26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Disparitas Kekayaan Koruptor dengan Rakyat Miskin

Kita sudah biasa mendengar atau pun membaca berita korupsi di negeri ini. Sehingga persoalan korupsi tidak lagi mengagetkan pendengaran kita, lantaran setiap hari berita korupsi menjadi suguhan berbagai media massa. Korupsi seolah benar-benar menjelma sebagai budaya di Indonesia. Gurita korupsi membentuk semacam lokus hidup yang membuat nama bangsa kita bukan lagi “Indonesia” jika korupsi sudah binasa. Korupsi telah menjadi bagian dari “budaya” bangsa. Sehingga memunculkan guyonan jika korupsi sudah menjadi budaya, berarti para koruptor itu “budayawan”.

Oleh: Masduri

Dalam perkembangannya, belakangan ini hukum semakin tajam menghunuskan pedangnya bagi koruptor. Banyak petinggi-petinggi partai yang mendekam dalam penjara lantaran tindakan korupsi. Menteri aktif yang dahulu sangat tidak mungkin disentuh hukum, kini sudah ada menteri yang mendekam dalam penjara. Anggota DPR yang tersangkut korupsi sudah tidak bisa dihitung dengan jari lagi. Bahkan yang saat ini santer terus menjadi pemberitaan media adalah kasus korupsi Jenderal Djoko Susilo. Sudah banyak kekayaan Djoko Susilo yang disita KPK.

Kekayaan jenderal polisi bintang dua yang telah disita KPK antara lain berupa tanah, bangunan rumah, SPBU dan juga mobil mewah. Sebanyak enam rumah di tiga kota, yaitu Semarang, Solo dan Yogyakarta disegel KPK. KPK juga menyegel tiga rumah di Jakarta dan dua rumah di Depok, Jawa Barat. Baru-baru ini, KPK kembali menyita tiga Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang diduga miliki Djoko Susilo. Sekarang ini KPK telah mencatat harta yang “dirampas” sekitar Rp 70 miliar, dari total kekayaan Djoko yang ditaksir mencapai Rp 100 miliar lebih.

Kekayaan sebanyak itu tentu diperoleh dari cara-cara kotor. Tidak mungkin seorang jenderal kepolosian bisa mendapatkan uang sebanyak itu dari gajinya. Djoko Susilo pasti telah menilap banyak uang proyek untuk kekayaan pribadinya. Tindakan Djoko Susilo semakin memperjelas betapa sangat rakusnya manusia terhadap kekayaan. Ia telah mengorbakan kehormatan dirinya demi kebahagian sesaat. Saat ini ia harus menanggung akibat dari perbuataan buruknya. Selain kehormatan diri, nama baik, jabatan yang hilang, ia juga harus mendekam dalam penjara. Bahkan kekayaan yang dulu dikumpulkannya dari korupsi kini disita KPK.

Begitulah manusia yang tidak sadar makna kelahirannya ke dunia. Ia tidak sadar akan diri dan lingkungannya. Seolah-olah hidup ini hanya miliknya sendiri. Tanggung jawab di kepolisian sekalipun yang mestinya dijaga dengan baik ia abaikan demi meraup kekayaan yang banyak. Sehingga rakyat menajdi korban. Tindakan korupsi yang Djoko Susilo lakukan semakin memperjelas tesis Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Djoko Susilo menjelma sebagai serigala kehidupan bagi rakyat miskin yang terlunta-lunta di bawah.

Rakyat miskin semakin sulit untuk sejahtera. Mereka terus didera persoalan finansial. Untuk biaya makan dan pendidikan pun mereka harus terlunta-lunta. Sementara para koruptor terus menumpuk kekayaannnya. Kekayaan Djoko Susilo yang begitu banyak itu hanya secuil dari kekayaan koruptor yang terungkap. Lain lagi yang belum tersadap oleh KPK, pasti pasti lebih banyak lagi. Apalagi jumlah koruptor sangat banyak. Mereka pasti telah mengeruk banyak kekayaan negara untuk kepentingan pribadinya. Kita sangat berharap KPK semakin tegas dan lebih keras lagi bekerja untuk terus mengungkap kasus-kasus korupsi dan mengembalikan semua kekayaan negara yang telah dicuri koruptor.

Selama ini tindakan koruptor sangat ampuh dalam upaya pelanggengan kemiskinan. Mereka telah membentuk semacam jurang hidup yang terus memprosokkan rakyat miskin ke dalam jurang yang semakin dalam. Sehingga memunculkan disparitas kehidupan yang sangat jauh. Yang miskin semakin miskin, semantara koruptor yang memang kaya semakin kaya raya lantaran menumpuk kekayaan negara untuk kepentingan pribadinya. Problem ini sudah berlangsung sejak lama. Sampai sekarang suguhan data-data tentang penurunan angka kemiskinan hanya sebatas angka-angka statistik saja. Realitas sesungguhnya sangat jauh. Kemiskinan benar-benar menggurita. Banyak di pedalaman sana, mereka harus terlunta-lunta seharian untuk sekedar mendapat makan. Bahkan kadang-kadang mereka harus menahan lapar berhari-hari karena tidak memiliki uang untuk membeli makan. Sedangkan elit pemerintah yang sudah mendapat gaji banyak, masih terus menumpuk kekayaan dari jalan kotor.

Sangat sulit rasanya mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang berdaulat, adil, dan makmur. Jika elit pemerintah terus mereproduksi tindakan korupsi. Kenyataan yang kita hadapi saat ini, jika satu koruptor tertangkap satu, maka akan menyeret banyak orang lagi, karena mereka melakukan korupsi berjamaah. Ada persoalan sistemik yang memenjarakan mereka dalam kungkungan prilaku korupsi. Korupsi membentuk sistem yang utuh, hingga kadang-kadang meski tak ada niat untuk korupsi, karena kesempatan terbuka lebar, akhirnya mereka tak mampu menahan godaan.

Begitu riuh dan ribetnya gurita korupsi di negeri ini, sehingga kita seolah frustasi menghadapi beragam persoalan korupsi yang terus berkembang biak. Namun kita harus tak patah arang. Masih terbuka lebar kesempatan untuk terus berubah lebih baik. Kehidupan kebangsaan pada prinsipnya tetap berakar pada kesadaran masing-masing individu yang kemudian membentuk kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif itulah yang nanti akan merubah paradigma dan prilaku kebangsaan. Jika Ernest Renan merumuskan bahwa dasar kebangsaan adalah “le desir d’etre ensemble” yakni hasrat untuk bersama, serta rumusan otto bauer yang menyatakan “eine nastion ist eine aus schicksalsgemeinschaft erwachsene charaktergemeinschaft” yang berarti bangsa adalah komunitas yang bercita-cita yang tumbuh dari komunitas senasib. Maka kini, saatnya bangsa Indonesia kembali menggelorakan semangat kebangsaan untuk memusuhi koruptor dan tindakan korupsi. Demi kehidupan kebangsaan yang berdaulat, adil, dan makmur seperti diamanatkan UUD 1945. (*)

Penulis:  Ketua Umum Aliansi
Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) dan Pustakawan Pesantren
Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Kita sudah biasa mendengar atau pun membaca berita korupsi di negeri ini. Sehingga persoalan korupsi tidak lagi mengagetkan pendengaran kita, lantaran setiap hari berita korupsi menjadi suguhan berbagai media massa. Korupsi seolah benar-benar menjelma sebagai budaya di Indonesia. Gurita korupsi membentuk semacam lokus hidup yang membuat nama bangsa kita bukan lagi “Indonesia” jika korupsi sudah binasa. Korupsi telah menjadi bagian dari “budaya” bangsa. Sehingga memunculkan guyonan jika korupsi sudah menjadi budaya, berarti para koruptor itu “budayawan”.

Oleh: Masduri

Dalam perkembangannya, belakangan ini hukum semakin tajam menghunuskan pedangnya bagi koruptor. Banyak petinggi-petinggi partai yang mendekam dalam penjara lantaran tindakan korupsi. Menteri aktif yang dahulu sangat tidak mungkin disentuh hukum, kini sudah ada menteri yang mendekam dalam penjara. Anggota DPR yang tersangkut korupsi sudah tidak bisa dihitung dengan jari lagi. Bahkan yang saat ini santer terus menjadi pemberitaan media adalah kasus korupsi Jenderal Djoko Susilo. Sudah banyak kekayaan Djoko Susilo yang disita KPK.

Kekayaan jenderal polisi bintang dua yang telah disita KPK antara lain berupa tanah, bangunan rumah, SPBU dan juga mobil mewah. Sebanyak enam rumah di tiga kota, yaitu Semarang, Solo dan Yogyakarta disegel KPK. KPK juga menyegel tiga rumah di Jakarta dan dua rumah di Depok, Jawa Barat. Baru-baru ini, KPK kembali menyita tiga Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang diduga miliki Djoko Susilo. Sekarang ini KPK telah mencatat harta yang “dirampas” sekitar Rp 70 miliar, dari total kekayaan Djoko yang ditaksir mencapai Rp 100 miliar lebih.

Kekayaan sebanyak itu tentu diperoleh dari cara-cara kotor. Tidak mungkin seorang jenderal kepolosian bisa mendapatkan uang sebanyak itu dari gajinya. Djoko Susilo pasti telah menilap banyak uang proyek untuk kekayaan pribadinya. Tindakan Djoko Susilo semakin memperjelas betapa sangat rakusnya manusia terhadap kekayaan. Ia telah mengorbakan kehormatan dirinya demi kebahagian sesaat. Saat ini ia harus menanggung akibat dari perbuataan buruknya. Selain kehormatan diri, nama baik, jabatan yang hilang, ia juga harus mendekam dalam penjara. Bahkan kekayaan yang dulu dikumpulkannya dari korupsi kini disita KPK.

Begitulah manusia yang tidak sadar makna kelahirannya ke dunia. Ia tidak sadar akan diri dan lingkungannya. Seolah-olah hidup ini hanya miliknya sendiri. Tanggung jawab di kepolisian sekalipun yang mestinya dijaga dengan baik ia abaikan demi meraup kekayaan yang banyak. Sehingga rakyat menajdi korban. Tindakan korupsi yang Djoko Susilo lakukan semakin memperjelas tesis Thomas Hobbes, homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya. Djoko Susilo menjelma sebagai serigala kehidupan bagi rakyat miskin yang terlunta-lunta di bawah.

Rakyat miskin semakin sulit untuk sejahtera. Mereka terus didera persoalan finansial. Untuk biaya makan dan pendidikan pun mereka harus terlunta-lunta. Sementara para koruptor terus menumpuk kekayaannnya. Kekayaan Djoko Susilo yang begitu banyak itu hanya secuil dari kekayaan koruptor yang terungkap. Lain lagi yang belum tersadap oleh KPK, pasti pasti lebih banyak lagi. Apalagi jumlah koruptor sangat banyak. Mereka pasti telah mengeruk banyak kekayaan negara untuk kepentingan pribadinya. Kita sangat berharap KPK semakin tegas dan lebih keras lagi bekerja untuk terus mengungkap kasus-kasus korupsi dan mengembalikan semua kekayaan negara yang telah dicuri koruptor.

Selama ini tindakan koruptor sangat ampuh dalam upaya pelanggengan kemiskinan. Mereka telah membentuk semacam jurang hidup yang terus memprosokkan rakyat miskin ke dalam jurang yang semakin dalam. Sehingga memunculkan disparitas kehidupan yang sangat jauh. Yang miskin semakin miskin, semantara koruptor yang memang kaya semakin kaya raya lantaran menumpuk kekayaan negara untuk kepentingan pribadinya. Problem ini sudah berlangsung sejak lama. Sampai sekarang suguhan data-data tentang penurunan angka kemiskinan hanya sebatas angka-angka statistik saja. Realitas sesungguhnya sangat jauh. Kemiskinan benar-benar menggurita. Banyak di pedalaman sana, mereka harus terlunta-lunta seharian untuk sekedar mendapat makan. Bahkan kadang-kadang mereka harus menahan lapar berhari-hari karena tidak memiliki uang untuk membeli makan. Sedangkan elit pemerintah yang sudah mendapat gaji banyak, masih terus menumpuk kekayaan dari jalan kotor.

Sangat sulit rasanya mewujudkan cita-cita kemerdekaan untuk menciptakan kehidupan kebangsaan yang berdaulat, adil, dan makmur. Jika elit pemerintah terus mereproduksi tindakan korupsi. Kenyataan yang kita hadapi saat ini, jika satu koruptor tertangkap satu, maka akan menyeret banyak orang lagi, karena mereka melakukan korupsi berjamaah. Ada persoalan sistemik yang memenjarakan mereka dalam kungkungan prilaku korupsi. Korupsi membentuk sistem yang utuh, hingga kadang-kadang meski tak ada niat untuk korupsi, karena kesempatan terbuka lebar, akhirnya mereka tak mampu menahan godaan.

Begitu riuh dan ribetnya gurita korupsi di negeri ini, sehingga kita seolah frustasi menghadapi beragam persoalan korupsi yang terus berkembang biak. Namun kita harus tak patah arang. Masih terbuka lebar kesempatan untuk terus berubah lebih baik. Kehidupan kebangsaan pada prinsipnya tetap berakar pada kesadaran masing-masing individu yang kemudian membentuk kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif itulah yang nanti akan merubah paradigma dan prilaku kebangsaan. Jika Ernest Renan merumuskan bahwa dasar kebangsaan adalah “le desir d’etre ensemble” yakni hasrat untuk bersama, serta rumusan otto bauer yang menyatakan “eine nastion ist eine aus schicksalsgemeinschaft erwachsene charaktergemeinschaft” yang berarti bangsa adalah komunitas yang bercita-cita yang tumbuh dari komunitas senasib. Maka kini, saatnya bangsa Indonesia kembali menggelorakan semangat kebangsaan untuk memusuhi koruptor dan tindakan korupsi. Demi kehidupan kebangsaan yang berdaulat, adil, dan makmur seperti diamanatkan UUD 1945. (*)

Penulis:  Ketua Umum Aliansi
Mahasiswa Bidik Misi (AMBISI) dan Pustakawan Pesantren
Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/