30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Anak Pengamen di Kota Medan

Oleh: Murni Eva Marlina Rumapea

Medan adalah salah satu kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Bahkan dapat juga dikatakan Medan akan menuju kota metropolitan terlebih dizamanĀ  millennium saat ini. Pandangan penulis pola tata kehidupan masyarakat Kota Medan ini masih belum memenuhi syarat kota metropolitan seperti banyaknya pengamen di jalanan. Kehidupan menjadi pengamen di jalanan telah menjadi bagian dari kehidupan Kota Medan dan jika kita telusuri hidup menjadi pengamen jalanan telah membudaya serta merupakan sub kultur Kota Medan.

Jika kita berada di persimpangan atau simpang lampu merah hampir semua sudut Kota MedanĀ  ada pengamenĀ  jalanan baik anak-anak, remaja, orang tua bahkan kakek-kakek atau nenek-nenek. Mereka semua ada yang berpenampilan baik, buruk, dan lebih buruk terlebih dari segi penampilan fisik. Pengamen di jalanan bukanlah sebuah hal yang kebetulan adanya tetapi memiliki makna baik segi politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Munculnya pengamen di Kota Medan tidak dapat dipandang hanya satu pihak saja seperti pemerintah yang tidak memberi perhatian pada masyarakat. Namun dibalik itu menurut penulis pengamen anak jalanan timbul karena :

1. Faktor Ekonomi

Anak pengamen harus mau melakukannya demi tuntutan ekonomi, dimana orang tua tidak mampu membiayaiĀ  kebutuahn hidup dan kebutuhan sekolah. Untuk itu demi memenuhi kebutuhan tersebut maka seorang anak harus melakukannya.Ā  Bahkan kadangkala orang tua menyuruh anaknya mengamen untuk menambahi kebutuhan hidup atau orang tua yang malas bekerja hanya mengandalkan hasil pengamen anaknya,

2. Kurang Kasih Sayang

Anak yang kurang kasih sayang atau tidak menerima kasih sayangĀ  dari orang tua. Artinya hanya karena kesibukan orang tua sibuk untuk mencari harta atau kesenangan sehingga orang tua tidak memilikiĀ  waktu untuk mencurahkan perhatian, bertanya tentang apa masalah anak, bertukar pikiran, dan berbagi rasa dengan anak. Dengan tidak menerima kasih sayang dari orang tua maka anak pun mencari kesenangan denganĀ  lain untukĀ  menghibur dirinya walaupun dengan cara bagaimanapun. Cara mengamen adalah salah satu penghiburan diri bagi anak karena dengan bernyanyi sebagai pengamen dapat menghibur hati, menungkapkan isi hati, dan menghabiskan waktu,

3. Rasa ikut-ikutan

Anak dipengaruhi lingkungan atau teman sebaya untuk mencari hiburan, menghindari pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau merasa hebat akan dirinya. Padahal jika ditesuri, sebenarnya niat seorang anak, segi ekonomi, tidak membuat anak menjadi seorang pengamen, tetapi hanya karena ikut-ikutan atau dipengaruhiĀ  maka seorang anak pun melakukannya. Dengan melihat situasi ini meskipun anak pengamen harus mengalami panas terik, hujan, caci maki, pukulan, tetap memiliki jumlah yang banyak. Hampir ditiap persimpangan jalan dapat ditemui di pasar, di rumah makan, terminal, dan sebagainya atau sudah menjadi suatu bagian dari budaya Kota Medan Telah banyak yang memberi pandangan secara sosiologis/antropologis atau budaya baik yang bersifat positif/mendukung dan negatif/mengkritik. Akan tetapi hal yang sering muncul adalah bersifat negatif dari berbagai kalangan seperti akan menganggu kemacetan lalu lintas, kurangnya nilai estetika tata ruang kota, dan menganggu kenyamanan yang berkendaraan. Menurut penulis bahwa psikologis anak pengamen ini tidak memiliki rasa malu, tidak peduli atau acuh tak acuh, dengan tujuan agar keberadaan mereka diterima masyarakat sebagai bentuk budaya baru. Agar keberadaan mereka tetap eksis anak pengamen juga berupaya untuk melawan berbagai pihak baik pihak hukum dan non hukum hanya untuk mempertahankan harga diri dan rasa solidaritas diantara mereka.

Fenomena sosial kehidupan anak pengamen memiliki dua arti yaitu pengaruh yang hanya bekerja di jalanan dan menunjukkan gaya kehidupan di jalanan. Bekerja di jalananĀ  artinya mencari nafkah hanya mengandalkan pengamen untuk kebutuhan hidup sedangkan gaya hidup di jalanan hanya sekedar mewujudkan dapat hidup dijalananĀ  dan tidak hanya mengandalkan hasil pengamen. Dari segi usia sebenarnya anak pengamen tidak wajar melakukannya dengan alasan orang tua harus memiliki tanggung jawab dan memberi kasih saysng kepada anaknya. Meskipun orang tua tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebaiknya anak tidak dibolehkan mengamen lebihĀ  baik menjual makanan atau kebutuhan kecil-kecil dengan cara berkeliling untuk menambah kebutuhan hidup walaupun keuntungan tidak besar.

Menurut penulis akibat dari fakta diatas maka anak pengamen mengakibatkan tidak peduli aturan hukum, mengalami tekanan batin dan frustasi sosial sehingga anak pengamen selalu merasa tidak nyaman dan memiliki sifat keterpaksaan melakukannya. Khususnya di Kota Medan anak pengamen sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik dimana anak yang masih dibawah umur, masih membutuhkan kasih sayang belum wajar untuk melakukan pengamen terlebih dalam waktu satu harian. Dalam arti jika satu hari seorang anak mengamen maka keesokan harinyaĀ  tidak mengamen, sedangkan yang bukan seharian anak pengamen hanya dalam waktu tertentu. Dengan situasi ini maka anak juga memiliki keterbatasan menyelesaikan pekerjaan rumah, sekolah, sehingga mengalami kegagalan.ā€˜

Untuk itu sebagai orang tua harus mampu memberikan tanggung jawab dan kasih sayang kepada anak agar tidak terjadi anak pengamen di tengah kota. Disamping itu aparat hukum memiliki aturan yang tegas terhadap hukum, hukum harus ditegakkanĀ  demi masa depan anak bangsa. Apabila hal-hal ini dilakukan maka sangat tipis kemungkinan munculnya anak pengamen di jalanan yang saat ini telah menjamur. Selain itu juga jika anak pengamen tidak muncul di tengah kota maka nilai estetika kota pun ada, hal-hal yang tidak diinginkan pun tidak terjadi. Sehingga untuk menuju Kota Medan Metropolitan pun terwujud walaupun masih membutuhkan perbaikan-perbaikan dibidangĀ  yang lain.

Penulis Dosen Pendidikan Ā 
Antropologi FakultasĀ  IlmuĀ  Sosial
UniversitasĀ  NegeriĀ  Medan (UNIMED)

Oleh: Murni Eva Marlina Rumapea

Medan adalah salah satu kota ketiga terbesar di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Bahkan dapat juga dikatakan Medan akan menuju kota metropolitan terlebih dizamanĀ  millennium saat ini. Pandangan penulis pola tata kehidupan masyarakat Kota Medan ini masih belum memenuhi syarat kota metropolitan seperti banyaknya pengamen di jalanan. Kehidupan menjadi pengamen di jalanan telah menjadi bagian dari kehidupan Kota Medan dan jika kita telusuri hidup menjadi pengamen jalanan telah membudaya serta merupakan sub kultur Kota Medan.

Jika kita berada di persimpangan atau simpang lampu merah hampir semua sudut Kota MedanĀ  ada pengamenĀ  jalanan baik anak-anak, remaja, orang tua bahkan kakek-kakek atau nenek-nenek. Mereka semua ada yang berpenampilan baik, buruk, dan lebih buruk terlebih dari segi penampilan fisik. Pengamen di jalanan bukanlah sebuah hal yang kebetulan adanya tetapi memiliki makna baik segi politik, ekonomi, budaya, dan sosial. Munculnya pengamen di Kota Medan tidak dapat dipandang hanya satu pihak saja seperti pemerintah yang tidak memberi perhatian pada masyarakat. Namun dibalik itu menurut penulis pengamen anak jalanan timbul karena :

1. Faktor Ekonomi

Anak pengamen harus mau melakukannya demi tuntutan ekonomi, dimana orang tua tidak mampu membiayaiĀ  kebutuahn hidup dan kebutuhan sekolah. Untuk itu demi memenuhi kebutuhan tersebut maka seorang anak harus melakukannya.Ā  Bahkan kadangkala orang tua menyuruh anaknya mengamen untuk menambahi kebutuhan hidup atau orang tua yang malas bekerja hanya mengandalkan hasil pengamen anaknya,

2. Kurang Kasih Sayang

Anak yang kurang kasih sayang atau tidak menerima kasih sayangĀ  dari orang tua. Artinya hanya karena kesibukan orang tua sibuk untuk mencari harta atau kesenangan sehingga orang tua tidak memilikiĀ  waktu untuk mencurahkan perhatian, bertanya tentang apa masalah anak, bertukar pikiran, dan berbagi rasa dengan anak. Dengan tidak menerima kasih sayang dari orang tua maka anak pun mencari kesenangan denganĀ  lain untukĀ  menghibur dirinya walaupun dengan cara bagaimanapun. Cara mengamen adalah salah satu penghiburan diri bagi anak karena dengan bernyanyi sebagai pengamen dapat menghibur hati, menungkapkan isi hati, dan menghabiskan waktu,

3. Rasa ikut-ikutan

Anak dipengaruhi lingkungan atau teman sebaya untuk mencari hiburan, menghindari pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah atau merasa hebat akan dirinya. Padahal jika ditesuri, sebenarnya niat seorang anak, segi ekonomi, tidak membuat anak menjadi seorang pengamen, tetapi hanya karena ikut-ikutan atau dipengaruhiĀ  maka seorang anak pun melakukannya. Dengan melihat situasi ini meskipun anak pengamen harus mengalami panas terik, hujan, caci maki, pukulan, tetap memiliki jumlah yang banyak. Hampir ditiap persimpangan jalan dapat ditemui di pasar, di rumah makan, terminal, dan sebagainya atau sudah menjadi suatu bagian dari budaya Kota Medan Telah banyak yang memberi pandangan secara sosiologis/antropologis atau budaya baik yang bersifat positif/mendukung dan negatif/mengkritik. Akan tetapi hal yang sering muncul adalah bersifat negatif dari berbagai kalangan seperti akan menganggu kemacetan lalu lintas, kurangnya nilai estetika tata ruang kota, dan menganggu kenyamanan yang berkendaraan. Menurut penulis bahwa psikologis anak pengamen ini tidak memiliki rasa malu, tidak peduli atau acuh tak acuh, dengan tujuan agar keberadaan mereka diterima masyarakat sebagai bentuk budaya baru. Agar keberadaan mereka tetap eksis anak pengamen juga berupaya untuk melawan berbagai pihak baik pihak hukum dan non hukum hanya untuk mempertahankan harga diri dan rasa solidaritas diantara mereka.

Fenomena sosial kehidupan anak pengamen memiliki dua arti yaitu pengaruh yang hanya bekerja di jalanan dan menunjukkan gaya kehidupan di jalanan. Bekerja di jalananĀ  artinya mencari nafkah hanya mengandalkan pengamen untuk kebutuhan hidup sedangkan gaya hidup di jalanan hanya sekedar mewujudkan dapat hidup dijalananĀ  dan tidak hanya mengandalkan hasil pengamen. Dari segi usia sebenarnya anak pengamen tidak wajar melakukannya dengan alasan orang tua harus memiliki tanggung jawab dan memberi kasih saysng kepada anaknya. Meskipun orang tua tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebaiknya anak tidak dibolehkan mengamen lebihĀ  baik menjual makanan atau kebutuhan kecil-kecil dengan cara berkeliling untuk menambah kebutuhan hidup walaupun keuntungan tidak besar.

Menurut penulis akibat dari fakta diatas maka anak pengamen mengakibatkan tidak peduli aturan hukum, mengalami tekanan batin dan frustasi sosial sehingga anak pengamen selalu merasa tidak nyaman dan memiliki sifat keterpaksaan melakukannya. Khususnya di Kota Medan anak pengamen sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik dimana anak yang masih dibawah umur, masih membutuhkan kasih sayang belum wajar untuk melakukan pengamen terlebih dalam waktu satu harian. Dalam arti jika satu hari seorang anak mengamen maka keesokan harinyaĀ  tidak mengamen, sedangkan yang bukan seharian anak pengamen hanya dalam waktu tertentu. Dengan situasi ini maka anak juga memiliki keterbatasan menyelesaikan pekerjaan rumah, sekolah, sehingga mengalami kegagalan.ā€˜

Untuk itu sebagai orang tua harus mampu memberikan tanggung jawab dan kasih sayang kepada anak agar tidak terjadi anak pengamen di tengah kota. Disamping itu aparat hukum memiliki aturan yang tegas terhadap hukum, hukum harus ditegakkanĀ  demi masa depan anak bangsa. Apabila hal-hal ini dilakukan maka sangat tipis kemungkinan munculnya anak pengamen di jalanan yang saat ini telah menjamur. Selain itu juga jika anak pengamen tidak muncul di tengah kota maka nilai estetika kota pun ada, hal-hal yang tidak diinginkan pun tidak terjadi. Sehingga untuk menuju Kota Medan Metropolitan pun terwujud walaupun masih membutuhkan perbaikan-perbaikan dibidangĀ  yang lain.

Penulis Dosen Pendidikan Ā 
Antropologi FakultasĀ  IlmuĀ  Sosial
UniversitasĀ  NegeriĀ  Medan (UNIMED)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/