28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Manajer Harus Proaktif

MEDAN- Terhitung 27 Desember 2011 lalu, saat itulah pertama dan terakhir pemain PSMS menerima gaji dari manajemen. Hingga saat ini, terhitung 2,5 bulan berjalan, skuad berjuluk Ayam Kinantan sama sekali tak menerima gaji maupun intensif juga bonus.

Tertera dalam draf gaji pemain, per tanggal 27 tiap bulan mereka harusnya sudah menerima gaji. Namun, sepertinya manajemen hanya bisa pasrah menunggu kabar dari sponsor utama PSMS Bakrie Plantion.

Menanggapi hal tersebut, pengamat sepak bola Sumut Rafriandi ngotot harusnya PSMS sudah mengembangkan manajemen yang profesional berbasis interpreneur. “Dengan sistem ini, paling tidak tak ada pemain yang kita ‘cederai’ dalam hal hak mereka, yang utama yakni gaji,” tegasnya, Rabu (14/3).

“Jika manajemen, dalam hal ini manejer yang bertanggung jawab mengenai gaji pemain, hanya menunggu kucuran dana dari sponsor utama, ya begini ini jadinya? Harusnya manajer bisa lebih pro aktif,” tambah Rafriandi.

Menurutnya, jika memang PSMS sudah memiliki sponsor utama, harusnya manajemen bisa berfikir ke arah interpreneur. “Dengan bisnis, menciptakan dan menghasilkan berbagai kreativitas dan inovasi tentu akan mengembangkan ekonomi dan keuangan di tubuh PSMS sendiri. Jadi kita tak hanya pasrah dan menunggu kucuran dana,” ujar Rafriandi lagi.

“Bussines plant PSMS paling tidak harus sudah ada untuk mencapai manajemen yang profesional berbudaya interpreneur tadi. Seperti menyewakan ruko yang ada di Stadion Teladan untuk menjual barang-barang kebutuhan olahraga. Baik untuk anak-anak maupun orang dewasa dan semua cabang olahraga bukan hanya sepak bola,” katanya.

Tak hanya itu, sambung Rafriandi, mengeksklusifkan foto-foto pemain PSMS untuk diperdagangkan bukan hal tabu. “Contoh hasilnya bisa kita lihat manajemen Persib Bandung. Di mall-mall terbesar di Bandung sudah bisa kita dapati produk-produk eksklusif Persib, seperti jersey, syal, foto dan kaos-kaos bertanda tangan pemain. Itu baru manajemen profesional berbasis interpreneur,” tuturnya.

“Kita harus membangun paradigma di masyarakat, bahwa mereka bukan hanya bisa menyaksikan PSMS bertanding untuk menunjukkan mereka mencintai PSMS. Tapi dengan berbelanja akan menimbulkan kefanatikan fans juga pendukung,” jelas Rafriandi, seraya menambahkan, bekerjasama dengan tim sepak bola dunia juga merupakan bagian dari menginterpreneurkan manajemen.

Sementara itu, manajer PSMS Benny Tomasoa menuturkan, belum turunnya kucuran dana dari Bakrie Plantation tak diketahui penyebabnya. “Kita gak tau apa yang terjadi, kenapa hingga saat ini dana belum turun termasuk gaji pemain,” ujarnya.

Mengenai hal itu, pada Jumat (16/3) mendatang Benny mengaku akan berangkat ke Jakarta bersama Komisaris PSMS Iswanda Nanda Ramli, menanyakan hal itu. “Sekaligus menghadiri KLB, kita akan tanyakan mengenai hal itu ke Bakrie Plantation,” katanya. (saz)

MEDAN- Terhitung 27 Desember 2011 lalu, saat itulah pertama dan terakhir pemain PSMS menerima gaji dari manajemen. Hingga saat ini, terhitung 2,5 bulan berjalan, skuad berjuluk Ayam Kinantan sama sekali tak menerima gaji maupun intensif juga bonus.

Tertera dalam draf gaji pemain, per tanggal 27 tiap bulan mereka harusnya sudah menerima gaji. Namun, sepertinya manajemen hanya bisa pasrah menunggu kabar dari sponsor utama PSMS Bakrie Plantion.

Menanggapi hal tersebut, pengamat sepak bola Sumut Rafriandi ngotot harusnya PSMS sudah mengembangkan manajemen yang profesional berbasis interpreneur. “Dengan sistem ini, paling tidak tak ada pemain yang kita ‘cederai’ dalam hal hak mereka, yang utama yakni gaji,” tegasnya, Rabu (14/3).

“Jika manajemen, dalam hal ini manejer yang bertanggung jawab mengenai gaji pemain, hanya menunggu kucuran dana dari sponsor utama, ya begini ini jadinya? Harusnya manajer bisa lebih pro aktif,” tambah Rafriandi.

Menurutnya, jika memang PSMS sudah memiliki sponsor utama, harusnya manajemen bisa berfikir ke arah interpreneur. “Dengan bisnis, menciptakan dan menghasilkan berbagai kreativitas dan inovasi tentu akan mengembangkan ekonomi dan keuangan di tubuh PSMS sendiri. Jadi kita tak hanya pasrah dan menunggu kucuran dana,” ujar Rafriandi lagi.

“Bussines plant PSMS paling tidak harus sudah ada untuk mencapai manajemen yang profesional berbudaya interpreneur tadi. Seperti menyewakan ruko yang ada di Stadion Teladan untuk menjual barang-barang kebutuhan olahraga. Baik untuk anak-anak maupun orang dewasa dan semua cabang olahraga bukan hanya sepak bola,” katanya.

Tak hanya itu, sambung Rafriandi, mengeksklusifkan foto-foto pemain PSMS untuk diperdagangkan bukan hal tabu. “Contoh hasilnya bisa kita lihat manajemen Persib Bandung. Di mall-mall terbesar di Bandung sudah bisa kita dapati produk-produk eksklusif Persib, seperti jersey, syal, foto dan kaos-kaos bertanda tangan pemain. Itu baru manajemen profesional berbasis interpreneur,” tuturnya.

“Kita harus membangun paradigma di masyarakat, bahwa mereka bukan hanya bisa menyaksikan PSMS bertanding untuk menunjukkan mereka mencintai PSMS. Tapi dengan berbelanja akan menimbulkan kefanatikan fans juga pendukung,” jelas Rafriandi, seraya menambahkan, bekerjasama dengan tim sepak bola dunia juga merupakan bagian dari menginterpreneurkan manajemen.

Sementara itu, manajer PSMS Benny Tomasoa menuturkan, belum turunnya kucuran dana dari Bakrie Plantation tak diketahui penyebabnya. “Kita gak tau apa yang terjadi, kenapa hingga saat ini dana belum turun termasuk gaji pemain,” ujarnya.

Mengenai hal itu, pada Jumat (16/3) mendatang Benny mengaku akan berangkat ke Jakarta bersama Komisaris PSMS Iswanda Nanda Ramli, menanyakan hal itu. “Sekaligus menghadiri KLB, kita akan tanyakan mengenai hal itu ke Bakrie Plantation,” katanya. (saz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/