MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sepekan setelah melepaskan jabatan Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi terlihat lebih bersemangat ketika diwawancarai wartawan di halaman Masjid Agung Medan, Senin (28/1). Edy mengaku tidak mempermasalahkan kursi Ketum PSSI tidak lagi didudukinya.
Sebaliknya, ia mendukung penuh upaya kepolisian menyelidiki dugaan pengaturan skor di kompetisi persepakbolaan Tanah Air. Berikut petikan wawancara wartawan Sumut Pos Pran Wira Hasibuan dengan Edy Rahmayadi.
Apa alasan mendasar Anda mundur sebagai Ketum PSSI? Sebab publik terkejut, karena sebelumnya Anda keukeuh ingin menyelesaikan masa tugas sampai 2020?
Jangankan Anda yang terkejut. Sewaktu di Kongres semuanya juga terkejut.
Jadi begini, tujuan saya menjadi Ketum PSSI agar republik ini bisa mengukir (prestasi) di bidang sepak bola. Nah, dari kondisi itu kita siapkanlah semua perangkat, kita rencanakanlah jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang. Jangka pendeknya itu sampai 2034, Timnas Indonesia bisa masuk Piala Dunia. Tapi makin ke sana dan makin ke sana orang tak melihat lagi rencana itu. Yang dilihatnya pokoknya Edy out (mundur). Lalu saya tanya sama mereka, ada yang kepingin saya keluar? Ada, ya sudah saya keluar. Orang kan tidak melihatn
profesionalisme untuk maju, berarti yang dia tidak mau bolanya tetapi orangnya. Kalau orang sudah tidak mau masak dipaksa.
Setelah mundur dari Ketum PSSI, tampaknya Anda ingin lebih fokus mengurusi Sumatera Utara?
“Sebenarnya bukan begitu. PSSI itu adalah milik semua anak bangsa. PSSI itu adalah perekat anak bangsa. Terus karena ada saya di situ, kemudian tidak jadi perekat, ya saya berarti dong yang salah. Ya saya mundur.
Adakah kaitan pengunduran diri Anda ini dengan aksi pengkhianatan di internal PSSI? Sampai ada istilah Anda ’ditikam tapi tak berdarah’, bagaimana pendapat Anda?
“Hmmm (dengan mimik serius lalu menggelengkan kepala), gak beranilah dia (pengurus di internal PSSI) nikam saya. Tapi bukan itu. Tuhan-lah yang tahu!”
Atau mungkin Anda mendapat tekanan, sehingga membuat keputusan mengejutkan saat kongres?
Siapa yang berani nekan saya? Terus kamu percaya ada yang berani nekan saya? Yang bisa nekan saya itu cuma Tuhan. Saya profesional. Kalau saya jadi pemimpin harus punya skill. Yang kedua harus ada rasa kesetiaan. Kalau yang saya pimpin tidak punya rasa kesetiaan, buat apa saya paksakan. Berarti kan saya tak bisa mimpin”
Paska bapak mundur dari Ketum PSSI, apakah ada reaksi dari FIFA?
“Nggak ada (sanksi), malah FIFA yang ngamuk-ngamuk sama saya. Kan harusnya saya laporan dulu. Tapi inikan Indonesia. Jadi (keputusan mundur) ini spontan. Jangankan PSSI, waktu Pangkostrad lewat (saya mundur), dan sekarang PSSI juga lewat. Nah nanti kalau masyarakat Sumut tidak mau lagi saya jadi gubernur, ngapain saya mimpin”
Lantas, apakah sewaktu memutuskan mundur saat kongres, ada terpikir tentang masyarakat Sumut?
“Kalau masyarakat Sumut itu selalu ada di hati. Tidak hanya ada dibayangan saya. Jadi, memimpin itu amanah. Saya lihat di televisi banyak yang ngomong dibawa ke sana ke mari. Kalau lantas banyak yang menyayangkan saya mundur, kan bukan soal sayang gak sayang. Bukan itu jawabannya. Orang sudah tidak mau saya pimpin, masak saya paksa pimpin. Itu yang pertama, dan kedua, kan orang yang menilai saya.
Apa alasan Anda sampai berpikir tidak mampu memimpin PSSI? Apakah sejak awal indikasi tersebut sudah menguat?
Ya kan sudah kelihatan itu. Walaupun minoritas (yang tak suka), tetap saja (tak suka). Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kasihan PSSI.
Lantas apakah ada kaitan kemunduran bapak dengan dugaan kasus pengaturan skor yang tengah diusut Satgas Antimafia Bola Mabes Polri?
Kalau (pengaturan) skor itukan kenakalan, sudah ditangani oleh polisi, itukan pidana. Silahkan dihukum!”
Sebagian kalangan menyebut, Anda didesak mundur karena ingin internal PSSI bersih makanya aparat kepolisian turun untuk mengusut dugaan pengaturan skor itu?
“Tak tahu saya, saya tak mengkaji sampai ke sana. Saya kan memimpin sepak bola ini, bukan yang lain-lain. Kalau orang mau membawa ke sana ke sini, itu urusan orang itu” (*)