25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Interpelasi Membela Koruptor

Oleh:
Budi Hatees

DALAM kasus korupsi, hanya ada dua pilihan bagi mereka yang merasa terancam: melawan atau kabur. Kabur adalah pilihan yang tak tepat. Dalam sebuah negara hukum, seorang tersangka yang kabur pada akhirnya akan tertangkap. Cepat atau lambat hanya soal waktu. Tapi pilihan ini menjadi sangat disukai media, apalgi bila si tersangka paham betul dampak publisitas di era abad informasi saat ini. Publisitas mampu menghimpun simpati publik media dengan sebuah drama perlawanan yang seakan-akan tak punya rasa takut.

Lihat saja Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games. Lantaran merasa dirinya terancam akan dijebloskan ke penjara, mantan Bendahara Partai Demokrat ini kabur ke beberapa Negara dan kemudian tertangkap di Kolombia. Penangkapan Nazaruddin adalah sebuah sinetron yang menyita perhatian publik media, sehingga mereka berharap sosok politisi ini dapat menjadi kunci atas terungkapnya jaringan elite Kaptur di tubuh Partai Demokrat dan legislatif.

Sebab itu, melawan merupakan pilihan yang paling cocok. Melawan yang cerdas, bukan frontal. Tidak juga di atas ring atau gelanggang, dalam sebuah pertarungan penuh  sportivitas. Tapi melawan seperti yang sedang dilakukan para anggota DPR manakala mereka mengajukan hak interpelasi atas pengetatan remisi para koruptor yang merupakan program Menkumham. Berlindung pada hak asasi manusia (HAM), sejumlah anggota fraksi di DPR menilai koruptor adalah manusia yang harus dihargai haknya untuk mendapatkan remisi.

Tentu saja alasan HAM ini terdengar bodoh. Kentara sekali kalau para anggota DPR tak terlalu paham tentang HAM mengingat pengajuan hak interpelasi itu akan membela para pelaku pelanggaran HAM. Dalam konvensi PBB (United Nations Convention Agaisnt Corruption/UNCAC) korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Sebab itu, terhadap rencana DPR mengajukan hak interpelasi ini sama saja dengan mengumbar ketidakpahaman mereka terkait apa yang mereka kerjakan selama ini. Kita tahu,  DPR inilah yang telah menghasilkan dan melegalisasi UU Anti Korupsi, yang salah satu alasan pembuatan undang-undang itu karena korupsi merupakan kejahatan kemanusia dan melanggar HAM.  Di samping itu, DPR adalah para wakil dari rakyat-entitas yang paling menderita dan sengsara akibat ulah para koruptor.

Namun demikian, sebagai suatu perlawanan, apapun sah untuk dilakukan. Terlihat bodoh dan tampak tak menguasai persoalan pun tak apa-apa. Bahkan, membodohi diri sendiri pun akan dilakukan dalam perlawanan. Yang penting, segala hal yang berpeluang mengancam rasa nyaman dan rasa aman, sebisa mungkin diminimalisasi. Sebab, bagaimana pun pengetatan remisi tahanan koruptor, memiliki potensi besar sebagai penyebab ketidaknyamanan dan ketidakamanan.
***
Sangat beralasan bila publik menebak-nebak apa yang mendorong wakilnya di DPR mengajukan hak interpelasi yang pada dasarnya sebagai wujud pembelaan terhadap koruptor. Apakah karena DPR mulai menyadari bahwa sepak-terjang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat bersemangat menyeret satu per satu anggota DPR yang terindikasi terlibat kasus korupsi, sehingga khawatir suatu saat sepakan KPK akan menerjang diri mereka? Atau, apakah karena satu per satu kasus korupsi yang diungkap KPK akhir-akhir ini semakin membuka kemungkinan bahwa setiap anggota DPR terindikasi terlibat?
Namun, karena hak interpelasi DPR diakui secara konstitusi, tak ada yang dilanggar wakil rakyat bila mereka ingin mempergunakan haknya. Tapi, mempergunakan hak interpelasi untuk melindungi koruptor sama saja dengan melukai rasa keadilan publik konstituen. Sayangnya, inilah yang menjadi pilihan sebagian besar anggota DPR, yakni melukai rasa keadilan publik konstituennya.

Barisan pendukung hak interlepasi itu antara lain Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Kita tahu, banyak kader dari partai-partai pendukung hak interpelasi itu merupakan pribadi-pribadi yang paling sering berteriak agar pemerintah mengatasi masalah korupsi. Bahkan, tidak sedikit dari kader-kader partai pendukung hak interpelasi itu yang menilai pemerintahan saat ini gagal mengatasi masalah korupsi.

Sebab itu, rencana pengajuan hak interpelasi DPR ini sekaligus juga membuktikan bahwa pemberantasan korupsi belum menjadi semangat nasional. Mereka yang teriakannya paling nyaring, ternyata hanya nyaring jika berkaitan dengan kepentingan orang lain. Giliran kepentingan pribadi dan golongannya mulai terancam, suaranya akan berhenti di tenggorokan.

Mestinya, mereka yang sangat lantang meneriakkan berantas korupsi, lantang juga menolak hak interpelasi DPR. Ini menunjukkan komitmen memberantas korupsi bukan hanya domain eksekutif, tetapi juga semangat nasionalisme baru dalam membebaskan negeri ini dari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Pengajuan hak interpelasi DPR bisa disebut sebagai penyalahgunaan hak. Hak interpelasi baru tepat penggunaannya jika out put yang didapat untuk kemaslahatan publik, bukan untuk melindungi segelintir orang yang jelas-jelas merupakan terpidana kasus korupsi.

Kita tahu bahwa kejahatan korupsi harus disingkirkan dari muka bumi. Pelakunya mesti dienyahkan, karena membuat bangsa ini seperti jalan di tempat. Semakin lama negeri ini bukannya semakin membaik, justru semakin terperosok ke dalam jurang yang sama. Kemiskinan tak kunjung teratasi, karena dana-dana untuk mengatasi masalah kemiskinan habis dikuras para koruptor. Prestasi olah raga tak kunjung mampu membanggakan bangsa, karena dana untuk membangun wisma atlet saja dikorupsi.

Tak ada satu pun dinamika sosial masyarakat yang bergerak tanpa aliran dana dari APBN maupun APBD. Sangat pasti pula, tak satu pun dari dana yang mengalir itu tak dikorupsi. Akibatnya, dana-dana yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dan kemajuan bersama, akhirnya tak mencukupi. Perencanaan-perencanaan pembangunan yang telah dibuat, tak menghasilkan out put sebagaimana diharapkan. Kemiskinan berkepanjangan, sehingga hak asasi rakyat untuk hidup sejahtera tidak terpenuhi.
***
Perlawanan para elite yang berpeluang terlibat kasus korupsi, sesungguhnya sudah diperkirakan jauh-jauh hari. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi dari negeri ini-dan SBY tampaknya sangat kepayahan—publik merasakan bahwa komitmen itu akan berbenturan langsung dengan kepentingan-kepentingan elite, sehingga akan menghasilkan perlawanan yang setimpal. Perlawanan yang dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah hukum yang ada, kemudian dipertegas dengan mengedepankan hak yang diakui dalam konstitusi nasional.

Namun demikian, perlawanan ini tidak seharusnya menyurutkan niat para penegak hukum. Komisi Pemberantasan Hukum (KPK) justru harus lebih serius, terutama dalam hal melakukan investigasi atas kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyelewengan anggaran negara di lingkungan para elite yang melakukan perlawanan. Seperti kata pepatah, kalau tak ada berada masakan tempua bersarang rendah. Artinya, jika tidak ada hal yang mengkhawatirkan para anggota DPR, mustahil mereka akan memanfaatkan hak interpelasi.

Kita pantas mencurigai bahwa partai-partai politik pendukung hak interpelasi atas program pengetatan remisi tahanan kasus korupsi, sesungguhnya pelaku-pelaku korupsi yang sedang was-was perbuatannya akan terbongkar. Ini bukan mustahil, terutama karena sebagian besar kasus korupsi yang terbongkat akhir-akhir ini, selalu saja melibatkan anggota DPR di dalamnya.(*)

Penulis adalah peneliti di
Matakata Institute

Oleh:
Budi Hatees

DALAM kasus korupsi, hanya ada dua pilihan bagi mereka yang merasa terancam: melawan atau kabur. Kabur adalah pilihan yang tak tepat. Dalam sebuah negara hukum, seorang tersangka yang kabur pada akhirnya akan tertangkap. Cepat atau lambat hanya soal waktu. Tapi pilihan ini menjadi sangat disukai media, apalgi bila si tersangka paham betul dampak publisitas di era abad informasi saat ini. Publisitas mampu menghimpun simpati publik media dengan sebuah drama perlawanan yang seakan-akan tak punya rasa takut.

Lihat saja Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games. Lantaran merasa dirinya terancam akan dijebloskan ke penjara, mantan Bendahara Partai Demokrat ini kabur ke beberapa Negara dan kemudian tertangkap di Kolombia. Penangkapan Nazaruddin adalah sebuah sinetron yang menyita perhatian publik media, sehingga mereka berharap sosok politisi ini dapat menjadi kunci atas terungkapnya jaringan elite Kaptur di tubuh Partai Demokrat dan legislatif.

Sebab itu, melawan merupakan pilihan yang paling cocok. Melawan yang cerdas, bukan frontal. Tidak juga di atas ring atau gelanggang, dalam sebuah pertarungan penuh  sportivitas. Tapi melawan seperti yang sedang dilakukan para anggota DPR manakala mereka mengajukan hak interpelasi atas pengetatan remisi para koruptor yang merupakan program Menkumham. Berlindung pada hak asasi manusia (HAM), sejumlah anggota fraksi di DPR menilai koruptor adalah manusia yang harus dihargai haknya untuk mendapatkan remisi.

Tentu saja alasan HAM ini terdengar bodoh. Kentara sekali kalau para anggota DPR tak terlalu paham tentang HAM mengingat pengajuan hak interpelasi itu akan membela para pelaku pelanggaran HAM. Dalam konvensi PBB (United Nations Convention Agaisnt Corruption/UNCAC) korupsi diklasifikasikan sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Sebab itu, terhadap rencana DPR mengajukan hak interpelasi ini sama saja dengan mengumbar ketidakpahaman mereka terkait apa yang mereka kerjakan selama ini. Kita tahu,  DPR inilah yang telah menghasilkan dan melegalisasi UU Anti Korupsi, yang salah satu alasan pembuatan undang-undang itu karena korupsi merupakan kejahatan kemanusia dan melanggar HAM.  Di samping itu, DPR adalah para wakil dari rakyat-entitas yang paling menderita dan sengsara akibat ulah para koruptor.

Namun demikian, sebagai suatu perlawanan, apapun sah untuk dilakukan. Terlihat bodoh dan tampak tak menguasai persoalan pun tak apa-apa. Bahkan, membodohi diri sendiri pun akan dilakukan dalam perlawanan. Yang penting, segala hal yang berpeluang mengancam rasa nyaman dan rasa aman, sebisa mungkin diminimalisasi. Sebab, bagaimana pun pengetatan remisi tahanan koruptor, memiliki potensi besar sebagai penyebab ketidaknyamanan dan ketidakamanan.
***
Sangat beralasan bila publik menebak-nebak apa yang mendorong wakilnya di DPR mengajukan hak interpelasi yang pada dasarnya sebagai wujud pembelaan terhadap koruptor. Apakah karena DPR mulai menyadari bahwa sepak-terjang Komisi Pemilihan Umum (KPU) sangat bersemangat menyeret satu per satu anggota DPR yang terindikasi terlibat kasus korupsi, sehingga khawatir suatu saat sepakan KPK akan menerjang diri mereka? Atau, apakah karena satu per satu kasus korupsi yang diungkap KPK akhir-akhir ini semakin membuka kemungkinan bahwa setiap anggota DPR terindikasi terlibat?
Namun, karena hak interpelasi DPR diakui secara konstitusi, tak ada yang dilanggar wakil rakyat bila mereka ingin mempergunakan haknya. Tapi, mempergunakan hak interpelasi untuk melindungi koruptor sama saja dengan melukai rasa keadilan publik konstituen. Sayangnya, inilah yang menjadi pilihan sebagian besar anggota DPR, yakni melukai rasa keadilan publik konstituennya.

Barisan pendukung hak interlepasi itu antara lain Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Kita tahu, banyak kader dari partai-partai pendukung hak interpelasi itu merupakan pribadi-pribadi yang paling sering berteriak agar pemerintah mengatasi masalah korupsi. Bahkan, tidak sedikit dari kader-kader partai pendukung hak interpelasi itu yang menilai pemerintahan saat ini gagal mengatasi masalah korupsi.

Sebab itu, rencana pengajuan hak interpelasi DPR ini sekaligus juga membuktikan bahwa pemberantasan korupsi belum menjadi semangat nasional. Mereka yang teriakannya paling nyaring, ternyata hanya nyaring jika berkaitan dengan kepentingan orang lain. Giliran kepentingan pribadi dan golongannya mulai terancam, suaranya akan berhenti di tenggorokan.

Mestinya, mereka yang sangat lantang meneriakkan berantas korupsi, lantang juga menolak hak interpelasi DPR. Ini menunjukkan komitmen memberantas korupsi bukan hanya domain eksekutif, tetapi juga semangat nasionalisme baru dalam membebaskan negeri ini dari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Pengajuan hak interpelasi DPR bisa disebut sebagai penyalahgunaan hak. Hak interpelasi baru tepat penggunaannya jika out put yang didapat untuk kemaslahatan publik, bukan untuk melindungi segelintir orang yang jelas-jelas merupakan terpidana kasus korupsi.

Kita tahu bahwa kejahatan korupsi harus disingkirkan dari muka bumi. Pelakunya mesti dienyahkan, karena membuat bangsa ini seperti jalan di tempat. Semakin lama negeri ini bukannya semakin membaik, justru semakin terperosok ke dalam jurang yang sama. Kemiskinan tak kunjung teratasi, karena dana-dana untuk mengatasi masalah kemiskinan habis dikuras para koruptor. Prestasi olah raga tak kunjung mampu membanggakan bangsa, karena dana untuk membangun wisma atlet saja dikorupsi.

Tak ada satu pun dinamika sosial masyarakat yang bergerak tanpa aliran dana dari APBN maupun APBD. Sangat pasti pula, tak satu pun dari dana yang mengalir itu tak dikorupsi. Akibatnya, dana-dana yang seharusnya untuk kepentingan rakyat dan kemajuan bersama, akhirnya tak mencukupi. Perencanaan-perencanaan pembangunan yang telah dibuat, tak menghasilkan out put sebagaimana diharapkan. Kemiskinan berkepanjangan, sehingga hak asasi rakyat untuk hidup sejahtera tidak terpenuhi.
***
Perlawanan para elite yang berpeluang terlibat kasus korupsi, sesungguhnya sudah diperkirakan jauh-jauh hari. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan komitmennya untuk memberantas korupsi dari negeri ini-dan SBY tampaknya sangat kepayahan—publik merasakan bahwa komitmen itu akan berbenturan langsung dengan kepentingan-kepentingan elite, sehingga akan menghasilkan perlawanan yang setimpal. Perlawanan yang dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah hukum yang ada, kemudian dipertegas dengan mengedepankan hak yang diakui dalam konstitusi nasional.

Namun demikian, perlawanan ini tidak seharusnya menyurutkan niat para penegak hukum. Komisi Pemberantasan Hukum (KPK) justru harus lebih serius, terutama dalam hal melakukan investigasi atas kemungkinan-kemungkinan terjadinya penyelewengan anggaran negara di lingkungan para elite yang melakukan perlawanan. Seperti kata pepatah, kalau tak ada berada masakan tempua bersarang rendah. Artinya, jika tidak ada hal yang mengkhawatirkan para anggota DPR, mustahil mereka akan memanfaatkan hak interpelasi.

Kita pantas mencurigai bahwa partai-partai politik pendukung hak interpelasi atas program pengetatan remisi tahanan kasus korupsi, sesungguhnya pelaku-pelaku korupsi yang sedang was-was perbuatannya akan terbongkar. Ini bukan mustahil, terutama karena sebagian besar kasus korupsi yang terbongkat akhir-akhir ini, selalu saja melibatkan anggota DPR di dalamnya.(*)

Penulis adalah peneliti di
Matakata Institute

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/