain isu klise seputar kenaikan upah, tahun ini pihak buruh tampaknya ingin menuntut ketegasan hukum pemerintah terkait isu buruh. Sebab, selama ini pemerintah belum menunjukkan kehadiran dalam membela hak-hak buruh di Indonesia.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, pihak buruh ingin memanfaatkan momentum tahun ini untuk penegasan tindakan hukum pemerintah terkait regulasi terkait buruh Indonesia. Belum tegasnya implementasi dari regulasi membuat kesejahteraan buruh tanah air tak sebanding dengan kekuatan ekonomi Indonesia.

’’Silahkan dilihat, Indonesia masuk peringkat 16 dalam G-20 dengan produksi bruto mencapai Rp 11.540,8 triliun tahun lalu. Namun, Indeks Gini (ketimpangan ekonomi) di Indonesia masih mencapai 0,4. Artinya pertumbuhan ekonomi tanah air hanya dinikmati oleh bagian kecil masyarakat. Sedangkan buruh terus menjadi kelompok marjinal,’’ ungkapnya kemarin (29/4).

Memang, lanjut dia, kesejahteraan pekerja Indonesia terus membaik. Dengan program-program jaminan pada era kabinet kerja, saat ini biaya jaminan kesejahteraan sosial sudah mencapai sekitar 11 persen dari gaji. Namun, hal tersebut tak bisa dibandingkan dengan negara-negara yang secara ekonomi satu kelas dengan Indonesia. ’’Jangan bandingkan Indonesia dengan negara seperti Kamboja, Myanmar, atau Vietnam. Negara-negara itu masih berkembang dengan dinamika buruh yang kurang dan kesejahteraan yang belum diperhatikan. Bandingkan saja dengan Malaysia, Singapura, atau Filipina. Social security cost di negara tersebut sudah mencapai 20-30 persen dari gaji,’’ terangnya.

Dari sisi upah minimum, lanjut dia, dia pun mengaku bahwa besaran Indonesia masih dibawah negara-negara satu kelas tersebut. Namun, dia pun sebenarnya tak menyalahkan sepenuhnya pengusaha dalam hal ini. Menurutnya, hal ini juga dampak dari kelalaian pemerintah dalam mengatasi pungli dan jaringan distribusi yang panjang.

’’Menurut data Kadin, ilegal cost di Indonesia sendiri mencapai 25 persen dari total biaya produksi. Itu lebih besar dari biaya pekerja yang hanya mencapai 16 persen. Sedangkan, di negara Singapura biaya pekerja bisa mencapai 20 persen ke atas dari total biaya produksi karena ilegal cost mereka hanya 5 persen,’’ jelasnya.

Karena itu, pemerintah diharap bisa menghilangkan praktek-praktek tersebut. Jika berhasil. Timboel yakin bahwa pangusaha bisa menaikkan gaji sesuai regulasi dengan sendirinya. Dengan begitu, permasalahan klise buruh Indonesia bisa terpecahkan. ’’Harusnya, upah minimum hanya diberlakukan kepada pekerja dengan waktu satu tahun ke bawah. Tapi, realitanya, pekerja yang sudah mencapai lima tahun dan sudah punya tanggungan pun masih mendapatkan upah minimum,’’ jelasnya.

Di sisi lain, pemerintah pun menegaskan tetap berusah untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dari berbagai aspek. Salah satunya, rencana penyediaan perumahan yang layak dan lokasinya dekat dengan tempat kerja.

Deputi bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden (KSP) Eko Sulistyo mengatakan, saat ini pemerintah tengah menyiapkan regulasi terkait perumahan untuk pekerja. ’’Nanti, dalam pengembangan kawasan industri, 20 persen wilayahnya untuk perumahan pekerja,’’ ujarnya kemarin (29/4).

Menurut Eko, pemerintah menyadari bahwa selama ini sebagian pekerja belum memiliki tempat tinggal yang layak atau masih mengontrak. Sebagian lainnya, memiliki tempat tinggal layak, namun jaraknya sangat jauh dari tempat kerja. Sehingga, aktivitas berangkat maupun pulang kerja sangat menyita tenawa, waktu, dan biaya. “Makanya, regulasi terkait perumahan pekerja terus dimatangkan,” katanya.

Eko menyebut, penyediaan tempat tinggal memang menjadi program strategis. Karena itu, sebelumnya sudah ada program sejuta rumah rakyat, dana subsidi perumahan Rp 9,1 triliun pada 2016 melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), serta disahkannya Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Terkait masih adanya tuntutan pekerja untuk kenaikan upah, Eko mengatakan agar upah minimum tidak menjadi satu-satunya parameter kesejahteraan pekerja. Sebab, pemerintah sebenarnya juga sudah membelanjakan dana puluhan triliun rupiah melalui program Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, serta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan. ’’Semua program itu bisa dinikmati jutaan tenaga kerja kita, jadi setidaknya meringankan beban keluarga, sehingga gaji yang diterima bisa digunakan untuk keperluan lain,’’ jelasnya. (bil/owi/agm/jpg/adz)

Exit mobile version