Alumnus DBL yang Mencuri Perhatian di NBL Indonesia
Satu demi satu alumnus Honda Development Basketball League (DBL) sukses berkiprah di arena National Basketball League (NBL) Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah Muhammad Dhiya Ulhaq.
AINUR ROHMAN, Bandung
Kapten Garuda Speedy Bandung Octoviano Permata Sura geleng-geleng kepala melihat penampilan impresif Muhammad Dhiya Ulhaq Minggu malam (11/12). Octo menepuk bahu center bertinggi 204 sentimeter itu di ruang ganti pemain setelah laga antara Garuda melawan Pacific Caesar Surabaya.
Garuda menang sangat telak 92-60. Yaya (sapaan akrab Muhammad Dhiya Ulhaq) tampil gemilang. Turun hanya tiga menit, pemuda kelahiran Gresik, Jawa Timur, itu mencetak 12 poin. “Wah, kamu keren mainnya,” kata Octo. Mendengar pujian sang kapten, pemain 19 tahun tersebut tersenyum kecil.
Yaya memang menjadi salah satu perhatian utama fans Garuda saat ini. Dengan tinggi menjulang hingga 204 cm, Yaya diharapkan bisa menjadi pelapis penting jika center utama Hendrik Agustinus. Namun karena masih muda dan tidak memiliki jam terbang tinggi, Yaya masih belum banyak dipercaya. Pada laga perdana Garuda melawan Satria Muda Britama Jakarta, Yaya sama sekali tidak diturunkan.
Yaya sendiri tidak menyangka bisa mendapatkan kesempatan emas berlaga secepat ini di NBL Indonesia. Apalagi bermain untuk tim sebesar Garuda. Sebelumnya, Yaya adalah alumnus liga basket terbesar tanah air Honda Development Basketball League (DBL).
Dia bermain untuk SMA Muhammadiyah 1 Gresik pada 2009. Waktu itu Yaya masih kelas 2 SMA. Namun prestasinya tidak bagus, kandas melawan SMA 2 Surabaya pada babak 16 besar. “Saya sendiri tidak masuk first team. Hanya nominasi. Saya juga tidak terpilih di DBL All-Star,” ucap pemain kelahiran 11 Maret 1992 itu.
Meski tidak berprestasi maksimal Yaya masih ingin terus berkiprah di basket. Tubuh yang tinggi menjulang sangat sayang untuk disia-siakan. Teman SMA-nya Afrizal Faisal lantas mengajaknya bersekolah di Garuda School Bandung usai lulus SMA pada 2010 lalu.
Sekolah tersebut gratis. Ini yang membuat Yaya tertarik. Sebab dia tidak ingin membabani kedua orangtuanya yang serba kekurangan. Ayahnya Poniman hanyalah tukang sapu di sebuah pabrik di Gresik. Sedangkan ibunya Siti Aminah merupakan ibu rumah tangga biasa.
“Selama di Bandung hidup saya ditanggung Afrizal. Makan, minum, dan tempat tinggal semuanya dari Afrizal,” kenang pemain bernomor punggung 23 itu. “Awalnya sulit. Namun Afrizal meyakinkan bahwa basket akan mengubah hidup saya. Apalagi kalau masuk NBL,” imbuhnya.
Benar saja. Melihat tinggi Yaya, tim senior Garuda tertarik merekut. Padahal dia baru bersekolah selama dua bulan. Staff pelatih yang waktu itu dipimpin Johannis Winar mengiginkan Yaya berlatih di Jakarta, markas Garuda. Oleh Garuda, Yaya dikuliahkan di Asian Banking Finance And Informatics Institute Perbanas Jakarta. “Bermain di tim senior memberikan tekanan tersendiri. Kalau salah langsung dimarahin,” tuturnya.
Memang pada musim lalu Garuda banyak sekali dihuni pemain-pemain bintang yang lama malang-melintang di basket nasional. Antara lain I Made Suadiadnyana dan Cokorda Raka Satyra Wibawa. Belum lagi dengan pemain tenar macam Denny Sumargo dan Agustinus Dapas Sigar. “Saya banyak sekali dibantu dan mendapat ilmu dari Andre Tiara,” ceritanya. (*)