Kabar gembira bagi masyarakat kaum miskin yang selama ini terpinggirkan dan ingin menikmati pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomitmen menjadikan 2012 sebagai tahun memberikan layanan kepada mereka yang tidak terjangkau. Kemendikbud pun telah memilih sebuah jargon yakni “Menjangkau Mereka yang Tidak Terjangkau”.
Oleh:
Stevan Ivana Manihuruk
Mendikbud, Muhammad Nuh menjelaskan, jargon tersebut merupakan bagian dari kelanjutan program keramahan sosial yang dicanangkan tahun 2011, yakni ketika Kemdikbud menjemput para lulusan SMA/MA/SMK dari keluarga miskin untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Lebih lanjut Muhammad Nuh menjelaskan, pengertian “tak terjangkau” bukan hanya tak terjangkau secara ke wilayahan, tapi juga sosial-ekonomi, bahkan kultural atau budaya.
Artinya, mereka yang masuk kategori miskin yang berada di perkotaan pun juga masuk dalam definisi “tak terjangkau” ini.
Dukungan sekaligus apresiasi tinggi tentunya pantas kita alamatkan kepada Kemendikbud yang secara sadar telah memilih dan merumuskan komitmen tersebut. Tentu saja kita juga berharap agar jargon yang sudah dipilih tidak menjadi jargon semata melainkan benar-benar diimplementasikan. Terlebih lagi, persoalan pendidikan di republik ini sudah sangat nyata. Bukan rahasia lagi, pendidikan sudah menjadi barang langka dan mahal yang hanya bisa dinikmati oleh minoritas kalangan tertentu saja.
Jika orang mampu (baca:kaya) bebas dan tinggal memilih tempat yang dianggap paling nyaman untuk menikmati pendidikan, kalangan orang miskin justru pusing pada pilihan melanjutkan pendidikan atau tidak karena keterbatasan biaya.
Faktanya, saat ini masih banyak anak usia sekolah yang tidak bisa menikmati pendidikan karena kemiskinan. Padahal menurut data yang ada, Indonesia mempunyai penduduk usia sekolah yang sangat besar, yakni 102,6 juta (Sofian Effendi, 2008). Jumlah ini berarti 28 kali lebih besar dari penduduk Singapura atau hampir 6 kali dari penduduk Australia.
Maka komitmen Kemendikbud yang ingin menjangkau mereka yang tidak terjangkau menimbulkan harapan baru bagi masyarakat miskin yang ingin mengecap pendidikan. Apalagi dalam beberapa waktu belakangan ini, kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dipersepsikan semakin tidak pro rakyat. Kampanye sekolah gratis yang digebyarkan pemerintah terbukti hanyalah komoditas politik semata tanpa realisasi yang nyata.
Ada lagi kebijakan “kastanisasi” sekolah dengan melekatkan embel-embel “internasional” pada sekolah tertentu. Ini sangat diskriminatif karena pada akhirnya sekolah “internasional” tersebut pun mematok biaya yang sangat mahal bagi siswa yang ingin mengecap pendidikan di sekolah tersebut. Sekali lagi, harapan si siswa miskin untuk mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas hanya menjadi harapan kosong.
Pada level perguruan tinggi, lebih nyata lagi. Dari tahun ke tahun, kuota bagi calon mahasiswa yang ingin masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri) melalui jalur seleksi nasional (reguler) semakin berkurang. Sebaliknya, semakin banyak jalur-jalur penerimaan mahasiswa baru di PTN-PTN favorit tentunya dengan syarat penambahan biaya yang lebih besar dari jalur reguler.
Permasalahan lainnya adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap ketersediaan dan kelayakan fasilitas pendidikan di beberapa tempat tertentu. Pembangunan infrastruktur pendidikan terutama di daerah-daerah terpencil masih sangat minim dan memprihatinkan. Belum lagi masalah kekurangan tenaga-tenaga pengajar yang bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Beberapa waktu lalu, media massa gencar menyoroti fakta bahwa di beberapa daerah, banyak siswa yang sangat kesulitan mencapai sekolahnya dan harus melewati jembatan dan juga menyeberangi sungai yang bisa membahayakan keselamatan nyawa mereka.
Amanat Konstitusi
Semangat pemerintah dalam hal ini Kemendikbud yang berkomitmen akan menjangkau mereka yang tidak terjangkau sebenarnya sudah merupakan kewajiban karena itu adalah amanat konstitusi. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat memuat salah satu visi kebangsaan yang ingin dicapai bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Poin ini juga dijadikan sebagai tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional. Penegasan tujuan pendidikan nasional juga termaktub di dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”.
Selain itu UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 3 juga menegaskan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Sangat jelas, konstitusi pun mensyaratkan tidak boleh ada diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bisa dinikmati oleh masyarakat tanpa memandang kelas ekonomi dan sosial. Demikian halnya upaya pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional harus dilakukan dengan tidak membuat sebagian masyarakat justru semakin kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas.
Sekali lagi, kita sangat mendukung serta berharap jargon Kemendikbud di tahun 2012 yang ingin menjangkau mereka yang tidak terjangkau benar-benar bisa dilaksanakan. Kita menantikan langkah-langkah nyata yang akan diambil oleh pemerintah dan bisa berdampak langsung terhadap kemajuan pendidikan nasional. Pendidikan harus lebih didekatkan kepada masyarakat karena sesuai amanat konstitusi; setiap warga negara berhak untuk mengecap pendidikan. Semoga.(*)
*Penulis adalah Alumnus FISIPOL USU, saat ini bekerja di UPT Kementerian Kehutanan, BPDAS Batanghari Jambi.