25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sedikit Tentang Danau Toba

Oleh: Ganda Hutahaean *)

Kita sudah mendengar banyak ‘syair’ tentang upaya pelestarian Danau Toba. Banyak institusi, kelompok, LSM, telah mengadakan seminar pun membentuk kegiatan lain dengan jargon kecintaan pada Danau Toba. Dan sepertinya masih akan lebih banyak lagi. Tapi, entahlah, dalam pandangan mata saya, Danau Toba tetap saja makin rapuh, cungkring dan akan masih tambah rapuh lagi. Setidaknya dalam konteks wisata, Danau Toba, mungkin, tak terselamatkan lagi.
Paragraf di atas mungkin akan mudah dituduh tersesat jika kita menilai daerah wisata hanya sekadar daerah yang dikunjungi oleh orang luar. Sebab, jika hanya sesederhana itu, percayalah, sudah hampir semua tempat di muka bumi ini yang dikunjungi orang luar, dan itu masih akan terus terjadi. Namun, selayaknya sebuah daerah wisata dimana ramai orang dari pelosok dunia berduyun mengunjungi karena ada sesuatu keindahan yang sangat dan spesifik, sepertinya tidak akan lagi.

Ada sangat banyak daerah kunjungan wisata yang ada di muka bumi ini. Daerah-daerah itu teridentifikasi dalam beberapa jenis atau variable. Ada daerah wisata budaya, daerah wisata ziarah, pertanian (agrowisata), religi, sejarah, kuliner, wisata konvensi, bahkan ada wisata minat khusus di mana orang-orang berdatangan ke suatu daerah, karena daerah tersebut memiliki suatu keunikan yang khas dan mungkin saja berupa kerajinan tangan atau keindahan arsitektur bangunan daerah dimaksud. Nah, Danau Toba sendiri yang saya ketahui adalah daerah wisata budaya.
Di sinilah  letak permasalahannya, sebagai tempat yang dikenali sebagai daerah kunjungan wisata budaya, bagaimana mungkin bisa berharap akan banyak wisatawan yang masih ingin berkunjung ke Danau Toba kalau berbagai objek yang merupakan petunjuk-petunjuk kebudayaan itu sudah hampir tidak ada lagi.

Sebutlah satu contoh semisal rumah adat Batak. Dalam konteks wisata budaya, rumah adat merupakan salah satu objek yang memiliki peran penting dalam memanggil wisatawan berkunjung. Dari desain juga dekorasi rumah adat, para turis akan mencoba mempelajari segala aspek kehidupan masyarakat setempat. Umumnya mereka selalu sangat tertarik untuk mengamati dan mempelajarinya. Apalagi rumah adat Batak. Bagaimana tidak? Rumah adat Batak disebut memiliki nilai artistik yang tinggi. Selain dibangun tanpa paku dan bisa dibawa berpindah-pindah, konon rumah-rumah yang dibuat dari kayu berusia ratusan tahun dan berukir berbagai simbol itu, juga tahan terhadap guncangan gempa.

Masalahnya sekarang ialah di Pulau Samosir saja, jumlah rumah adat Batak yang tersisa sudah tinggal sedikit.
Selain soal rumah adat, cara hidup masyarakat di sekitar Danau Toba juga sudah sangat berubah. Salah satu keunikan yang dulu sangat dikenal ialah banyaknya binatang piaraan berkeliaran diantara rumah-rumah penduduk. Para penduduk di sana beternak persis di bawah rumahnya yang berbentuk rumah panggung. Sering ternak piaraan itu dibiarkan lepas bebas di areal perkampungan. Namun sekarang pemandangan seperti itu sepertinya sudah tidak terlihat lagi.  Padahal, lagi-lagi, dalam konteks wisata budaya, hal-hal unik seperti itulah mengundang nafsu para wisatawan mancanegara untuk datang. Yang membuat orang-orang seperti orang dari Eropa sana mau datang karena penasaran ingin melihat secara langsung.

Sekarang ini yang secara jelas terlihat adalah rumah-rumah penduduk yang terbuat dari konstruksi beton, dibentuk persegi, selayaknya rumah-rumah pada umumnya di seluruh daerah perkotaan Indonesia. Kalau halnya demikian, apakah kita tidak berfikir bahwa turis akan cenderung memilih berkunjung ke Paris atau Spanyol yang memiliki bangunan dengan nilai sejarah dan desain artistik tinggi? Atau ke Jepang, atau ke kuil-kuil di Cina? Atau justru ke Papua? Atau ke tempat lain yang mungkin nama daerahnya sudah lebih nempel di otak Anda.

Dan juga cara berpakaian atau berdandan masyarakat di sana juga sudah cenderung modern. Sudah tidak lagi menunjukkan kebudayaan lokal. Bahkan acara-acara kebudayaan juga nyaris sudah tidak pernah lagi. Dan sekali lagi, ini dalam konteks soal wisata budaya.

Mungkin akan banyak dari kita tidak menerima argumen ini dengan alasan Danau Toba bukanlah hanya daerah wisata budaya tetapi juga daerah wisata panorama dengan pemandangannya yang indah!

Kalau begitu, marilah sudi meluangkan waktu untuk mencari tahu atau dengan sekedar browsing di internet ada berapa banyak daerah wisata panorama di dunia ini yang mungkin menjadi bahan pertimbangan turis untuk dikunjungi. Dan harap, dengan kondisi sekarang ini, jangan terlalu menggebu-gebu untuk menyebut Danau Toba akan menjadi pilihan kunjungan mereka.

Di Danau Toba, kawasan pantai untuk umum saja sudah hampir tidak ada lagi. Salah satu yang jelas terlihat adalah areal pantai sudah dikapling-kapling oleh pihak hotel. Soal bagaimana ini bisa terjadi, entahlah. Namun sepertinya pesan yang muncul ialah, jika anda ingin merasakan pantai yang seperti ini, maka menginaplah di hotel yang ini. Atau, jika anda ingin merasakan pantai seperti itu, maka menginaplah di hotel itu. Hahahaha…

Ya, ini memang sekadar tentang mungkin. Mungkin, para pelaku industri wisata termasuk pihak hotel beranggapan jika hotel memiliki pantai sendiri, apalagi dengan desain begitu buka jendela langsung bisa nyebur ke danau, pasti para turis senang dan akan banyak berdatangan. Yah, bayangan seperti itu yang paling gampang diduga. Tapi, benarkah demikian? Benarkah para turis khususnya turis mancanegara akan menyukainya? Tidakkah kita pernah berfikir bahwa mereka juga sangat memahami aturan tentang garis pantai? Sudahkah anda pernah menggelar pertanyaan semacam survey kepada para mereka? Saya sendiri pernah beberapa kali. Dan, mereka geram! Mereka kesal, geram, melihat hotel-hotel yang mereka nilai terlalu arogan menggunakan areal pantai untuk membangun kamar-kamar sewaan.  Maka maaf,  bagi saya, adalah terlalu berani jika para pelaku wisata dan orang-orang yang mengaku mencintai dunia pariwisata menyederhanakan logika para turis yang telah maupun akan berkunjung ke Danau Toba.

Hal fatal lain ialah, beberapa tahun belakangan juga santer terberitakan tentang tercemarnya air Danau Toba. Bahkan dikatakan sangat-sangat  tercemar. Tercemarnya dan pendangkalan air danau disinyalir akibat adanya aktivitas peternakan ikan dengan keramba apung dalam skala yang alamak, juga adanya peternakan babi dalam skala besar di Simalungun yang membuang limbahnya langsung ke sungai yang alirannya bermuara ke Danau Toba. Tidak hanya itu, hutan di sekitar yang berfungsi vital sebagai penyangga danau Toba juga dikatakan sudah rusak parah karena adanya aktifitas eksploitasi.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah para manusia berencana atau sudah pernah berkunjung tidak mengetahui hal itu? Atau kita beranggapan bahwa mereka tidak akan peduli dengan hal seperti itu? Apakah dengan menggelar promosi dengan mengatakan bahwa Danau Toba adalah indah disertai tampilan foto yang juga pasti indah sudah cukup untuk mendatangkan turis? Apakah kita mengira mereka tidak akan mencari tahu informasi lain selain dari selebaran atau tayangan promosi itu? Apakah intelektualitas mereka hanya sampai di situ?

Suatu senja pada awal tahun 2000 lalu, di pelabuhan kecil pantai seberang Atsari Hotel, Parapat, saya pernah bertemu seorang turis dari Belanda. Si turis seorang lelaki berusia tua. Awalnya saya sudah beberapa jam memancing ikan di sekitar pantai, kemudian ketika menoleh ke kanan ke arah pelabuhan, saya melihat seorang lelaki tua sedang memandangi danau dari atas pelabuhan itu.

Tergoda untuk menguji kemampuan berbasa inggris saya, saya menemui dan menyapa. Balasannya atas sapaan saya langsung membuat saya terkejut dan merasa ragu. Saya menyapa dalam bahasa Inggris dan ia membalas dengan bahasa Indonesia.

Namun bukan itu sesungguhnya yang membuat saya terkejut dan ragu untuk meneruskan perbincangan. Tetapi saya melihat air sedang mengalir dari mata tuanya. Ternyata si turis tua kita sedang menangis sambil memandangi danau.
Meski merasa misi awal sudah hambar, entah bagaimana saya beranikan bertanya kenapa ia menangis. Meski sebenarnya saya takut mengajukan pertanyaan seperti ini karena terasa terlalu intim. Dan sambil menatap mata saya ia menjawab bahwa ia menangis karena Danau Toba.

Sesungguhnya ia sudah beberapa kali ke Danau Toba. Terakhir kali ia membawa serta seluruh keluarganya dari Belanda pada awal tahun 80an dulu. Saat itu, ia bercerita, cuaca Danau Toba masih sangat dingin. Bahkan meski di negaranya cuaca terkenal dingin, ia selalu membutuhkan mantel jika tiba di danau ini.

Tangannya lalu menunjuk bukit-bukit yang tampak di sekitar Parapat. Di atas itu, katanya, dulu penuh dengan pemandangan pohon-pohon. Pemandangan bukit-bukit yang mempesona itulah menurutnya membuat cuaca di sini sangat dingin. Tidak sekedar memberi sensasi dingin, banyaknya pohon itu menurutnya juga berkontribusi sangat besar dalam memberikan pemandangan yang dramatis di permukaan danau Toba.

Dulu, baik pagi, siang atau sore selalu tampak kabut di atas air danau toba. Nah, cahaya matahari yang terhalang dan coba menembus kabut, memberikan pemandangan garis-garis cahaya yang indah di permukaan danau. Hal itu juga menurutnya sering memberikan efek munculnya kilauan cahaya warna-warni dipermukaan danau yang sangat dramatis. Dan itulah selalu ia rindukan di danau ini.

Dia menceritakannya dengan sorot mata serius dan berbinar. Saya sendiri susah membayangkannya karena tidak sempat melihat panorama seperti yang diceritakannya itu. Namun saat bertemu saya itu, dia tidak mendapatkan itu lagi. Bahkan air yang menurutnya dulu sangat jernih sehingga bisa melihat langsung banyak ikan bermain di dalamnya, sekarang sudah kotor. Dia menangis. Dia adalah mantan tentara belanda yang pernah bertugas di daerah ini di masa penjajahan dulu.

Meski tidak sempat menikmati pemandangan seperti yang ceritakan oleh dia, Danau Toba memang sudah sakit berat. Dan meski akan banyak kegiatan digelar dengan jargon kecintaan terhadap Danau Toba saya ragu kegiatan-kegiatan seperti itu akan mampu menyelamatkannya. Karena masalahnya sudah sangat-sangat serius. Saya memang tidak mendalami ilmu olah vocal tapi saya tidak yakin dengan menggelar panggung bernyanyi maka Danau Toba akan terselamatkan, para turis akan berdatangan.

Saya juga tidak suka disebut pesimis, tapi memohon, jika berbicara tentang masalah kepariwisataan di Danau Toba, janganlah lagi berkutat sekedar di persoalan karakter masyarakat dengan analogi si penjual mangga. Horas! (*)

Oleh: Ganda Hutahaean *)

Kita sudah mendengar banyak ‘syair’ tentang upaya pelestarian Danau Toba. Banyak institusi, kelompok, LSM, telah mengadakan seminar pun membentuk kegiatan lain dengan jargon kecintaan pada Danau Toba. Dan sepertinya masih akan lebih banyak lagi. Tapi, entahlah, dalam pandangan mata saya, Danau Toba tetap saja makin rapuh, cungkring dan akan masih tambah rapuh lagi. Setidaknya dalam konteks wisata, Danau Toba, mungkin, tak terselamatkan lagi.
Paragraf di atas mungkin akan mudah dituduh tersesat jika kita menilai daerah wisata hanya sekadar daerah yang dikunjungi oleh orang luar. Sebab, jika hanya sesederhana itu, percayalah, sudah hampir semua tempat di muka bumi ini yang dikunjungi orang luar, dan itu masih akan terus terjadi. Namun, selayaknya sebuah daerah wisata dimana ramai orang dari pelosok dunia berduyun mengunjungi karena ada sesuatu keindahan yang sangat dan spesifik, sepertinya tidak akan lagi.

Ada sangat banyak daerah kunjungan wisata yang ada di muka bumi ini. Daerah-daerah itu teridentifikasi dalam beberapa jenis atau variable. Ada daerah wisata budaya, daerah wisata ziarah, pertanian (agrowisata), religi, sejarah, kuliner, wisata konvensi, bahkan ada wisata minat khusus di mana orang-orang berdatangan ke suatu daerah, karena daerah tersebut memiliki suatu keunikan yang khas dan mungkin saja berupa kerajinan tangan atau keindahan arsitektur bangunan daerah dimaksud. Nah, Danau Toba sendiri yang saya ketahui adalah daerah wisata budaya.
Di sinilah  letak permasalahannya, sebagai tempat yang dikenali sebagai daerah kunjungan wisata budaya, bagaimana mungkin bisa berharap akan banyak wisatawan yang masih ingin berkunjung ke Danau Toba kalau berbagai objek yang merupakan petunjuk-petunjuk kebudayaan itu sudah hampir tidak ada lagi.

Sebutlah satu contoh semisal rumah adat Batak. Dalam konteks wisata budaya, rumah adat merupakan salah satu objek yang memiliki peran penting dalam memanggil wisatawan berkunjung. Dari desain juga dekorasi rumah adat, para turis akan mencoba mempelajari segala aspek kehidupan masyarakat setempat. Umumnya mereka selalu sangat tertarik untuk mengamati dan mempelajarinya. Apalagi rumah adat Batak. Bagaimana tidak? Rumah adat Batak disebut memiliki nilai artistik yang tinggi. Selain dibangun tanpa paku dan bisa dibawa berpindah-pindah, konon rumah-rumah yang dibuat dari kayu berusia ratusan tahun dan berukir berbagai simbol itu, juga tahan terhadap guncangan gempa.

Masalahnya sekarang ialah di Pulau Samosir saja, jumlah rumah adat Batak yang tersisa sudah tinggal sedikit.
Selain soal rumah adat, cara hidup masyarakat di sekitar Danau Toba juga sudah sangat berubah. Salah satu keunikan yang dulu sangat dikenal ialah banyaknya binatang piaraan berkeliaran diantara rumah-rumah penduduk. Para penduduk di sana beternak persis di bawah rumahnya yang berbentuk rumah panggung. Sering ternak piaraan itu dibiarkan lepas bebas di areal perkampungan. Namun sekarang pemandangan seperti itu sepertinya sudah tidak terlihat lagi.  Padahal, lagi-lagi, dalam konteks wisata budaya, hal-hal unik seperti itulah mengundang nafsu para wisatawan mancanegara untuk datang. Yang membuat orang-orang seperti orang dari Eropa sana mau datang karena penasaran ingin melihat secara langsung.

Sekarang ini yang secara jelas terlihat adalah rumah-rumah penduduk yang terbuat dari konstruksi beton, dibentuk persegi, selayaknya rumah-rumah pada umumnya di seluruh daerah perkotaan Indonesia. Kalau halnya demikian, apakah kita tidak berfikir bahwa turis akan cenderung memilih berkunjung ke Paris atau Spanyol yang memiliki bangunan dengan nilai sejarah dan desain artistik tinggi? Atau ke Jepang, atau ke kuil-kuil di Cina? Atau justru ke Papua? Atau ke tempat lain yang mungkin nama daerahnya sudah lebih nempel di otak Anda.

Dan juga cara berpakaian atau berdandan masyarakat di sana juga sudah cenderung modern. Sudah tidak lagi menunjukkan kebudayaan lokal. Bahkan acara-acara kebudayaan juga nyaris sudah tidak pernah lagi. Dan sekali lagi, ini dalam konteks soal wisata budaya.

Mungkin akan banyak dari kita tidak menerima argumen ini dengan alasan Danau Toba bukanlah hanya daerah wisata budaya tetapi juga daerah wisata panorama dengan pemandangannya yang indah!

Kalau begitu, marilah sudi meluangkan waktu untuk mencari tahu atau dengan sekedar browsing di internet ada berapa banyak daerah wisata panorama di dunia ini yang mungkin menjadi bahan pertimbangan turis untuk dikunjungi. Dan harap, dengan kondisi sekarang ini, jangan terlalu menggebu-gebu untuk menyebut Danau Toba akan menjadi pilihan kunjungan mereka.

Di Danau Toba, kawasan pantai untuk umum saja sudah hampir tidak ada lagi. Salah satu yang jelas terlihat adalah areal pantai sudah dikapling-kapling oleh pihak hotel. Soal bagaimana ini bisa terjadi, entahlah. Namun sepertinya pesan yang muncul ialah, jika anda ingin merasakan pantai yang seperti ini, maka menginaplah di hotel yang ini. Atau, jika anda ingin merasakan pantai seperti itu, maka menginaplah di hotel itu. Hahahaha…

Ya, ini memang sekadar tentang mungkin. Mungkin, para pelaku industri wisata termasuk pihak hotel beranggapan jika hotel memiliki pantai sendiri, apalagi dengan desain begitu buka jendela langsung bisa nyebur ke danau, pasti para turis senang dan akan banyak berdatangan. Yah, bayangan seperti itu yang paling gampang diduga. Tapi, benarkah demikian? Benarkah para turis khususnya turis mancanegara akan menyukainya? Tidakkah kita pernah berfikir bahwa mereka juga sangat memahami aturan tentang garis pantai? Sudahkah anda pernah menggelar pertanyaan semacam survey kepada para mereka? Saya sendiri pernah beberapa kali. Dan, mereka geram! Mereka kesal, geram, melihat hotel-hotel yang mereka nilai terlalu arogan menggunakan areal pantai untuk membangun kamar-kamar sewaan.  Maka maaf,  bagi saya, adalah terlalu berani jika para pelaku wisata dan orang-orang yang mengaku mencintai dunia pariwisata menyederhanakan logika para turis yang telah maupun akan berkunjung ke Danau Toba.

Hal fatal lain ialah, beberapa tahun belakangan juga santer terberitakan tentang tercemarnya air Danau Toba. Bahkan dikatakan sangat-sangat  tercemar. Tercemarnya dan pendangkalan air danau disinyalir akibat adanya aktivitas peternakan ikan dengan keramba apung dalam skala yang alamak, juga adanya peternakan babi dalam skala besar di Simalungun yang membuang limbahnya langsung ke sungai yang alirannya bermuara ke Danau Toba. Tidak hanya itu, hutan di sekitar yang berfungsi vital sebagai penyangga danau Toba juga dikatakan sudah rusak parah karena adanya aktifitas eksploitasi.

Nah, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah para manusia berencana atau sudah pernah berkunjung tidak mengetahui hal itu? Atau kita beranggapan bahwa mereka tidak akan peduli dengan hal seperti itu? Apakah dengan menggelar promosi dengan mengatakan bahwa Danau Toba adalah indah disertai tampilan foto yang juga pasti indah sudah cukup untuk mendatangkan turis? Apakah kita mengira mereka tidak akan mencari tahu informasi lain selain dari selebaran atau tayangan promosi itu? Apakah intelektualitas mereka hanya sampai di situ?

Suatu senja pada awal tahun 2000 lalu, di pelabuhan kecil pantai seberang Atsari Hotel, Parapat, saya pernah bertemu seorang turis dari Belanda. Si turis seorang lelaki berusia tua. Awalnya saya sudah beberapa jam memancing ikan di sekitar pantai, kemudian ketika menoleh ke kanan ke arah pelabuhan, saya melihat seorang lelaki tua sedang memandangi danau dari atas pelabuhan itu.

Tergoda untuk menguji kemampuan berbasa inggris saya, saya menemui dan menyapa. Balasannya atas sapaan saya langsung membuat saya terkejut dan merasa ragu. Saya menyapa dalam bahasa Inggris dan ia membalas dengan bahasa Indonesia.

Namun bukan itu sesungguhnya yang membuat saya terkejut dan ragu untuk meneruskan perbincangan. Tetapi saya melihat air sedang mengalir dari mata tuanya. Ternyata si turis tua kita sedang menangis sambil memandangi danau.
Meski merasa misi awal sudah hambar, entah bagaimana saya beranikan bertanya kenapa ia menangis. Meski sebenarnya saya takut mengajukan pertanyaan seperti ini karena terasa terlalu intim. Dan sambil menatap mata saya ia menjawab bahwa ia menangis karena Danau Toba.

Sesungguhnya ia sudah beberapa kali ke Danau Toba. Terakhir kali ia membawa serta seluruh keluarganya dari Belanda pada awal tahun 80an dulu. Saat itu, ia bercerita, cuaca Danau Toba masih sangat dingin. Bahkan meski di negaranya cuaca terkenal dingin, ia selalu membutuhkan mantel jika tiba di danau ini.

Tangannya lalu menunjuk bukit-bukit yang tampak di sekitar Parapat. Di atas itu, katanya, dulu penuh dengan pemandangan pohon-pohon. Pemandangan bukit-bukit yang mempesona itulah menurutnya membuat cuaca di sini sangat dingin. Tidak sekedar memberi sensasi dingin, banyaknya pohon itu menurutnya juga berkontribusi sangat besar dalam memberikan pemandangan yang dramatis di permukaan danau Toba.

Dulu, baik pagi, siang atau sore selalu tampak kabut di atas air danau toba. Nah, cahaya matahari yang terhalang dan coba menembus kabut, memberikan pemandangan garis-garis cahaya yang indah di permukaan danau. Hal itu juga menurutnya sering memberikan efek munculnya kilauan cahaya warna-warni dipermukaan danau yang sangat dramatis. Dan itulah selalu ia rindukan di danau ini.

Dia menceritakannya dengan sorot mata serius dan berbinar. Saya sendiri susah membayangkannya karena tidak sempat melihat panorama seperti yang diceritakannya itu. Namun saat bertemu saya itu, dia tidak mendapatkan itu lagi. Bahkan air yang menurutnya dulu sangat jernih sehingga bisa melihat langsung banyak ikan bermain di dalamnya, sekarang sudah kotor. Dia menangis. Dia adalah mantan tentara belanda yang pernah bertugas di daerah ini di masa penjajahan dulu.

Meski tidak sempat menikmati pemandangan seperti yang ceritakan oleh dia, Danau Toba memang sudah sakit berat. Dan meski akan banyak kegiatan digelar dengan jargon kecintaan terhadap Danau Toba saya ragu kegiatan-kegiatan seperti itu akan mampu menyelamatkannya. Karena masalahnya sudah sangat-sangat serius. Saya memang tidak mendalami ilmu olah vocal tapi saya tidak yakin dengan menggelar panggung bernyanyi maka Danau Toba akan terselamatkan, para turis akan berdatangan.

Saya juga tidak suka disebut pesimis, tapi memohon, jika berbicara tentang masalah kepariwisataan di Danau Toba, janganlah lagi berkutat sekedar di persoalan karakter masyarakat dengan analogi si penjual mangga. Horas! (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/