25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mewujudkan Mahkamah (yang) Agung

Setelah terpilih menggantikan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa yang telah pennsiun, Hatta Ali resmi dilantik menjadi Ketua MA pada 1 Maret lalu. Sekadar mengingatkan, Hatta Ali dipilh melalui ‘pemilu’ ala hakim agung dalam satu putaran. Hatta terpilih dengan mendapatkan suara mayoritas yaitu 28 suara dari 54 hakim agung. Urutan kedua, Ahmad Kamil 15 suara, Abdul Kadir Mappong 5 suara dan M Saleh 3 suara dan Paulus Effendi Lotulung 1 suara. Adapun suara tidak sah 3 orang.

Terpilihnya Hatta Ali memang sedikit mengejutkan. Bukan saja karena prestasinya yang tidak terlalu menonjol di antara beberapa hakim agung yang menjadi seteru sebelumnya. Namun beberapa catatan miring juga patut dialamatkan pada putra kelahiran Makassar 62 tahun silam ini. Hatta pernah menuai kritik saat ikut memutus bersalah atas kasasi kasus Prita Mulyasari, seorang pasien yang terseret kasus hukum karena mengeluhkan pelayanan RS Omni Internasional. Hatta juga menjadi majelis hakim yang ikut mengurangi pidana Ayin saat kasasi ke MA. Bandingkan, misalnya dengan aksi kolega sekaligus pesaingnya, Artidjo Alkostar, yang akhir-akhir ini mendapat respon positif dari publik karena dissenting opinion-nya dalam putusan kasasi Rasminah.

Harapan kita, semoga terpilihnya Hatta Ali benar-benar karena kualitas dan integritasnya sehingga dianggap mampu menakhodai MA dengan baik. Semoga berita miring yang menyebutkan peredaran uang 1 miliar untuk setiap hakim agung menjelang pemilihan Ketua MA tidak benar adanya. Begitu juga dengan isu diskriminasi antara hakim agung karier dan non-karier. Karena bagaimana pun, sebagai peradilan tertinggi di negeri ini, MA harus tetap menjaga keadilan dan kebenaran serta jauh dari faktor-faktor ekstern, termasuk permainan politik uang ataupun oligarki kekuasaan.

Tugas Berat

Tak bisa dipungkiri bahwa dunia peradilan Indonesia saat ini mendapat sorotan dan kritikan bertubi-tubi dari publik. Berbagai putusan kontroversial hingga dianggap sebagai sarangnya mafia peradilan telah menjadikan peradilan tingkat kasasi ini seperti tak berdaya lagi menegakkan keadilan. Oleh karena itu, Hatta Ali tak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Empat ikrar yang diucapkan Hatta Ali begitu terpilih menjadi Ketua MA harus ditagih secepatnya. Yakni pertama, meningkatkan kualitas para hakim. Kedua, menjaga citra, martabat dan harga diri seorang hakim. Ketiga, menciptakan kesejahteraan hakim, dan keempat, mewujudkan impian agar hakim menjadi pejabat negara.

Keempat ikrar Hatta tersebut memang menjadi persoalan pokok yang dialami MA saat ini. Kualitas hakim agung mulai dipertanyakan terkait rendahnya kualitas dan kuantitas putusan. Kondisi yang sama, bahkan lebih buruk juga terjadi di pengadilan negeri dan pengadilan tingkat banding. Sehingga mau tidak mau, hal ini mendegradasi citra, martabat dan harga diri seorang hakim serta memperburuk wajah peradilan kita.

Setidaknya, ada beberapa tugas  berat yang diemban MA di bawah nakhoda yang baru, pertama, menyelesaikan tumpukan perkara yang masih menggunung. Berdasarkan Catatan Tahunan MA, tercatat kurang lebih 12.000 perkara sepanjang tahun 2011 sampai sekarang. Tingginya arus perkara yang masuk setiap tahunnya, telah menyebabkan MA memiliki tunggakan 8.000 perkara. Angka yang sungguh fantastis. Penumpukan perkara ini sesungguhnya tidak semata-mata karena kurangnya personil hakim agung seperti yang menjadi alasan klasik MA selama ini. Melainkan lebih pada manajemen perkara yang tidak baik oleh para pimpinan MA terdahulu. Apalagi dengan seringnya hakim agung mengadakan perjalanan ke luar negeri, mengakibatkan penumpukan perkara semakin luar biasa.

Kedua, meningkatkan kualitas putusan. Salah satu indikasi rendahnya kualitas putusan MA terbukti dengan semakin banyaknya putusan yang saling bertentangan. Sehingga putusan hakim agung yang terdahulu sering tidak bisa dijadikan yurisprudensi bagi putusan hakim berikutnya.
Ketiga, meningkatkan penggawasan hakim. Lemahnya pengawasan hakim agung, baik internal maupun eksternal telah mengakibatkan kualitas dan kinerja kinerja hakim agung buruk.

Dalam pengawasan eksternal (Komisi Yudisial), sangat banyak terganggu oleh mandulnya kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut. Berbeda dengan pengawasan internal yang lebih disebabkan oleh kaburnya ruang lingkup pengawasan terhadap hakim. Hal ini disebabkan normanya belum dirumuskan secara. Sehingga tidak dapat diketahui secara pasti, mana perbuatan hakim yang menyimpang dan tidak menyimpang, baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Oleh karena itu, sangat mendesak dibuat pedoman pengawasan bagi hakim yang dituangkan dalam perundang-undangan sehingga memiliki daya mengikat, disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya. Sebagai mantan Ketua Muda Bidang Pengawasan, Hatta Ali seharusnya menjadikan masalah ini sebagai tujuan pokok.

Eksaminasi putusan hakim juga menjadi salah satu cara pengawasan yang perlu digalakkan. Ironisnya, selama ini eksaminasi lebih banyak dilakukan kalangan eksternal pengadilan.

Padahal, di internal pengadilan juga terdapat lembaga eksaminasi. Eksaminasi putusan sesungguhnya merupakan cara paling efektif dalam melakukan pengawasan bagi seorang hakim dan hakim agung. Sebbagai mahkota bagi seorang hakim, kualitas putusan berkorelasi kuat dengan tingkat kualitas dan independensi hakim bersangkutan.

Eksaminasi putusan, menyangkut penerapan hukum materiil maupun formil dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan, dapat dijadikan ukuran dalam melakukan reward and punishment. Dengan demikian, setiap hakim akan berusaha mengeluarkan putusan yang sebaik-baiknya, demi terpenuhinya rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, mimpi mewujudkan Mahkamah Agung yang agung sebagai tempat masyarakat mencari keadilan bisa segera tercapai. (*)

Penulis adalah alumnus Departemen Hukum Tata Negara FH USU Medan.
Kini mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM Yogyakarta

Setelah terpilih menggantikan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa yang telah pennsiun, Hatta Ali resmi dilantik menjadi Ketua MA pada 1 Maret lalu. Sekadar mengingatkan, Hatta Ali dipilh melalui ‘pemilu’ ala hakim agung dalam satu putaran. Hatta terpilih dengan mendapatkan suara mayoritas yaitu 28 suara dari 54 hakim agung. Urutan kedua, Ahmad Kamil 15 suara, Abdul Kadir Mappong 5 suara dan M Saleh 3 suara dan Paulus Effendi Lotulung 1 suara. Adapun suara tidak sah 3 orang.

Terpilihnya Hatta Ali memang sedikit mengejutkan. Bukan saja karena prestasinya yang tidak terlalu menonjol di antara beberapa hakim agung yang menjadi seteru sebelumnya. Namun beberapa catatan miring juga patut dialamatkan pada putra kelahiran Makassar 62 tahun silam ini. Hatta pernah menuai kritik saat ikut memutus bersalah atas kasasi kasus Prita Mulyasari, seorang pasien yang terseret kasus hukum karena mengeluhkan pelayanan RS Omni Internasional. Hatta juga menjadi majelis hakim yang ikut mengurangi pidana Ayin saat kasasi ke MA. Bandingkan, misalnya dengan aksi kolega sekaligus pesaingnya, Artidjo Alkostar, yang akhir-akhir ini mendapat respon positif dari publik karena dissenting opinion-nya dalam putusan kasasi Rasminah.

Harapan kita, semoga terpilihnya Hatta Ali benar-benar karena kualitas dan integritasnya sehingga dianggap mampu menakhodai MA dengan baik. Semoga berita miring yang menyebutkan peredaran uang 1 miliar untuk setiap hakim agung menjelang pemilihan Ketua MA tidak benar adanya. Begitu juga dengan isu diskriminasi antara hakim agung karier dan non-karier. Karena bagaimana pun, sebagai peradilan tertinggi di negeri ini, MA harus tetap menjaga keadilan dan kebenaran serta jauh dari faktor-faktor ekstern, termasuk permainan politik uang ataupun oligarki kekuasaan.

Tugas Berat

Tak bisa dipungkiri bahwa dunia peradilan Indonesia saat ini mendapat sorotan dan kritikan bertubi-tubi dari publik. Berbagai putusan kontroversial hingga dianggap sebagai sarangnya mafia peradilan telah menjadikan peradilan tingkat kasasi ini seperti tak berdaya lagi menegakkan keadilan. Oleh karena itu, Hatta Ali tak punya banyak waktu untuk berleha-leha. Empat ikrar yang diucapkan Hatta Ali begitu terpilih menjadi Ketua MA harus ditagih secepatnya. Yakni pertama, meningkatkan kualitas para hakim. Kedua, menjaga citra, martabat dan harga diri seorang hakim. Ketiga, menciptakan kesejahteraan hakim, dan keempat, mewujudkan impian agar hakim menjadi pejabat negara.

Keempat ikrar Hatta tersebut memang menjadi persoalan pokok yang dialami MA saat ini. Kualitas hakim agung mulai dipertanyakan terkait rendahnya kualitas dan kuantitas putusan. Kondisi yang sama, bahkan lebih buruk juga terjadi di pengadilan negeri dan pengadilan tingkat banding. Sehingga mau tidak mau, hal ini mendegradasi citra, martabat dan harga diri seorang hakim serta memperburuk wajah peradilan kita.

Setidaknya, ada beberapa tugas  berat yang diemban MA di bawah nakhoda yang baru, pertama, menyelesaikan tumpukan perkara yang masih menggunung. Berdasarkan Catatan Tahunan MA, tercatat kurang lebih 12.000 perkara sepanjang tahun 2011 sampai sekarang. Tingginya arus perkara yang masuk setiap tahunnya, telah menyebabkan MA memiliki tunggakan 8.000 perkara. Angka yang sungguh fantastis. Penumpukan perkara ini sesungguhnya tidak semata-mata karena kurangnya personil hakim agung seperti yang menjadi alasan klasik MA selama ini. Melainkan lebih pada manajemen perkara yang tidak baik oleh para pimpinan MA terdahulu. Apalagi dengan seringnya hakim agung mengadakan perjalanan ke luar negeri, mengakibatkan penumpukan perkara semakin luar biasa.

Kedua, meningkatkan kualitas putusan. Salah satu indikasi rendahnya kualitas putusan MA terbukti dengan semakin banyaknya putusan yang saling bertentangan. Sehingga putusan hakim agung yang terdahulu sering tidak bisa dijadikan yurisprudensi bagi putusan hakim berikutnya.
Ketiga, meningkatkan penggawasan hakim. Lemahnya pengawasan hakim agung, baik internal maupun eksternal telah mengakibatkan kualitas dan kinerja kinerja hakim agung buruk.

Dalam pengawasan eksternal (Komisi Yudisial), sangat banyak terganggu oleh mandulnya kewenangan yang dimiliki lembaga tersebut. Berbeda dengan pengawasan internal yang lebih disebabkan oleh kaburnya ruang lingkup pengawasan terhadap hakim. Hal ini disebabkan normanya belum dirumuskan secara. Sehingga tidak dapat diketahui secara pasti, mana perbuatan hakim yang menyimpang dan tidak menyimpang, baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan. Oleh karena itu, sangat mendesak dibuat pedoman pengawasan bagi hakim yang dituangkan dalam perundang-undangan sehingga memiliki daya mengikat, disertai bentuk sanksi dan prosedur penindakannya. Sebagai mantan Ketua Muda Bidang Pengawasan, Hatta Ali seharusnya menjadikan masalah ini sebagai tujuan pokok.

Eksaminasi putusan hakim juga menjadi salah satu cara pengawasan yang perlu digalakkan. Ironisnya, selama ini eksaminasi lebih banyak dilakukan kalangan eksternal pengadilan.

Padahal, di internal pengadilan juga terdapat lembaga eksaminasi. Eksaminasi putusan sesungguhnya merupakan cara paling efektif dalam melakukan pengawasan bagi seorang hakim dan hakim agung. Sebbagai mahkota bagi seorang hakim, kualitas putusan berkorelasi kuat dengan tingkat kualitas dan independensi hakim bersangkutan.

Eksaminasi putusan, menyangkut penerapan hukum materiil maupun formil dalam kerangka penilaian secara obyektif menyangkut perkara yang bersangkutan, dapat dijadikan ukuran dalam melakukan reward and punishment. Dengan demikian, setiap hakim akan berusaha mengeluarkan putusan yang sebaik-baiknya, demi terpenuhinya rasa keadilan masyarakat. Dengan demikian, mimpi mewujudkan Mahkamah Agung yang agung sebagai tempat masyarakat mencari keadilan bisa segera tercapai. (*)

Penulis adalah alumnus Departemen Hukum Tata Negara FH USU Medan.
Kini mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM Yogyakarta

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/