Oleh: Budi Hatees
Bagi sebagian warga bangsa, “merdeka” adalah kata sifat yang nilainya relatif. Sebagian lain barangkali menganggap kata itu tak bermakna, apalagi bila dikait-kaitkan dengan hal-hal yang harus konkret karena identik dengan kata “merdeka”. Sebut saja kata “kebebasan”, “hak asasi manusia”, demokratisasi, dan lain sebagainya.
Subtansi dari paragraf di atas menemukan relevansinya pada pernyataan Plt Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho. Usai peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-67 Republik Indonesia, Gatot Pujo Nugroho menyatakan Sumut belum merasakan kemerdekaan di bidang ekonomi, khususnya soal realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sumut (baca: “Gatot: Kami Minta Kemerdekaan”, Sumut Pos edisi 18 Agustus 2012).
Pernyataan itu menarik disikapi, terutama jika dikaitkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di era otonomi daerah terkait sumber-sumber pendapatan daerah. Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi terbesar ketiga di negeri ini, sejak sebelum merdeka merupakan surga bagi para pelaku agrobisnis dan agroindustri.
Sejarah perkebunan tembakau yang riuh sejak zaman kolonialisme sampai perkebunan sawit dan karet di era sekarang, menempatkan Sumatera Utara (Sumut) sebagai sebuah daerah yang pertumbuhan ekonominya digerakkan oleh sektor perkebunan. Ragam komoditas perkebunan asal Sumut mendorong tumbuhnya segala sektor perekonomian di provinsi ini.
Namun, pertumbuhan ekonomi Sumut yang pada semester I/2012 mencapai 6,30 persen, justru ditopang oleh tingginya pertumbuhan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 12,67 persen. Sesuai data Biro Pusat Statistik (BPS), sumbangan sektor dan subsektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Sumut cuma 0,79 persen. Perekonomian Sumut banyak dipengaruhi geliat pertumbuhan pada sektor jasa.
Dengan realitas pertumbuhan ekonomi seperti itu, bisa dibilang bahwa pernyataan Gatot terkait kemerdekaan di bidang ekonomi bagi Sumut lebih berorientasi pada upaya memudahkan kinerja pemerintah daerah dalam menggerakkan pembangunan daerah.
Artinya, sebagai pejabat sementara Gubernur Sumut, Gatot menghadapi banyak kendala terkait peningkatan kualitas pembangunan daerah. Terutama kendala di bidang sumber-sumber pembiayaan pembangunan daerah. Sudah umum dikeluhkan elite-elite pemerintah daerah bahwa sumber utama pembiayaan pembangunan daerah sangat minim. Akibatnya, dinamika pembangunan daerah kurang dinamis, sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan publik senantiasa terkendala.
Secara tidak langsung, pernyataan menuntut kemerdekaan di bidang ekonomi merupakan pengakuan atas “kegagalan” Gatot dalam mengatasi masalah minimnya sumber pembiayaan pembangunan daerah. Intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD) seperti retribusi dan pajak tak kunjung bisa dimaksimalkan, sehingga sumber-sumber pembiayaan pembangunan tak kunjung bertambah sementara tuntutan pembangunan semakin banyak.
Ada banyak faktor yang menyebabkan Gatot gagal melakukan berbagai upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi retribusi dan pajak untuk peningkatan sumber pembiayaan pembangunan daerah. Pertama, posisinya sebagai pelaksana tugas Gubernur Sumut tidak memberikan kekuatan hukum tetap untuk mengeluarkan regulasi-regulasi terkait intensifikasi maupun ekstensifikasi sumber-sumber retribusi dan pajak. Hal ini rawan terhadap munculnya penolakan dari publik terutama bila berdampak terhadap munculnya ekonomi biaya tinggi yang akan menghambat sektor usaha.
Kedua, Pemprov Sumut memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap ragam upaya intensifikasi dan ekstensifikasi retribusi dan pajak karena pengalaman di masa lalu menunjukkan pemerintah pusat membatasi peraturan-peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku terkait retribusi dan pajak di daerah.
Akibatnya, upaya-upaya kreatif tidak pernah dilakukan sehingga tingkat ketergantungan Pemprov Sumut terhadap sumber-sumber pembiayaan yang ada sudah baku dan stagnan. Segala upaya kreatif dipandang akan sia-sia. Ketiga, elite-elite Pemprov Sumut terlalu dimanjakan oleh sumber-sumber pembiayaan pembangunan dari pusat seperti dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH) sumber daya alam. Sekalipun Dana-dana dari pusat itu sangat tergantung terhadap celah fiscal (fiscal gap) daerah, sehingga pemerintah daerah bisa memainkan strategi tertentu untuk menaikkan menaikkan kebutuhan dan kapasitas fiscal daerahnya.
Faktor terakhir ini telah melenakan pemerintah daerah, termasuk Pemprov Sumut. Karena itu, ragam upaya dilakukan pemerintah daerah untuk mengeruk keuntungan lebih besar dengan mengelola sumber daya alamnya. Salah satu upaya pemerintah daerah dilakukan dengan cara menggugat undang-undang yang berlaku yang tidak memberi wewenang kepada daerah untuk mendapat hak terhadap hasil perkebunan. Dalam UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa pungutan hasil pajak komoditas perkebunan tidak dibagihasilkan pemerintah pusat kepada daerah. Undang-undang ini banyak ditentang daerah, terutama daerah-daerah yang memiliki sektor perkebunan besar.
Sektor-sektor usaha skala besar yang ada di Sumut, terutama yang bergerak di dunia agrobisnis dalam bentuk perkebunan besar swasta (PBS) maupun Badan Usahan Milik Negara (PTPN) dengan produk berupa industri pengolahan karet maupun CPO (cruid palm oil), tidak bisa diutak-atik Pemprov Sumut.
Pemda hanya berhak terhadap segala urusan terkait pengalokasian lahannya untuk usaha skala besar menjadi hak pemerintah daerah sebagaimana diuraikan dalam Pasal 11 UU No 22 Tahun 1999. Artinya, sebesar apapun potensi perkebunan yang dimiliki Sumut, hal itu tidak banyak membantu menjadi sumber pertambahan PAD. Sementara sejumlah potensi sumber PAD yang pernah dinikmati daerah, kini dipangkas pemerintah pusat pasca pemberlakuan UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.
Alhasil, sumber dana pemerintah daerah untuk membiaya proses pembangunan sangat minim, sehingga pemerintah daerah lebih banyak mengharapkan kucuran dana dari pemerintah pusat berupa dana perimbangan. Kemerdekaan Sumut di bidang ekonomi seperti diungkapkan Gatot sesungguhnya lebih tepat disebut bukan sebagai tuntutan kemerdekaan, melainkan sebagai pengakuan atas ketakberdayaan Plt Gubsu dalam menggerakkan roda pembangunan daerah di era otonomi daerah.
Kemanjaan yang diberikan pemerintah pusat melalui DBH sumber daya alam membuat Plt Gubsu teranja-anja dan ingin memperoleh hasil lebih. Padahal, ada solusi yang bisa ditempuh terkait “penghematan” penggunaan dana-dana APBD. Sudah umum diketahui, bahwa sebagian besar dana APBD Sumut dialokasikan untuk kepentingan belanja pegawai, bukan untuk kepentingan publik. Belanja pegawai menyebabkan dana-dana rakyat itu tidak bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat. Apalagi bila dikaitkan dengan watak elite di Sumut yang cenderung korup dan identik dengan KKN dalam mengelola dana-dana APBD.
APBD setiap tahun menjadi tumpukan dana yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil. Padahal, sumber dana APBD Sumut setiap tahun ditopang oleh sumber dana perimbangan yang digelontorkan oleh pusat, mencapai 50 persen bahkan lebih 50 persen dari total dana yang ada pada rencana pembiayaan dalam APBD Sumut. Jika dilihat dari realisasi dana perimbangan yang masuk ke Sumut dari tahun ke tahun, maka dana perimbangan menjadi satu-satunya sumber pembiayaan pembangunan daerah yang diharapkan di era otonomi daerah saat ini.*
Penulis pengajar komunikasi di Fisipol Universitas Bandar Lampung (UBL)