Setelah Sutan Bhatoegana mengeluarkan pernyataan pedas, bahwa lengsernya Gus Dur dari jabatannya sebagai Presiden karena ia terlibat kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate. Sontak para pengagum Gus Dur mengecam pernyataan Sutan sebagai fitnah dan pelecehan terhadap Gus Dur sebagai mantan Presiden dan Guru Bangsa.
Oleh: Masduri
Bahkan bukan hanya dalam bentuk pernyataan, banyak dari pengagum Gus Dur yang melakukan aksi demonstrasi di depan gedung Partai Demokrat, seperti yang dilakukan GP Ansor, Garda Bangsa, PMII dan beberapa organisasi lain baik dari kalangan pesantren ataupun warga NU secara umum. Tindakan itu tidak lain untuk meluruskan sejarah kepemimpinan Gus Dur ketika menjabat sebagai Presiden. Agar rakyat Indonesia tidak amnesia sejarah bangsanya. Lebih dari itu, mereka juga menuntut agar Sutan mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada keluarga, warga NU, dan kepada seluruh rakyat Indonesia. Bahkan mereka menuntut agar pengurus Partai Demokrat memecat Sutan baik dari anggota partai maupun DPR.
Pernyataan Sutan tersebut berawal saat ia merasa kesal dengan pernyataan Adhie Massardi, mantan Juru Bicara Gus Dur dam Koordinator Gerakan Indonesia Bersih, dalam Dialog Kenegaraan DPD RI bertema “Pembubaran BP Migas untuk Kemakmuran Rakyat” pada 21 November lalu, yang mengatakan bahwa migas nasional menjadi ajang korupsi dan mafia migas yang dilindungi rezim SBY. Sebagai politisi Partai Demokrat tentu Sutan juga tidak terima jika tokoh Partai Demokrat, SBY, yang saat ini menjabat sebagai Presiden dianggap melindungi korupsi dan mafia migas, ia pun mengeluarkan pernyataan pedas jika Gus Dur pun dilengserkan karena terlibat kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate.
Bagi penulis, sebenarnya Sutan juga ingin membela tokoh partainya, karena SBY dilecehkan oleh Adhie Massardi. Sehingga kemudian Sutan menyatakan Gus Dur lengser karena kasus korupsi, sebagai tandingan pernyataan Adhie Massardi yang menganggap SBY melindungi korupsi dan mafia migas. Pada prinsipnya, apa yang dilakukan Sutan, sama seperti yang dilakukan warga Nahdhiyyin, baik melalui GP Ansor, Garda Bangsa, PMII dan beberapa organisasi lain dari kalangan pesantren, yang saat ini menuntut Sutan menarik pernyataannya dan meminta maaf. Mereka menganggap bahwa Gus Dur tidak korupsi dan dia orang bersih. Sutan dengan demikian, sebenarnya juga ingin membela, bahwa SBY tidak melindungi koruptor dan mafia migas. Rezim SBY adalah rezim yang bersih bagi Sutan, sama seperti anggapan warga Nahdhiyyin bahwa kepemimpina Gus Dur adalah rezim yang bersih.
Antara Gus Dur dan SBY
Kalaupun kedua pihak pada prinsipnya sama-sama ingin membela tokohnya masing-masing, namun rakyat Indonesia lebih dewasa untuk menilai mana yang terbaik antara kedua tokoh tersebut. Gus Dur menjadi Presiden Indonesia memang tidak lama seperti yang dialami SBY saat ini, SBY sudah memenagkan dua preiode pemilihan umum sebagai presiden. Namun Gus Dur tetaplah mantan Presiden dan Bapak Bangsa yang mengesankan dan berjasa besar bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya karena ia dulu pernah menjabat sebagai presiden, lebih dari itu, perjuangan kemanusiaan yang dilakukan Gus Dur telah meraup simpati luar biasa dari rakyat Indonesia, misalnya gagasannya tentang demokrasi dan pluralisme. Tak ayal ketika Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009, banyak kalangan, baik Muslim atapun non-Muslim berdatangan ke makam Gus Dur guna mendoakan Gus Dur menurut keyakinan mereka masing-masing.
Pada saat Gus Dur menjabat sebagai presiden banyak sekali gebrakan-gebrakan besar yang dilakukan dirinya. Salah satunya, membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim Suharto dalam menguasai media, dan membubarkan Departemen Sosial yang korup. Selain itu, banyak sekali tindakan Gus Dur yang dianggap kontroversial dan sulit dilogikakan. Ia juga sempat memecat beberapa menteri yang dianggap melakukan tindakan korupsi, bahkan ia pernah mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya meminta pembubaran MPR dan DPR. Ketegasan dan keberanian Gus Dur inilah yang saat ini sulit dimiliki oleh pemimpin kita, termasuk Presiden SBY sekalipun. Terutama ketegasan dalam memerangi korupsi.
Saat ini kepemimpinan SBY terus diguncang beragam persoalan korupsi, dulu SBY dengan sangat lantang akan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Tapi ternyata itu hanya omong kosong. Bahkan politisi Partai Demokrat yang notabene partai yang mendukung SBY menjadi Presiden banyak yang terlibat kasus korupsi, seperti Amrun Daulay, Sarjan Tahrir, Yusran Aspar, Muhammad Nazaruddin, dan Angelina Sondakh. Sutan Bhatoegana pun diduga terlibat kasus korupsi pengadaan solar home system (SHS) di Ditjen Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Bahkan yang sangat miris, Wakil Presiden, Budiono, sekarang sedang santer diberitakan terlibat dalam kasus korupsi Bank Century. Sungguh ini tantangan besar bagi Presiden SBY.
Namun SBY rasanya tidak seberani Gus Dur, ia masih gugup memecat kadernya ataupun pejabat yang terlibat kasus korupsi. Sehingga SBY seperti orang plinplan, atau bahkan amnesia terhadap ucapannya sendiri pada Pemilu 2009 lalu yang dengan lantang akan memberantas korupsi. Sementara kepemimpinan SBY sudah akan berakhir pada 2014 nanti, namun persoalan korupsi terus berkembang biak seperti jamur di musim hujan. Berbeda dengan Gus Dur, dengan sangat berani ia memecat para pemerintah yang dianggap melakukan tindakan korupsi, meskipun ia sadar akan berhadapan dengan banyak politisi busuk yang bisa mengancam posisi dirinya sebagai presiden. Dan itu benar-benar terjadi, pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur dimakzulkan dari kedudukannya sebagai Presiden oleh MPR RI, digantikan dengan Megawati Soekarnoputri.
Pemakzulan Gus Dur inilah yang dianggap konspirasi politik busuk yang dilakukan oleh para politisi, karena tidak suka dengan gaya kepemimpina Gus Dur. Baik karena alasan mengeluarkan dekrit kontroversial yang ingin membubarkan MPR dan DPR ataupun alasan mengada-ada, bahwa Gus Dur terlibat kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate. Yang pasti, mereka melakukan itu karena ada kepentingan politik, yang kemudian dalam sidang MPR RI tersebut menetapkan Megawati sebagai Presiden ke-5 RI. Sebab sampai saat ini, keterlibatan Gus Dur dalam kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate tidak bisa dibuktikan secara hukum. Maka tak ayal ketika Sutan Bhatoegana mengeluarkan pernyataan Gus Dur dilengserkan karena kasus korupsi Buloggate dan Bruneigate, sontak semua pengagum Gus Dur marah besar kepada Sutan. Mereka meminta Sutan menarik pernyataannya dan meminta maaf. Bahkan lebih dari itu, mereka juga meminta kepada Partai Demokrat agar Sutan dipecat.
Gus Dur juga Manusia
Banyak orang mengagumi Gus Dur, bukan hanya karena ia sosok pemimpin yang baik, tetapi juga karena jasa-jasa Gus Dur bagi kemanusiaan sangat besar sekali, terutama dalam hal demokrasi dan pluralisme. Namun kekaguman itu tidak boleh berlebihan apalagi sampai mengkultuskan Gus Dur. Sehingga Gus Dur seolah-olah tidak pernah salah. Sementara Gus Dur juga manusia, yang bisa salah juga bisa benar, termasuk ketika ia menjabat sebagai Presiden, tentu tidak semua kebijakannya benar. Karena itu, tindakan demonstrasi yang dilakukan oleh para pendukung Gus Dur atas pernyataan Sutan Bhoetagana jangan sampai berlebihan, apalagi sampai anarkis. Seandainya Gus Dur masih hidup, pasti ia melarang demonstrasi yang mengganggu lalu lintas, apalagi sampai anarkis.
Menuntut Sutan menarik pernyataan dan meminta maaf, bagi penulis masih wajar, sebagai bentuk pelurusan sejarah perjuangan Gus Dur terhadap bangsa Indonesia. Dan Sutan sudah benar-benar minta maaf kepada kelauarga Gus Dur. Tetapi jika sampai meminta Partai Demokrat memecat Sutan Bhoetagana dari anggota partai ataupun DPR itu berlebihan. Karena ini persoalan politik, biarkan pengurus Partai Demokrat bertidak sendiri, karena penulis yakin, mereka lebih paham tentang aturan partainya. Bahkan penulis menilai mereka yang berdemo menuntut Sutan menarik pernyataan dan meminta maaf, apalagi sampai meminta Partai Demokrat memecat Sutan, juga tidak lepas dari kepentingan politik. Oleh sebab itu, kiranya pernyataan Sutan Bhatoegana tersebut disikapi secara bijak dan jauh dari emosi. Sebab sebaik apapaun Gus Dur, ia tetap manusia. Namanya manusia, pasti tidak lepas dari salah, seperti hadis Nabi Muhammad, “Setiap bani Adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat” (HR. Imam Ahmad). (*)
*)Masduri, Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.