25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Ingin Berlatih di PTM Sahabat atau PTM Angsapura namun tak Ada Biaya

Muhammad Swandi, Petenis Meja yang Membantu Orang Tuanya Bekerja Sebagai Pengumpul Barang Bekas

Rumah kecil dengan dinding separuh tembok, separuh tepas bambu di Jalan Roso Gg Melati IV, no. 9 Kecamatan Medan Deli Tua itu menggambarkan dengan jelas keadaan yang serba tidak berkecukupan. Pasangan Tumingan dan Supiyah dengan penuh kehangatan mempersilahkan wartawan koran ini duduk di kursi plastik yang tersedia. Keadaan yang memprihatinkan itu kontras dengan semangat putra ketiga mereka, Muhammad Swandi untuk menapaki jalan terjal meraih cita-cita sebagai atlet tenis meja.

DONI HERMAWAN-MEDAN

Swandi saat ini masih duduk di bangku kelas 6 SD. Di usianya yang masih sangat belia itu, Swandi sudah memberikan kebanggaan untuk kedua orang tuanya. Bakat dan latihan kerasnya menghadirkan deretan prestasi yang tidak layak disepelekan. Menjuarai Pekan Olahraga Kabupaten (Porkab) Deli Serdang dua kali berturut-turut di tahun 2010 dan 2011 tentu membanggakan. Lalu menjuarai Olimpiade Olahraga Sains Nasional (OOSN) di Binjai 2011 yang mengantarkankannya ke Surabaya untuk OOSN tingkat nasional. Sayang, Swandi hanya bisa menembus delapan besar ketika itu.

“Dulu saya main bulutangkis dan dapat juara III waktu kelas 3 di Lubuk Pakam. Tapi guru saya bilang karena tubuh saya pendek lebih baik saya pindah ke tenis meja. Setelah itu saya serius menekuni tenis meja,” ujar Swandi memulai cerita saat disambangi di kediamannya (27/3) kemarin.

Sayang bakat Swandi tidak terpantau. Dengan kesulitan ekonomi keluarganya, ia hanya bisa latihan di klub kecil, Persatuan Tenis Meja (PTM) Marendal. Meski dari hati kecilnya terbesit keinginan untuk memperkuat klub tenis meja yang besar seperti PTM Sahabat atau PTM Angsapura. “Pengen sih masuk Angsapura atau Sahabat. Tapi tidak ada biaya. Paling kadang-kadang kesana hanya lihat-lihat mereka latihan. Jadi saya latihan di PTM Marendal saja tiga kali seminggu. Selebihnya kadang di sekolah,” timpal Swandi.

Begitupun kondisi itu tak mengurangi semangatnya untuk serius menekuni olahraga ini.Dalam waktu dekat ini akan merupaya mengawali mimpinya sebagai atlet tenis meja Sumut maupun nasional.  April mendatang ia akan mengikuti seleksi Pekan Olahraga Pelajar (Popwil) Sumut di Mandailing Natal untuk memperkuat Deli Serdang. Dari situ awal jejaknya untuk membahagiakan orang tuanya yang selalu mendukung niatnya. “Mudah-mudahan bisa lolos untuk memperkuat Deli Serdang. Saya harus jadi atlet. Agar nantinya bisa  buat bapak dan Ibu bahagia,” katanya.

Lembaran sertifikat juara dan medali yang hadir di rumah kecil itu tentulah menghadirkan senyum Tumingan dan Supiah. Sejenak melupakan kesusahan ekonomi mereka. Tumingan hanya tukang botot, namun ia berusaha keras untuk mendukung tekad anaknya itu.

“Iya beginilah pekerjaan saya membotot. Tidak setiap hari bisa dapat penghasilan. Kadang 50 ribu sehari. Tapi bisa hari-hari berikutnya tidak ada. Kadang-kadang saya juga diminta tetangga untuk membetulkan listrik atau sumur bor. Tapi itu pun saya tidak pernah mematokkan harga. Namun saya akan berusaha mendukung Swandi untuk bisa terus bermain tenis meja,” kata Tumingan.

Dukungan kuat itu bukan asal membual. Saat Swandi berlaga di OOSN tingkat nasional di Surabaya pertengahan tahun lalu, ia rela menumpuk hutang untuk bisa menyaksikan putranya bertanding. Memberikan semangat dari dekat. “Waktu ke Surabaya itu saya terpaksa ngutang sama tetangga dan teman-teman. Gak apalah yang penting bisa lihat Wandi main disana. Lagipula disana banyak saudara di Surabaya, hitung-hitung pulang kampung,” ujar pria kelahiran Januari 62 tahun silam itu.

Selain itu Tumingan juga harus merogoh koceknya yang tipis untuk memberi peralatan tenis meja untuk Swandi. Tak tanggung untuk sebuah bet ia pernah harus mengumpulkan uang sebesar 1 juta rupiah. Jumlah yang terlampau besar untuk keluarga dengan ekonomi lemah sepertinya. “Peralatan tentu saya beli sendiri. Bet ini saja seharga satu juta. Baru-baru ini juga ganti karet sudah 250 ribu. Itu pun untuk sebelah saja,” katanya sembari menunjukkan bet tenis meja itu kepada wartawan koran ini.

Tumingan sedikit kecewa dengan pihak sekolah yang terkesan kurang peduli dengan prestasi anaknya. Padahal Swandi kerap turun bertanding dan mengharumkan nama sekolahnya SDN 101801, Deli Tua.

“Pernah waktu dia juara, sekolah itu memberi peralatan meja tenis baru dan bet. Tapi itu bukan untuk Swandi. Ya semua peralatan Swandi saya yang beli. Meski dia sering juara tapi hanya dapat medali atau piagam saja. Hanya sekali dulu pernah dapat uang 800 ribu. Tapi itupun dibagi dua dengan anak pelatih karena disuruh bermain ganda. Padahal biasanya dia main tunggal,” lanjutnya.

Namun Tumingan tentu hanya bisa pasrah sembari terus memperjuangkan biaya untuk anaknya. Untuk sekolah Swandi saja, sebenarnya ia kesulitan membiayai. Beruntung ia untuk SD Negeri tidak dipatok biaya sekolah. “Kalau SD negeri kan memang gratis uang SPPnya. Ya tetap saja harus cari uang untuk beli uang bukunya dan biaya lainnya. Yang saya pikirkan sebentar lagi dia harus masuk SMP. Harapan saya dia bisa dapat beasiswa dari prestasinya di tenis meja,” ujarnya.

Satu hal lain yang membuat Tumingan dan Supiah tetap mendukung minat anaknya pada cabang tenis meja itu, Swandi tidak lantas melupakan pelajaran sekolahnya. “Di sekolah nilainya tidak ada masalah. Padahal dia tidak pernah belajar di rumah. Pendidikan juga harus diperhatikan,” tandasnya. (*)

Muhammad Swandi, Petenis Meja yang Membantu Orang Tuanya Bekerja Sebagai Pengumpul Barang Bekas

Rumah kecil dengan dinding separuh tembok, separuh tepas bambu di Jalan Roso Gg Melati IV, no. 9 Kecamatan Medan Deli Tua itu menggambarkan dengan jelas keadaan yang serba tidak berkecukupan. Pasangan Tumingan dan Supiyah dengan penuh kehangatan mempersilahkan wartawan koran ini duduk di kursi plastik yang tersedia. Keadaan yang memprihatinkan itu kontras dengan semangat putra ketiga mereka, Muhammad Swandi untuk menapaki jalan terjal meraih cita-cita sebagai atlet tenis meja.

DONI HERMAWAN-MEDAN

Swandi saat ini masih duduk di bangku kelas 6 SD. Di usianya yang masih sangat belia itu, Swandi sudah memberikan kebanggaan untuk kedua orang tuanya. Bakat dan latihan kerasnya menghadirkan deretan prestasi yang tidak layak disepelekan. Menjuarai Pekan Olahraga Kabupaten (Porkab) Deli Serdang dua kali berturut-turut di tahun 2010 dan 2011 tentu membanggakan. Lalu menjuarai Olimpiade Olahraga Sains Nasional (OOSN) di Binjai 2011 yang mengantarkankannya ke Surabaya untuk OOSN tingkat nasional. Sayang, Swandi hanya bisa menembus delapan besar ketika itu.

“Dulu saya main bulutangkis dan dapat juara III waktu kelas 3 di Lubuk Pakam. Tapi guru saya bilang karena tubuh saya pendek lebih baik saya pindah ke tenis meja. Setelah itu saya serius menekuni tenis meja,” ujar Swandi memulai cerita saat disambangi di kediamannya (27/3) kemarin.

Sayang bakat Swandi tidak terpantau. Dengan kesulitan ekonomi keluarganya, ia hanya bisa latihan di klub kecil, Persatuan Tenis Meja (PTM) Marendal. Meski dari hati kecilnya terbesit keinginan untuk memperkuat klub tenis meja yang besar seperti PTM Sahabat atau PTM Angsapura. “Pengen sih masuk Angsapura atau Sahabat. Tapi tidak ada biaya. Paling kadang-kadang kesana hanya lihat-lihat mereka latihan. Jadi saya latihan di PTM Marendal saja tiga kali seminggu. Selebihnya kadang di sekolah,” timpal Swandi.

Begitupun kondisi itu tak mengurangi semangatnya untuk serius menekuni olahraga ini.Dalam waktu dekat ini akan merupaya mengawali mimpinya sebagai atlet tenis meja Sumut maupun nasional.  April mendatang ia akan mengikuti seleksi Pekan Olahraga Pelajar (Popwil) Sumut di Mandailing Natal untuk memperkuat Deli Serdang. Dari situ awal jejaknya untuk membahagiakan orang tuanya yang selalu mendukung niatnya. “Mudah-mudahan bisa lolos untuk memperkuat Deli Serdang. Saya harus jadi atlet. Agar nantinya bisa  buat bapak dan Ibu bahagia,” katanya.

Lembaran sertifikat juara dan medali yang hadir di rumah kecil itu tentulah menghadirkan senyum Tumingan dan Supiah. Sejenak melupakan kesusahan ekonomi mereka. Tumingan hanya tukang botot, namun ia berusaha keras untuk mendukung tekad anaknya itu.

“Iya beginilah pekerjaan saya membotot. Tidak setiap hari bisa dapat penghasilan. Kadang 50 ribu sehari. Tapi bisa hari-hari berikutnya tidak ada. Kadang-kadang saya juga diminta tetangga untuk membetulkan listrik atau sumur bor. Tapi itu pun saya tidak pernah mematokkan harga. Namun saya akan berusaha mendukung Swandi untuk bisa terus bermain tenis meja,” kata Tumingan.

Dukungan kuat itu bukan asal membual. Saat Swandi berlaga di OOSN tingkat nasional di Surabaya pertengahan tahun lalu, ia rela menumpuk hutang untuk bisa menyaksikan putranya bertanding. Memberikan semangat dari dekat. “Waktu ke Surabaya itu saya terpaksa ngutang sama tetangga dan teman-teman. Gak apalah yang penting bisa lihat Wandi main disana. Lagipula disana banyak saudara di Surabaya, hitung-hitung pulang kampung,” ujar pria kelahiran Januari 62 tahun silam itu.

Selain itu Tumingan juga harus merogoh koceknya yang tipis untuk memberi peralatan tenis meja untuk Swandi. Tak tanggung untuk sebuah bet ia pernah harus mengumpulkan uang sebesar 1 juta rupiah. Jumlah yang terlampau besar untuk keluarga dengan ekonomi lemah sepertinya. “Peralatan tentu saya beli sendiri. Bet ini saja seharga satu juta. Baru-baru ini juga ganti karet sudah 250 ribu. Itu pun untuk sebelah saja,” katanya sembari menunjukkan bet tenis meja itu kepada wartawan koran ini.

Tumingan sedikit kecewa dengan pihak sekolah yang terkesan kurang peduli dengan prestasi anaknya. Padahal Swandi kerap turun bertanding dan mengharumkan nama sekolahnya SDN 101801, Deli Tua.

“Pernah waktu dia juara, sekolah itu memberi peralatan meja tenis baru dan bet. Tapi itu bukan untuk Swandi. Ya semua peralatan Swandi saya yang beli. Meski dia sering juara tapi hanya dapat medali atau piagam saja. Hanya sekali dulu pernah dapat uang 800 ribu. Tapi itupun dibagi dua dengan anak pelatih karena disuruh bermain ganda. Padahal biasanya dia main tunggal,” lanjutnya.

Namun Tumingan tentu hanya bisa pasrah sembari terus memperjuangkan biaya untuk anaknya. Untuk sekolah Swandi saja, sebenarnya ia kesulitan membiayai. Beruntung ia untuk SD Negeri tidak dipatok biaya sekolah. “Kalau SD negeri kan memang gratis uang SPPnya. Ya tetap saja harus cari uang untuk beli uang bukunya dan biaya lainnya. Yang saya pikirkan sebentar lagi dia harus masuk SMP. Harapan saya dia bisa dapat beasiswa dari prestasinya di tenis meja,” ujarnya.

Satu hal lain yang membuat Tumingan dan Supiah tetap mendukung minat anaknya pada cabang tenis meja itu, Swandi tidak lantas melupakan pelajaran sekolahnya. “Di sekolah nilainya tidak ada masalah. Padahal dia tidak pernah belajar di rumah. Pendidikan juga harus diperhatikan,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/