Oleh: Sunlie Thomas Alexander
TAMAN Jepang, kata Yasunari Kawabata dalam pidato Nobelnya 1968, “Jepang, Keindahan, dan Diriku”, mencerminkan alam yang terbentang. Lanskap taman yang tertata dengan batu-batu itu, konon menimbulkan ekspresi gunung dan sungai yang tak hadir di sana secara fisik, bahkan sugesti gelombang samudera yang pecah membentur karang. Sehingga dengan pemadatan sampai tingkat tertinggi, ia pun menjadi taman bonsai, atau bonseki, versi mini dari alam luas. Berbeda dengan taman di Barat yang cenderung simetris, taman Jepang yang asimetris, menurut Kawabata justru memiliki kekuatan lebih besar dalam melambangkan keanekaragaman dan keluasan karena sifat asimetrisnya bersandar pada keseimbangan yang ditentukan kebijaksanaan lembut.
Di sinilah, kita melihat bagaimana sebuah imaji tentang Timur yang harmonis hadir dengan agak fanatik dan bersitegang dengan modernitas Barat. Dalam Kawabata, keduanya memang seolah dua kutub yang sulit bersanding. Dan menjelma jadi apa yang dilambangkan Sanusi Pane: Timur sebagai Arjuna dan Barat sebagai Faust. Di mana sifat Barat oleh Sutan Sjahrir disimpulkan “kehidupan yang menggelora, kehidupan yang mendesak maju, kehidupan dinamis yang tak dimiliki Timur”.
Dalam karya-karya Kawabata—yang diakuinya sangat dipengaruhi filsafat Timur dan estetika Zen—kita memang selalu menemukan indahnya harmoni antara manusia, alam, dan kehampaan, bahkan bagaimana kematian disikapi dengan elok. Tentu, kehampaan di sini adalah dalam konsep Timur yang memiliki landasan spiritual berbeda dengan nihilisme Barat.
Renaisans tak hanya mengantar masyarakat Barat mencapai kemajuan sains dan teknologi yang mendorong mereka mengembangkan ekspansi dan imperialisme, tapi juga menjadikan mereka sekuler, rasional, materialis, dan pragmatis. Sementara alam Timur yang subur melahirkan manusia kontemplatif yang senantiasa menimbang sisi intuisi di balik dunia empiris. Karena itu, dalam percakapan antara Tuan Takichiro dengan anaknya Chieko tentang bunga-bunga tulip di novelnya “Ibukota Lama” (1962), Kawabata dengan lugas mengungkapkan bahwa: “Bunga-bunga dari Barat memang tampak bercahaya, tapi aku bosan melihatnya. Tentu ayah paling suka dengan rumpun bambu.”
Tentunya ini juga persoalan identitas, tatkala sebuah perjumpaan mempertajam kesadaran teritorial dalam pengertian ruang maupun kebudayaan.
Prosa Kawabata adalah sebuah sikap pertahanan ketika Barat merasa begitu yakin dengan misinya memodernkan dunia. Di sinilah tampak yang dikatakan Said dalam bukunya “Culture and Imperialism” dengan mengutip Matthew Arnold (1860) bahwa kebudayaan adalah sebuah konsep yang mencakup suatu unsur penyaring dan pengangkat, gudang terbaik yang dimiliki setiap masyarakat yang telah dikenal dan dipikirkan. Ia berfungsi meredakan, sekaligus menetralkan kerusakan-kerusakan eksistensi urban yang modern, agresif, berbau dagang dan kejam.
Tapi pasca Perang Dunia II, Jepang—menyitir Kenzaburo Oe—terbelah menjadi dua kutub ambiguitas saling berlawanan setelah modernisasinya mengarah kepada pembelajaran dan peniruan modernisasi ala Barat. Kondisi inilah yang syahdan memicu pengarang Jepang lainnya Yukio Mishima melakukan seppuku pada 1970. Jepang, menurut Mishima, telah tenggelam dalam rutinitas politik dan ekonomi modern, tanpa keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan. Konon modernisasi ala Barat memudarkan rasa keindahan dan kepekaan manusia terhadap alam dalam masyarakat tradisional Jepang, membuat kebudayaannya kehilangan harmoni di tengah kemakmuran.
Kawabata bicara tentang ilmu kebatinan unik yang tak hanya dimiliki alam pemikiran Jepang, namun alam pemikiran bangsa Timur yang lebih luas dengan kecenderungan ke arah Zen Buddhisme. Tentang bagaimana sajak para biarawan Zen Abad Pertengahan secara intens mengekspresikan alam, pergantian musim, dan hubungannya dengan tradisi upacara minum teh.
Ia mengajak kita merenungi kembali nilai-nilai Asia, juga ragam khazanah klasik Timur yang meletakkan harmoni sebagai dasar epistemologinya dalam upaya menjaga keseimbangan antara Langit dan Bumi, yang di sini berarti kedamaian hakiki. Contohnya, ilmu medis tradisional Cina yang menggunakan konsep yin-yang dengan lima unsur alam untuk mendiagnosa penyakit.
Sehingga kita mafhum, kenapa di tengah kemajuan, modernitas, dan rasionalitasnya, Singapura mencoba menghidupkan ruh Konghuchu sebagai tindakan strategis menghadapi efek samping modernisasi yang mengancam dengan bayang-bayang masa depan tanpa rohani dan hati.
Bagaimana dengan kebudayaan Indonesia yang notabene juga memiliki konsep harmoni dalam kosmologinya? Jika berpaling ke masa lalu memang merupakan salah satu strategi paling umum untuk menafsirkan masa kini, adakah kita harus menoleh pada masa Majapahit atau Sriwijaya yang berhasil membangun kejayaan negeri maritim? Atau cukup puas masih memelihara ritual melarungkan sesajen ke Laut Kidul sebagai semacam syarat memelihara harmonisasi dengan alam?
Kita barangkali masih punya taman untuk ditata ulang lagi. (*)
Sunlie Thomas Alexander, Cerpenis dan Periset Parikesit Institute Yogyakarta